Aku terpekur di depan meja riasku. Wajahku sudah selesai dirias, gaun indah berwarna putih tulang berkesan mewah telah melekat cantik di tubuhku, dengan kerudung yang sama warnanya dengan gaun yang aku pakai.
Sampai di sini, aku masih belum mengerti akan keikhlasan yang dimiliki oleh mba Ningrum, istri pertama calon suamiku.
Berkali-kali aku menghembuskan nafas berat.
Benarkah hari ini adalah hari pernikahanku? Dengan suami orang?
"Kenapa mba membiarkan pernikahan ini terjadi? Apakah tidak ada yang mba takutkan setelah ini? " aku mengajukan protes ini lebih dari satu kali, dan lebih satu kali juga mba Ningrum memberikan penjelasannya.
"Takut? Setiap insan pasti ada rasa takut Ra. Aku tidak menampik ataupun munafik. Tapi... Bagiku kebahagiaan mas Aksa adalah impianku, Bersamaku belum pernah aku melihat bahagia yang sebenar-benarnya bahagia. Namun, hanya dengan menyebut namamu pun itu bisa membuat matanya berbinar..." jelas mba Ningrum dengan mata yang bahagia, bahkan tidak kesan dan nada bimbang saat dia berbicara.
Apakah tidak ada cemburu di dalam hatinya? Pertanyaan itu yang terus berdengung di hatiku. Yang sampai saat ini belum aku temukan jawabannya.
"Di mana cemburu mu mba? Bahkan, aku yang kalian inginkan ini, tak pernah bermimpi masuk dalam pernikahan kalian, menjadi yang kedua? Itu tak pernah ada dalam bayanganku... " aku mencoba merayu mba Ningrum agar mau membatalkan pernikahanku dan suaminya. Jika istri pertama melarang dan tidak memberi izin, maka otomatis pernikahan ini akan batal. Dan aku akan lepas-bebas.
"Kita bisa belajar bersama Ra... Kamu adalah harapan kami. " jawab mba Ningrum dengan penuh keyakinan.
"Mba, masih ada waktu, untuk mba, masih bisa menghentikan ini semua, aku tidak mau salah satu dari kita akan terluka nantinya. " aku masih keuh-keuh dengan pendapatku.
"Tolong jangan mundur Ra, aku janji akan adil padamu demi suami kita. " kata mba Ningrum sambil menggenggam ke-dua telapak tanganku. Mengapa mba? Mengapa kamu harus memohon seperti ini? Apa sebenarnya yang sudah kalian sembunyikan dariku?
Sekali lagi aku menghembuskan nafas yang menyesak di dadaku.
Aku alihkan tatapan mataku ke arah mba Ningrum, aku pindai kedua matanya, aku mencoba menyelami arti dari sorot matanya. Namun, hanya senyum bahagia dan harapan yang aku lihat darinya. Harapan agar aku berkenan menjadi adik madunya.
"Mba..."
"Aku sudah menerima syarat darimu Ra... Apakah kamu tega membatalkannya. Tamu udangan bahkan sudah berdatangan... Mas Aksa juga sudah menunggumu di depan. Tolong Ra... Bantu aku bantu mas Aksa, aku janji kita akan melalui ini semua dengan bahagia... "
"Kalian tidak keberatan denganku yang masih muda ini. Seusia aku ini, usia yang penuh dengan kecemburuan, penuh dengan keegoisan... Apakah mba siap? jika aku berubah menjadi rubah yang menjengkelkan yang mengambil perhatian mas Aksa sentuhnya. Apakah mba sudah pikirkan, suatu saat aku akan merebut mas Aksa seutuhnya? " mungkin ini kata-kata yang sangat kurang-ajar, namun aku berusaha membuka mata mba Ningrum, bahwa poligami itu tidak segampang dan sesimple yang ia pikirkan.
Lagi-lagi, wanita di depanku ini tersenyum lembut.
"Aku yakin kamu tak akan seperti itu Ra... Kalaupun suatu saat hal itu terjadi, berarti semua itu memang harus terjadi... Aku hidup bersama dengan mas Aksa sudah lima tahun lebih, jika pada akhirnya dia hanya memilihmu, itu sudah takdirku... Aku hanya berusaha menjalani takdir yang dipilihkan untukku. Jika omongan orang luar yang kamu takutkan, percayalah, aku yang akan menjadi orang pertama yang akan membelamu... "
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Hati (Tamat/ Ada Di Dreame)
Ficción General"Kenapa mba membiarkan pernikahan ini terjadi? Apakah gak ada yang mba takutkan setelah ini? " (Untuk kelanjutannya bisa kunjungi akun penulis di DREAME dengan nama akun yang sama. 🙏🙏🙏) "Takut? Setiap insan pasti ada rasa takut Ra. Tapi... Bagi...