Tiga

121 12 0
                                    

Mendengar panggilan lembut bang Aksa, membuatku diam mematung. Aku sibuk meremas telapak tanganku yang mulai dingin dan gemetar. Jika ada yang bilang aku berlebihan, please, aku perempuan yang tidak pernah dekat dengan laki-laki, selain ayah atau saudara-saudaraku. Sekarang aku harus sekamar dengannya mulai saat ini, terkecuali jika dia berpindah membagi jatahnya ke kakak maduku.

"Kenapa diem? " bang Aksa menyentuh bahuku dengan lembut. "gugup? " lanjut bang Aksa.

Aku sedikit menganggukkan kepalaku. Belum ada sebulan aku mengenalnya, tidak mungkin aku merasa akrab dengannya. Walaupun begitu, hati dan tubuhku tidak berusaha berontak akan sikap manisnya.

Ah, aku bukan perempuan munafik, walaupun dijodohkan aku harus kooperatif kan? Lagian, suamiku ini tidak jelek, dia juga gagah, sekarang dia juga masih terlihat baik dan sopan, mana mungkin aku berlagak menolaknya. Itu bulshit, kawan!

"Coba rileks...  Abang cukup paham menghadapi wanita dengan baik.  Abang juga bukan type lelaki kasar, kalau itu yang adek takutkan. "

Bang Aksa seperti mendominasi percakapan ini. Sedangkan tangannya sibuk melepas pengait-pengait kerudung yang aku pakai. Lalu menyisir surai-ku yang panjang sepunggung.

Aku diam? Pasti. Aku paham, lelaki di depanku ini sudah halal untukku. Jadi sudah tidak ada batas abang untuk melihat auratku. Ini semua sudah menjadi hak paten-nya.

"Rambutmu bagus, dan wangi. Abang suka. "

"Terima kasih. "

"Seperti bicara saat wawancara saja dek. Terlalu formal. " jawab bang Aksa dengan kekehannya. Aku akui tertawa-nya pun sangat menghanyutkan imajinasiku.

Belum dimulai-pun, kamu sudah membuatku terpesona bang. Noraknya aku. Batinku bersorak.

"Duduk dulu, sini... " bang Aksa kembali membimbing aku duduk di kursi rias, sedangkan dia duduk di tepi meja riasnya,   setelah melepas jas pengantin yang dia pakai.

Tangannya sangat terampil, mengumpulkan segala macam pembersih muka, dan perlengkapannya. Lalu mengambil kapan secukupnya, dia basahi dengan pembersih wajah.

Tanpa bertanya, abang mengusap-usap lembut wajahku searah, dengan kapas tersebut.

"Kenapa masih diem... Heemmm... " usapan lembutnya membuatku terlena. Ah, dia sangat pandai memanjakan wanita.

"Enggak. Hanya masih canggung. " jawabku jujur. Iya, aku aku harus jujur agar hidupku tidak tertekan.

"Lama-lama juga akan terbiasa... " ujar bang Aksa menghiburku.

"Apa,  dengan mba Ningrum abang juga begini? Selalu membersihkan wajahnya? " bang Aksa menghentikan usapan kapas di wajahku.

"Apa adek ingin tahu? " tanya abang dengan santai. Senyumnya pun tak pergi dari wajahnya yang lumayan mendekati tampan namun berkarisma.

" Kalau nggak boleh, ya nggak pa-pa... " jawabku merengut. Dan bang Aksa melebarkan senyumnya.

"Adek menggemaskan kalau sewot. "  kata bang Aksa yang kubalas dengan helaan nafas.

Setelah selesai membersihkan wajahku, abang merapikan kembali botol -botol khas perempuan itu ke tempatnya semula. Masih duduk di tepi meja rias yang ada di hadapanku membuat jarak kita sangat dekat, bang Aksa membelai surai-ku, mengaitkan helaian rambut ke belakang telingaku.

"Dengar istri kecilku...  Bukan abang tidak mau cerita atau mengumbar apa pun yang sudah abang lakukan kepada Ningrum. Cuma abang ingin, kita fokus dengan hal tentang kita saja saat kita berdua begini. Begitupun saat abang harus bersama Ningrum, kami juga tak akan berbicara tentang hal yang sudah kita lakukan. Adek tahu? Wanita itu, sesabarnya dia, pasti akan ada sisi cemburu di hatinya, walau faktanya adalah kalian istri sah abang.  Abang, yang sudah masuk dan menjalani poligami ini, masih harus terus belajar adil pada kalian, walaupun itu tak akan bisa, tapi paling tidak abang sudah berusaha. Agar kalian merasakan nyaman bersama abang... "

Tiga Hati (Tamat/ Ada Di Dreame) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang