Satu

600 33 5
                                    

POV Tiara.

Waktu telah menunjukkan pukul 08.15, di sini di ruang tamu rumah ayahku, kehidupan baru akan tercipta untukku. Mereka mengambil keputusan tanpa memerlukan pendapat ataupun ijinku.

Aku, Tiara Mayasari,  telah dilamar seorang lelaki yang belum pernah aku kenal. Dia, Aksa Mahardika Kalandra, lelaki yang digadang-gadang menjadi calon suamiku.

Aksa datang melamar bersama keluarganya, yang terdiri dari bapak, ibu, adik, dan satu lagi istri sah-nya.
Aku, dilamar oleh mereka untuk dijadikan istri ke-dua. Entah, apakah sebelum ini mereka sudah mengadakan pertemuan tanpa aku, karena malam ini juga ayahku menerima lamaran mereka, dan meyakinkan aku agar aku bersedia. Ibuku, yang duduk di sebelahku hanya mengusap-usap punggungku tanpa membelaku.

Jika ada yang bertanya, kamu bisa menolak kalau tidak mau, itu semua tak semudah praduga orang. Ayahku, orang yang keras, kami di keluarga ini sudah terbiasa di bawah kendali ayah. Sudah terbiasa mengikuti apapun yang beliau putuskan. Walaupun aku anak perempuan satu-satunya dari mereka, tak ada hal yang diprioritaskan untukku. Bahkan, adekku sendiri pun, laki-laki juga tidak mendapatkan perlakuan yang istimewa dari ayah atau ibu. Semua sama bagi mereka.

Melihat bang Aksa, hatiku belum merasakan apapun. Aksa bukan lelaki yang sangat tampan rupawan bak pangeran negeri kayalan, dia lelaki berparas setengah tampan perpaduan manis, mata yang teduh namun penuh keyakinan,  kulit sawo matang warna umum pada lelaki, senyumnya terlihat menawan, tingginya hampir dikisaran seratus delapan puluhan, dengan berat badan yang mendekati ideal.

Sedangkan istrinya, mba Ningrum, adalah wanita yang anggun, murah senyum, dan tidak ada nampak wajah sedih resah yang terlihat. Aku belum menemukan jawaban, mengapa mereka berniat mengambilku, mengajakku masuk ke dalam kehidupan mereka. Pasangan seperti apa sebenarnya mereka ini?

"Bolehkan aku bicara? " akhirnya aku beranikan mulut mengeluarkan kata-kata.

Semua mata akhirnya beralih menatapku. Ayah nampak ber-dehem, sedangkan ibu mengeratkan genggaman pada tanganku.

"Silahkan dek..."  bang Aksa dengan senyumnya memberikan waktu padaku berbicara.

"Aku ingin berbicara dulu pada mba Ningrum,  tolong kasih alasan, mengapa mba memberi ijin pada bang Aksa untuk memperistiku juga? Tidak cemburu? Tidak takut aku merebut perhatian suami mba suatu saat nanti? "

Orang yang aku sebut namanya, nampak ber-dehem sebelum menjawab pertanyaanku.

"Dek... "

"Panggil Ara aja mba, "

"Baiklah, Ra...  Tak ada alasan apapun yang bisa aku katakan, karena memang tak ada alasan. Cuma satu,  beginilah caraku mencintai suamiku... Mas Aksa sudah meminta ijinku dengan caranya, dan jawabanku aku ikhlas, aku bersedia akan berbagi suami denganmu...  Tolong terima ya, kita bertiga bisa belajar setelah ini. "

"Tapi mba, aku bukan type perempuan yang bisa atau mau berbagi, apalagi tentang suami. Entah apa yang sudah kalian rencanakan tanpaku,  "

"Kita bisa belajar Ra...  Kita bisa jalani ini dulu...  Yang penting aku sudah mengijinkannya kan? "

"Mba sudah ikhlas, hati mba sudah menerima. Tapi, apa kalian tahu tentang hatiku juga? Apakah kalian tidak ingin mengetahuinya? " kataku setenang mungkin.

"Dek. " suara bang Aksa memutus pembicaraanku dengan mba Ningrum. "Intinya dek Ara mau menerima tidak lamaran saya? Jujur, sebelum ini kami sudah membahas tentang ini, dan ayah ibu dek Ara serta istri saya sudah memberi restu. Tapi, saya tetap meminta pendapat dek Ara, menerima saya atau menolaknya? "

"Kami sudah terima nak Aksa, apa keputusan ayah, keputusan Ara juga. "

Jika suara ayah sudah terdengar, itu pertanda suaraku tidak diperlukan lagi. Aku hanya bisa menghela nafas lelah.

"Bagaimana dek? "

"Apa yang bisa aku katakan. Kalian yang pegang kendali bukan? "

"Ara. Yang sopan. Aksa calon suamimu. " ayah tidak pernah marah padaku, karena memang aku tidak pernah membantahnya, aku kategori anak yang penurut. Apalagi suara tegasnya sudah keluar,  aku semakin tak berani melawannya.

"Iya yah. Maaf. "

Setelah itu, aku tidak terlalu mendengarkan apa-apa yang mereka bicarakan. Tentang persiapan pernikahan yang akan diselenggarakan bulan depan.

Aku bukan anak gadis yang mudah jatuh cinta. Seumur hidup hingga kini belum pernah aku merasakan bagaimana berpacaran seperti teman-temanku. Bukan tidak laku atau tidak ada yang suka kepadaku. Tetapi, karena aku tidak mau. Ayah adalah salah satu alasan aku tidak berpacaran. Ayah melarang keras.

Aku bisa saja belajar mencintai calon suamiku nantinya, namun menikahi suami orang? Itu tak pernah masuk dalam anganku.

Poligami?  Selalu yang muda, yang menjadi omongan orang luar, walaupun itu atas kehendak istri yang pertama.

Aku takut, tapi aku harus menjalaninya.... 

Bersambung....

Hai... Mohon vote dan komentnya yaaa...  🤗

Tiga Hati (Tamat/ Ada Di Dreame) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang