Mizuko melipat tangannya. Ia merasa gugup. Seisi ruangan kelas melihatnya dengan serius.
"Nona Hasegawa," panggil sang ibu guru, "ayo nyanyikan salah satu lagu patriotik kita."
Mizuko membuka mulutnya. Namun sebelum ia sempat mengeluarkan satupun alunan nada, seorang anak perempuan di belakang tempat duduknya mengangkat tangan.
"Bu Guru," ucapnya dengan nada mengejek, "Mizuko suaranya jelek sekali. Biar aku saja yang nyanyi, bu."
Anak perempuan itu bernama Ayaka. Ayahnya adalah seorang pengusaha pertambangan yang dekat dengan petinggi militer di Jepang. Sang ibu guru hanya tersenyum.
"Baiklah, Nona Kobayakawa. Silakan nyanyikan lagunya," ucapnya sambil tersenyum.
Ayaka menyanyikan lagu tersebut dengan merdu. Mizuko hanya menunduk diam mendengar seisi penghuni kelas bertepuk tangan untuk Ayaka dengan meriah. Dengan pelan ia mengusap matanya yang kini berkaca-kaca.
Tahun 1941, Jepang memulai perang untuk melawan Amerika Serikat. Keadaan berubah dengan cepat, Jepang kini bergabung dalam Perang Dunia Kedua yang pecah beberapa tahun silam di Eropa, sebagai sekutu Jerman dan Italia.
Untuk menutupi kekurangan pasukan yang akan dikirimkan untuk berperang, militer Jepang mengadakan wajib militer untuk laki-laki muda yang sehat.
Mizuko bersembunyi di belakang kimono ibunya. Sang ayah sedang berbicara dengan perwira yang datang ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak tersenyum seperti halnya tamu lain yang biasa datang ke rumah. Raut muka mereka sangat serius. Tidak ada senyum yang terlukiskan di wajah mereka.
Perwira itu kemudian pergi. Sang ayah menunduk selama beberapa saat. Kemudian ia mengangkat wajahnya, menatap Mizuko, kemudian tersenyum. Mizuko sadar, wajah sang Ayah memancarkan kesedihan namun ia masih berusaha tersenyum. Selamat dari medan peperangan adalah harta paling mewah sekaligus aib memalukan yang dapat dimiliki oleh tentara Kekaisaran Jepang.
Sang Ayah mendekati Mizuko. Sambil mengelus rambutnya, ia berkata,
"Besok ayah harus pergi bekerja, ya," ucap Ayah Mizuko dengan lembut, "jaga ibumu dengan baik-baik."
Mizuko melihat ibunya menangis.
"Apakah tidak ada pilihan lain, Tatsuo?" ucapnya sambil terisak.
"Ini adalah perintah langsung dari Kaisar," Ayah Mizuko mengusap air mata istrinya sambil tersenyum, "tenang saja, Yukiyo. Aku pasti kembali."
Sang Ayah berjongkok, berusaha menyamai tinggi Mizuko. Mereka bertatapan selama beberapa detik. Ayah Mizuko ingin mengatakan sesuatu namun ia hingga memutuskan untuk tidak membicarakannya karena takut melukai hati Mizuko.
"Mizuko, bisakah kau menyanyikan lagu Sakura Sakura untukku?" pinta Ayah Mizuko.
Mizuko mengangguk ceria. Ia memang sangat senang bernyanyi. Nyanyian merdu pun mulai keluar dari mulutnya yang mungil.
Sakura sakura ,noyama mo sato mo.
Tanpa sadar, ayah Mizuko menitikkan air matanya.
Mi-watasu kagiri, kasumi ka kumo ka.
Ia tahu pasti, itu adalah lagu perpisahan dari putri kecilnya.
Keesokan harinya, lengkap dengan seragam tentaranya, Ayah Mizuko berangkat menuju medan perang. Sang Ayah memutar badannya untuk melihat Mizuko dan istri tercintanya. Ia melambaikan tangannya sambil tersenyum. Itu adalah saat terakhir Mizuko melihat ayahnya.
Empat tahun kemudian, tahun 1946, rumah mereka kedatangan beberapa tamu dari militer Jepang. Mereka berpakaian serba hitam. Kemudian, mereka menyerahkan dua buah surat. Selembar surat dukacita dari Pemerintah Kekaisaran Jepang dan selembar surat wasiat Hasegawa Tatsuo, Ayah Mizuko.
Ayah Mizuko gugur dalam invasi yang gagal di pesisir timur Amerika Serikat.
Lamunan Mizuko terhenti saat Ayaka memukul mejanya dengan keras.
"Halo, malaikat suara jelek," ejek Ayaka disusul tawa cekikikan teman-temannya yang lain. Mizuko memalingkan wajahnya, berusaha untuk tidak melihat wajah Ayaka.
"Aku hanya punya satu permintaan untukmu," ucap Ayaka sambil menunjuk kearah Mizuko, "jangan sampai kau ikut kompetisi itu! Kau bahkan tak layak untuk ikut sebenarnya. Entah mengapa ibu guru kita ingin engkau ikut. Sepertinya ia punya rencana untuk membuat jurinya pingsan semua saat mendengar suara jelekmu itu."
Mizuko mengangkat tasnya, berusaha untuk pergi. Namun Ayaka menarik ikat rambutnya dari belakang, kemudian menjambaknya. Mizuko mengerang kesakitan.
"Lepaskan!"
"Ini hukuman karena kau tidak sopan di hadapanku!" bentak Ayaka.
"Ayo kita buka roknya," ajak seorang di antara teman Ayaka.
"Iya, benar sekali. Aku akan membuka bajunya!"
Mizuko ketakutan, jantungnya berdebar dengan kencang. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang sedang berlari menuju arah mereka.
"Hentikan! Ada apa dengan kalian semua?" ucap Akio, ketua kelas mereka. Ia merupakan salah satu pria yang populer di sekolah.
Ayaka segera berhenti menjambak rambut Mizuko. Ia mundur beberapa langkah ke belakang. Sementara teman-temannya yang lain hanya bisa tertegun. Akio berlari untuk membantu Mizuko.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Akio.
Mizuko hanya mengangguk kecil. Kulit kepalanya sakit akibat dijambak.
"Kami cuma main-main kok, Akio," jelas Ayaka, berusaha mencari alasan.
"Ya, main-mainnya juga jangan seperti itu. Lihat Mizuko kesakitan nih," ucap Akio dengan sedikit kesal, "ayo, Mizuko."
Akio mengambil tangan Mizuko dan menariknya keluar dari kelas. Wajah Ayaka dan teman-temannya memerah akibat cemburu.
Matahari bersinar dengan terang di halaman sekolah. Akio dan Mizuko duduk bersebelahan di bangku, menghadap ke arah anak-anak sekolah yang sedang bermain bola.
"Kau tahu, kau tak boleh membiarkan mereka terus-menerus mengusik dirimu," Akio menghela nafasnya, "sekali-kali kau harus bisa melawan. Kalau kau pasrah, mereka akan semakin kelewatan."
Mizuko mengangguk kecil kemudian berkata, "Aku ingin melawan tapi aku tidak berani."
"Jadi mau sampai kapan kau akan membiarkan mereka menganggumu seperti itu?"
Mizuko hanya menggelengkan kepalanya.
"Kau ikut kompetisi menyanyi itu kan?" tanya Akio.
Mizuko terkejut dan wajahnya memerah, "Ba-bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku ketua kelas kalian, bodoh," ucap Akio sambil menjitak lembut kepala Mizuko.
"Ayaka tak ingin kau ikut kompetisi itu karena ia takut kalah darimu," ucap Akio, berusaha untuk menyemangati Mizuko.
Mizuko hanya terdiam. Ia enggan berkata apa-apa.
"Semangat ya, Mizuko. Kau pasti bisa berhasil!" ujar Akio sambil melangkah pergi, meninggalkan Mizuko sendirian di bangku itu.
Ayaka dan teman-temannya melihat mereka dari kejauhan. Wajahnya merah memendam amarah.
"Aku punya rencana untuk menyingkirkan kuman busuk itu," ucap Ayaka.
BERSAMBUNG.
Bagian baru terbit setiap Kamis.
Ditulis oleh: Undercover Ghost
YOU ARE READING
Kidung Mentari Terbit Vol. 1
Historical FictionHiroshi pergi menuju Jakarta untuk menemukan kekasihnya yang sudah lama hilang, Mizuko. Namun ia harus terjebak dengan situasi yang sangat rumit, konflik yang tak kunjung usai antara kepolisian Indonesia dengan kelompok pejuang yang menginginkan kem...