Bagian Lima: Sandera Komunis I

115 9 1
                                    

Hiroshi merasakan kaki dan tangannya terikat dengan erat. Mulutnya juga disekap dengan kain basah yang sangat tidak enak baunya. Hiroshi mengerang, berusaha keras untuk melepaskan diri.

Ada dua orang yang berada di depannya. Mereka menyadari kalau Hiroshi sudah bangun. Dua orang itu saling berbincang satu sama lain dalam bahasa yang sama sekali tidak dapat dimengerti oleh Hiroshi. Mereka berjalan mendekati Hiroshi.

Sinar mentari pagi masuk melalui celah-celah di jendela itu. Ruangan kantor saat itu terasa sangat sepi. Nobutsugu merapikan berkas-berkas yang menumpuk berantakan di meja kerjanya. Sesekali matanya menyorot ruangan kantor yang masih sepi itu. Ia menghela nafasnya.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang sedang berlari, menggema di seluruh ruangan yang sepi itu. Pintu kantor Nobutsugu dibuka dengan terburu-buru.

Seorang anggota polisi dengan seragamnya yang cukup berantakan memasuki ruangan, memberi hormat, kemudian berkata.

"Selamat pagi, pak," ucapnya dengan nafas yang sedikit tertahan.

"Kenapa, Naufal?" tanya Nobutsugu dengan nada heran.

"Kami menemukan tubuh seorang Jepang tergeletak tidak bernyawa," jawabnya, "korban tewas akibat tembakan peluru dari senjata Arisaka, sudah pasti milik teroris komunis."

Nobutsugu mengambil cangkir berisi kopi yang ada di atas mejanya. Ia memang menyukai kopi. Apalagi jika suasananya mulai tegang.

"Arisaka ya?" ucapnya sedikit menggumam, "senjata itu sudah sangat ketinggalan jaman. Terkadang aku heran mengapa komunis-komunis bodoh itu sangat terbelakang."

"Pak, kita menunggu instruksi lebih lanjut."

"Apakah korban sudah diidentifikasi?" tanya Nobutsugu, kembali meminum kopinya.

"Sudah, pak. Dari kartu identitas korban, disebutkan bahwa korban adalah warga negara Kekaisaran Jepang yang bernama Hiroaki Katsuo."

"Kenapa bisa terjadi seperti ini?" Nobutsugu menaruh tangannya di pinggang, memperhatikan sekekeling seakan sedang berusaha mencari jawaban.

"Naufal, telepon pihak kedutaan besar Kekaisaran Jepang," perintah Nobutsugu, "kita butuh arahan dari mereka."

"Siap, pak," jawab sang anggota polisi itu. Setelah itu, ia pergi dengan langkah sedikit dipercepat.

Suasana kantor masih sangat sepi karena saat itu memang masih sangat pagi. Nobutsugu, seperti biasanya, selalu datang pagi-pagi buta. Ia adalah kepala kepolisian kota Jakarta yang baru saja diangkat.

Nobutsugu duduk di kursi kantornya sambil mengangkat matanya ke atas, melihat langit-langit ruangan kantornya. Pikirannya melayang, memikirkan situasi pelik yang harus dihadapinya.

Sang kepala kepolisian sebelumnya, Anwar Jusuf, telah gugur dalam baku tembak menghadapi pemberontak yang masih banyak berkeliaran di Jakarta. Dan kini, seorang Jepang tewas dibunuh di wilayah yang diawasinya.

Matanya melirik foto Anwar Jusuf, pendahulu dan mantan atasannya.

"Bahkan setelah kau tiada, kau masih memberikan pekerjaan kepadaku," ucap Nobutsugu dalam hatinya.

Telepon berdering dan langsung diangkat dengan cepat oleh Nobutsugu.

"Kami sudah mendengar kabar kalau ada seorang Jepang yang dibunuh oleh teroris komunis," ucap suara yang ada di seberang telepon, "kami tahu, kematian korban adalah tanggung jawab kami. Tapi untuk urusan penyelidikan dan pengusutan kasus ini, kami sangat berharap dan bergantung kepadamu, Pak Siregar."

"Baik, tuan Duta Besar. Saya dan anggota kepolisian Republik Indonesia tidak akan pernah mengecewakan Anda dan Kaisar Jepang," jawab Nobutsugu, "ngomong-ngomong, untuk selanjutnya, panggil saja saya Nobutsugu. Sebuah kehormatanku bisa menerima nama Jepang dengan kanji yang sangat indah dari Yang Mulia Kaisar Jepang."

Kidung Mentari Terbit Vol. 1Where stories live. Discover now