Hiroshi dan Katsuo turun dari kapal itu. Cahaya mentari menyilaukan mata mereka untuk sejenak. Mereka hanya mampu membeli tiket untuk menginap di dek bawah. Sehingga untuk beberapa hari, mereka tidak dapat menyaksikan cahaya matahari.
Di Jawa, mataharinya sangat terik, bahkan di bulan Desember.
Katsuo melihat sekelilingnya, berusaha menemukan alat transportasi bagi mereka.
"Becak!" panggil Katsuo.
"Apa itu Becak?" tanya Hiroshi kebingungan.
"Ha, itu alat transportasi lokal disini. Di Jepang, kita menyebutnya Jinrikisha," Katsuo berusaha menjelaskan, "bedanya, mereka menggunakan sepeda untuk menarik becaknya."
Seorang tukang becak berpakaian lusuh mendekati mereka. Ia berusaha berbicara dalam bahasa Jepang yang sederhana. Namun demikian, mereka mengerti ucapannya. Mereka pun menaiki becak itu dan mulai melanjutkan perjalanan.
Matahari di bulan itu sangat terik. Negeri tropis itu sedang memasuki musim kemarau. Sesekali tukang becak itu menyeka pilu dari dahinya. Hiroshi memandang sekeliling. Pejalan kaki berlalu-lalang di pinggir jalan, mobil-mobil produksi Jepang memenuhi jalanan. Gedung-gedung pencakar langit terlihat menghiasi pusat kota.
"Meski kota ini lebih dikenal sebagai Batavia," ujar Katsuo, "namun pemerintah negara ini sudah mengubah namanya menjadi Jakarta atas seizin Kaisar Jepang."
Hiroshi memutar kedua bola matanya. Ia heran dengan Katsuo yang kelihatan tahu banyak tentang negeri ini.
"Tahun 1950, Kaisar memberi kemerdekaan kepada negara-negara di selatan dan membentuk Persemakmuran Negara-Negara Selatan, termasuk juga negara ini," lanjut Katsuo sambil tersenyum, "meliputi wilayah bekas jajahan Inggris, mereka membentuk Malaya. Di utara, juga ada Filipina. Dan negeri dimana kita berada saat ini bernama Indonesia. Semuanya bersatu dalam lindungan Kaisar Jepang."
"Tunggu dulu," Hiroshi berusaha menyela, "kok kau bisa tahu begitu banyak tentang negeri ini?"
"Tentu saja dari sepupuku," jawab Katsuo, "dan beberapa buku yang kubaca di perpustakaan nasional."
"Sejak kapan kau jadi suka baca buku?" ucap Hiroshi sambil tersenyum mengejek.
"Sebelum aku bekerja disini, aku harus mengenal negeri ini dulu," jawab Katsuo, "karena ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk bisa sukses."
Katsuo lahir di keluarga yang miskin. Berbeda dengan Hiroshi yang lahir di keluarga pengusaha kelas atas, Katsuo harus bertahan hidup di tengah kemiskinan dengan menjual koran di sekitar stasiun Shibuya.
Perang Pasifik pecah dan Ayah Katsuo harus berangkat menuju medan perang. Ayahnya gugur dan ibunya meninggal akibat tuberkulosis. Katsuo tinggal di panti asuhan semenjak itu.
Hiroshi bisa memahami perasaan Katsuo saat ini. Di negeri baru ini, semuanya bisa diraih.
"Kau tahu tidak, Hiroshi?" tanya Katsuo
"Tahu apa?"
"Aku sudah melamar Mikki."
Mata Hiroshi terbelalak. Ia kaget mengetahui sahabatnya mampu mendapatkan seorang wanita.
"Ha, Mikki? Anak pemilik kedai ramen favorit kita waktu sekolah?"
Katsuo mengangguk dengan bangga.
"Tidak kusangka," ujar Hiroshi dengan mengejek, "ternyata pahlawan Jepang kita juga mampu mendapatkan hati seorang wanita. Selamat ya!"
Mereka tertawa dengan lepas.
"Aku akan menikahinya di Bali," ucap Katsuo, "di pantai indah berselimutkan pasir putih."
"Jadi dia sudah disini?"
"Iya, dua bulan yang lalu. Dia buka kedai ramen disini," jawab Katsuo dengan tersenyum.
"Kau tahu, Hiroshi. Ketika kau jatuh cinta dengan seorang wanita, apalagi jika wanita itu adalah seorang malaikat di hidupmu," lanjut Katsuo sambil menikmati angin kecil yang mengenai pipinya, "dua bulan saja sudah cukup untuk membuatmu menderita akibat rindu. Aku ingin melihat Mikki lagi dan mencium keningnya seakan kami sudah terpisah bertahun-tahun lamanya."
Hiroshi tersenyum kecil. Perkataan Katsuo membuatnya teringat dengan Mizuko. Ia sudah tidak melihatnya selama sepuluh tahun. Hiroshi tenggelam dalam lamunannya.
"Hiroshi, ini namanya bunga Shion," suara Mizuko terdengar pelan di telinga Hiroshi, "jika kelak kau rindu kepadaku atau saat aku rindu denganmu dan kita terpisah jauh, aku ingin bunga ini di antara kita berdua."
"Kalau yang ini?" ucap Hiroshi sambil menunjuk sebuah bunga berwarna jingga di buku itu.
"Itu Sayuri, bodoh," jawab Mizuko dengan kesal, "kau hanya memberikan bunga itu jika kau membenci seseorang."
"Tapi warnanya cantik," ujar Hiroshi sambil mengelus rambut Mizuko, "sama seperti rambutmu."
"Kau tidak mengerti bahasa bunga, ya?" jawab Mizuko kesal sambil memukul bahu Hiroshi.
Lamunan Hiroshi buyar saat becak yang ditumpangi oleh mereka dihadang oleh sekelompok orang. Di lengan mereka, terdapat ban lengan berwarna merah dengan simbol palu dan arit. Mereka memegang senjata Arisaka yang terlihat cukup tua.
Terlihat tukang becak dan sekelompok orang itu bercakap dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Hiroshi.
Perlahan, tukang becak itu menatap mereka dan berkata, "Maaf, mereka menyuruh kalian untuk turun."
"Tapi kan kita belum sampai ke tujuan, pak?" ujar Katsuo berusaha menyela, "sebentar, aku akan berbicara dengan mereka."
Katsuo turun dari becak itu. Wajah sekelompok orang itu menatap mereka dengan ketus. Katsuo berusaha menyapa mereka dalam bahasa Indonesia yang kaku.
"Hai, kami ingin menuju penginapan di sekitar pusat kota," jelas Katsuo sambil tersenyum gugup, "jadi bolehkah kami melanjutkan perjalanan? Aku akan memberikan jam tangan ini."
Katsuo melepaskan jam tangannya, kemudian memasukkan jam tangan itu ke dalam kantong salah seorang dari kelompok itu. Sekelompok orang itu tiba-tiba naik pitam dan seorang di antara mereka mengangkat senapan mereka dan menodongkannya ke arah Katsuo.
Hiroshi sadar bahwa Katsuo sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Hiroshi berusaha mendorong Katsuo namun terlambat. Suara letusan senjata terdengar keras di tempat sepi itu.
Katsuo rebah dengan darah segar mengalir keluar dari dadanya. Peluru tajam itu melubangi dadanya. Hiroshi berlari mendekati sahabatnya.
"Katsuo!" panggil Hiroshi. Perasaannya campur aduk antara marah dan sedih.
"Hiro-Hiroshi," Katsuo berusaha mengucapkan kata-kata dengan nafas terakhirnya, "apakah waktuku sudah tiba? A-aku belum mau mati."
Katsuo menghembuskan nafas terakhirnya di tangan Hiroshi. Hiroshi menutup mata sahabatnya yang masih terbuka. Katsuo tidak menerima kematiannya.
"Jepang sialan!" ucap salah seorang dari kelompok itu sambil meludahi wajah Hiroshi, "serendah itukah kalian memandang kami? Kau kira kami ini semua perampok?"
"Dasar bajingan!" bentak Hiroshi, "bajingan kalian semua!"
"Diam kamu, dasar fasis sialan!" ucap salah seorang dari kelompok itu sambil memukulkan gagang senjatanya di wajah Hiroshi hingga ia tidak sadarkan diri.
"Apa-apaan kau ini?" bentak salah satu orang itu kepada orang yang melepaskan tembakan, "kita disuruh ketua untuk menculik orang Jepang hidup-hidup. Lagian suara tembakan yang keras itu pasti bisa menarik perhatian polisi-polisi penjilat pantat Jepang itu. Untung saja kita berada di tempat yang sepi."
"Ma-maaf, pak."
"Sudah, lanjutkan saja! Bawa Jepang keparat ini ke markas," mereka mengangkat tubuh Hiroshi yang tidak berdaya.
Samar-samar Hiroshi melihat tubuh sahabatnya yang tergeletak tidak bernyawa.
"Mi-Mizuko, maaf. Aku telat."
BERSAMBUNG.
Bagian baru terbit setiap Kamis.
Ditulis oleh: Undercover Ghost
YOU ARE READING
Kidung Mentari Terbit Vol. 1
Ficción históricaHiroshi pergi menuju Jakarta untuk menemukan kekasihnya yang sudah lama hilang, Mizuko. Namun ia harus terjebak dengan situasi yang sangat rumit, konflik yang tak kunjung usai antara kepolisian Indonesia dengan kelompok pejuang yang menginginkan kem...