Surabaya, 12 Juli 2015.
Pagi Buta Winayu mendapatkan pesan whatsApp dari Mami Jenny, managernya. Meminta agar Winayu mau lembur untuk membantu membersihkan ruang kerjanya yang baru selesai di renovasi.
📱"Pagi, Win. Hari ini, Lu lembur yo. Isak kan? Bantu beresin Lu punya ruangan yang di renov kemarin. Harus bersih ya, ada Big Bos. Cik Santy ama Koh Hendrik dateng ngecek resto. Berabe lak ndak kamu bersihno isak ngomel bosnya"
📲"Beres, Cik. Nanti saya bersihkan sama Mila. Tak suruh anak kitchen atau server bantuin. Makasih infonya. Sayang banget sama Mamiku Hitachi ini. Siap wes pokok'e bersih sebelum Big Boss datang", balas Winayu kepada Mami Jenny melalui pesan singkat WhatsApp.
Bagi Winayu dan beberapa karyawan, Managernya yang Hitachi (Hitam tapi Chinese) itu memperlakukan karyawannya dengan baik. Berbeda dengan pemilik restonya. Maka dari itu Winayu berani se-akrab itu dengan managernya seperti Mamanya sendiri.
•••
🕚11.00 WIB"Non.. Milaaaa.. Main hape tok arek iki!" sindir Winayu kepada Mila, partner kerjanya.
"Hm. Ngopo toh, Mbak Win? Mau izin Mami Jenny ta? Gek ndang budhal noh! Kowe ra gelem isuk mau sakjane, Mbakyu. Mepet siang pas Cik Santy jadi datang kan yo kowe ra sido njupuk honor nang sekolahmu kae" jawab Mila dengan nada kesal.
"Yowes, aku berangkat sekarang ae ya. Tolong izinkan ke Mami yo, Mil"
"Iyo, ati-ati Mbak Win. Cepet balek kowe yo. Mundak di titeni"
Winayu bergegas mengendarai kuda besinya. Terik matahari siang itu tak mengurungkan niat Winayu untuk pergi ke Yayasan Andricla demi honor bulanan dari ekstrakurikuler yang tak seberapa. Bahkan, Winayu tak ambil pusing kalau seandainya Cik Santy owner resto mengetahui kalau ada satu karyawannya yang meninggalkan lokasi kerja tanpa izin.
•••
🕛12.00 WIB"Assalamu'alaikum, Bu Atiek. Maaf, saya ke sia.. .. .."
"Jam berapa kamu ini, Win? Saya suruh jam berapa, kamu datang jam berapa? Dasar! Kayak nggak butuh uang anak ini. Sudah kaya ya, kamu? Sekalian kalau nggak mau honor itu bilang saja, biar saya nggak capek ngitung dan nulis namamu di laporan keuangan Yayasan" tukas Bu Atiek.
Winayu yang belum sempat melepas gagang pintu kaca Ruang Tata Usaha itu seketika tersentak mendengar kalimat yang baru saja di ucapkan Bu Atiek padanya. Ya, wanita parubaya yang terkenal sebagai macannya Yayasan Andricla itu memang tipe orang yang bermulut pedas. Namun tak banyak yang menggubrisnya, termasuk Winayu.
"Halo, Nona. Di marahi malah senyam-senyum kamu itu", lanjut Bu Atiek.
"Ya, bu. Winayu minta maaf deh. Kesiangan ta? Bukan nggak mau duit, bu. Gini lho, bu, hari ini ada jadwal kunjungan Tacik Owner restonya. Jadi ya, nggak bisa keluar sembarangan. Ini saja saya harus ambil sela waktu biar bisa kesini" jelas Winayu.
"Wes mboh, Win. Sak karepmu! Wes ini, cepat kamu tanda tangan disini. Ndang tak setor ke Kepala Yayasan"
Winayu nyengir sembari menanda tangani form gaji pembina ekstrakurikuler yang di sodorkan Bu Atiek. Sedangkan wanita parubaya itu masih menatap sinis pada Winayu.
Tiba-tiba suasana menjadi hening, terdengar samar suara yang tak asing bagi Winayu. Ya, benar. Itu suara Pak Mansyur Pemilik Yayasan Andricla. Pegawai seisi ruangan yang tadinya berbincang santai langsung berlagak fokus menghadap meja kerjanya masing-masing.
"Assalamu'alaikum, Selamat Siang. Waduh, sip jeh! Yo ngono akas kerjone, Rek. Nanti saya beri reward untuk yang rajin"
Winayu tersenyum dan melambaikan tangan kepada Pak Mansyur.
"Eh, ada Mbak Winayu. Apa sudah dari tadi?" sapa Pak Mansyur seraya menepuk pundak Winayu.
"Wa'alaikumussalam, Bapak. Nggih, Bu Atiek yang sudah dari tadi nunggu saya. Kalau saya sih, baru saja datang", Winayu membungkam mulutnya sambil tertawa lirih.
"Bisa saja kamu, Nduk. Oh ya, Winayu bisa ikut bapak sebentar? Ada yang mau bapak sampaikan"
Winayu hanya mengangguk dan mengikuti langkah kaki Pak Mansyur yang menuju ke Taman Sekolah. Tak seperti biasanya, kali ini beliau membuka obrolan dengan basa-basi dan menanyakan target kuliah yang rencananya akan di tempuh Winayu awal bulan September nanti.
"Pak, ngapunten. Sebenarnya njenengan mau menyampaikan prihal apa toh?" Winayu menatap Pak Mansyur penuh penasaran sambil sesekali melihat jam tangan warna biru miliknya.
"Jadi gini, Nduk. Ini blak-blakan saja yo. Pak Mansyur ini lak wes umur 55 tahun. Tinggal nunggu giliran di panggil 'pulang'. Saya punya impian kalau Yayasan Andricla yang saya bangun dengan susah payah ini bisa dikembangkan oleh orang-orang kepercayaan saya. Satu diantaranya yaitu kamu. Dengan rendah hati, saya memohon kamu bersedia mengabdikan diri disini. Toh, dulunya yayasan ini juga tempatmu menimba ilmu. Apa kamu nggak pengen jadi guru tetap disini? Bukankah cita-citamu menjadi seorang guru, nduk?"
Dheg!
Hey, mimpi apa semalam? Seperti ketiban gajah, pundak Winayu seakan berat. Dadanya penuh sesak. Winayu terdiam sejenak, tak sedikitpun memberi tanda untuk mengiyakan ucapan Pak Mansyur. Sekuat mungkin ia membendung sungai kecil yang mulai menggenangi sudut matanya."Saya tahu kamu berat untuk memustuskan. Saya hanya mampu memberi gaji Rp 1.500.000 , tidak sebesar nominal gaji di tempat kerjamu sekarang. Kelebihannya hanya ada pada waktu, kalau kamu kerja disini bisa disambi kuliah dan nanti soal biaya saya bantu sekolahkan kamu biar jadi sarjana yang joss. Tapi yang saya harapkan kamu mau dan sanggup mengemban amanah ini, nduk. Dari sekian alumni SMP Andricla, baru kamu yang saya srek percaya", sambung Pak Mansyur.
"Baik, Pak. Tentang gaji, saya tidak munafik karena siapapun pasti memilih nominal gaji yang besar. Tapi secara tidak langsung, jujur saya terbebani dengan permintaan njenengan. Beri saya waktu, biar saya pikirkan dulu. Insya'allah dalam waktu dekat ini saya beri keputusan. Saya pamit dulu ya, Pak"
Pak Mansyur tersenyum penuh harap. Binar matanya menatap seiring wanita muda itu pergi dari pandangannya.
Winayu menghela nafas panjang. Ia sadar betul, Pak Mansyur beserta Bu Rahma istrinya, sangat menyayangi Winayu layaknya anak sendiri.
Peran serta keduanya sangat berjasa bagi Winayu, apalagi saat Winayu masih berstatus sebagai siswa di SMP Andricla. Hampir separuh dari biaya sekolahnya di gratiskan oleh Pak Mansyur dan istrinya. Terlebih ketika Winayu mengalami depresi akibat kematian ayahnya, Bu Rahma yang saat itu menjabat sebagai Wali Kelas Winayu menjadi orang terdepan yang membangkitkan semangat Winayu untuk melanjutkan jenjang pendidikannya.Winayu melamun sepanjang jalan. Ia benar-benar bimbang atas tawaran yang di ajukan Pak Mansyur. Sungguh, Winayu merasa itu bukan sekedar tawaran. Tapi seperti sebuah wasiat dan amanah yang mewajibkan Winayu untuk memenuhinya. Seperti mengisyaratkan jika Winayu berhutang budi dan ini saatnya membalas. Winayu enggan mengambil keputusan, walau ia menyadari tidak ada cara lain untuk membalas kebaikan Pak Mansyur selain mengindahkan tawaran itu.
Sedari tadi, gawai Winayu sudah berdering. Namun, dering gawai milik Winayu kali ini membuyarkan lamunannya. Winayu menepi di trotoar, menatap layar gawai yang menunjukkan notifikasi 14x panggilan tak terjawab dari Cik Santy, buru-buru Winayu menuju ke Resto agar Si Owner yang cerewet itu tidak mencaci-maki untuk kesekian kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Teacher
Fiksi RemajaKeputusan Winayu untuk meninggalkan jabatannya sebagai Admin HRD sebuah Resto ternama di Surabaya membawanya kembali ke tempat dimana ia menimba ilmu dan mendapat wawasan luas saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tawaran dari Pak Mansyur...