Prolog

90 5 0
                                    

-Demas-

Bandung, 25 Agustus 2026

Seperti kebanyakan manusia di dunia ini, gue gak terlalu percaya dengan momen-momen konyol yang biasa gue lihat di film-film romansa. Apalagi roman picisan yang benar-benar meng-capture perasaan si pemain lewat suara hati, diiringi lagu-lagu soundtrack melankolis. Atau saat layar seakan ter-pause dan hanya terdengar degup jantung si pemeran utama saat melihat pasangannya—yang biasanya jadi titik balik dimana dia mulai jatuh hati.

Atau yang biasa dijabarkan di novel-novel romansa untuk bocah SMA dan genre-genre teenlit lainnya, saat si pemeran utamanya merasa jantungnya berhenti berdetak bahkan untuk sesaat, menggambarkan bagaimana dunia seakan-akan berhenti, hanya untuk menikmati momen magis cinta.

Itu terlalu cheesy. I'm 24 and cheesy thing is not my cup of tea.

Dan percayalah; secara medis, lo disebut mati ketika jantung lo berhenti berdegup bahkan untuk sedetik saja.

Pandangan sinis macam itu masih terus gue imani sampai beberapa menit lalu. Masih ada saat sambutan meriah menyambut gue, anton, dan Juno ketika batang hidung kami tampak di mata anak alumni SMA Insan Mandiri. Masih terus ada saat gue menyesap minuman yang disodorkan Aurel yang duduk di sebelah gue, masih dengan senyum manjanya.

Tapi lo tahu, pandangan macam itu bisa berubah saat lo yang jadi pemeran utamanya.

Suasana reuni sedasawarsa SMA Insan Mandiri masih meriah saat—dari beberapa meja di sebelah—terdengar suara nyaring seorang cewek yang memanggil temannya. Suasana di meja itu juga semakin meriah saat mengetahui siapa yang datang, sama seperti saat yang lain juga masuk.

Awalnya gue sama sekali tidak menghiraukan sosok itu karena aurel benar-benar mencoba menyabotase fokus gue dengan cerita-ceritanya yang seakan tak ada akhir. Semuanya sama seperti biasanya.

Kecuali saat ekor mata gue menangkap sosok yang baru duduk di kursi yang berjarak beberapa kursi dari sisi kiri .

Dan seketika, gue merasa tuli.

Saat-saat macam ini lah pandangan sinis gue terpatahkan oleh reaksi yang diberikan tubuh gue sendiri.

Cewek berjilbab yang baru duduk di kursinya itu seakan menyedot seluruh perhatian gue. Suasana kafe yang tadinya seribut pasar ini seakan senyap seketika. Cewek itu.. seakan menjadi pusat dunia gue saat ini—maafkan segala reaksi berlebihan ini.

Cewek itu masih sama seperti yang gue ingat delapan tahun lalu, juga sama dengan yang kadang muncul di mimpi gue. Senyumnya masih sekekanakan saat yang gue ingat, saat kami masih sama-sama memakai baju putih abu.

Suara tawanya masih serenyah dulu, meski mungkin dia menahan diri sebaik mungkin mengingat umurnya yang sudah menginjak seperempat abad.

Cewek itu mengedarkan pandangannya kesekitar dengan sorot nostalgia, seakan benar-benar menikmati tingkah dan atmosfer yang sudah delapan tahun ini ia tinggalkan. Dan saat tatapan kami bertemu.. sumpah, rasanya seakan jantung gue berhenti berdetak.

Senyum di bibirnya merekah seiring dengan tangannya yang terangkat pendek di atas meja.

Gue membalas senyum cewek itu dengan senyum pendek dan seketika merasa bodoh karena itu adalah senyum paling jelek yang bisa gue lakukan di depan orang yang selama delapan tahun ini jadi bunga di mimpi gue.

Cewek itu mendengus pelan, mungkin menertawakan tampang bodoh gue. Lalu kembali bercengkrama dengan teman-temannya.

Dan tinggalah gue termenung. Diantara kebisingan ini, diantara aurel yang ternyata sama sekali gak berhenti mencoba menyabotase gue dengan tarikan-tarikan pelan, diantara total enam orang yang memisahkan kita, bersama dengan kenangan dan sensasi sesak yang rasanya memenuhi ubun-ubun.

Ingatan gue seakan terlempar.. ke delapan tahun lalu, saat semua orang yang duduk di meja panjang ini, masih bertemu rutin tiap senin sampai jum'at dengan atasan putih dan bawahan abunya, dan masih sama-sama takut dengan pak hanggono—guru PJOK garis miring BP garis miring dewa terkuat di game yang dinamakan nightmare is my school.

Pusatnya, cewek itu. Cewek dengan senyum yang pernah gue benci abis-abisan. Tapi kemudian berubah menjadi senyum paling favorit di hidup gue.

***

Tentang KitaWhere stories live. Discover now