Interlude I: Urusan Perut

16 2 0
                                    


-Alya-

Bandung, 25 Agustus 2026

Setelah 8 tahun, akhirnya aku pulang.

Meskipun aku tahu, delapan tahun itu bukan waktu yang sebentar, aku cukup terkejut dengan banyaknya perubahan yang aku lewatkan. Bandung masih secantik yang aku ingat.. Hanya saja sekarang tampak lebih rumit. Mungkin aku hanya belum terbiasa dengan rute baru angkot dan damri.

Hhh.. Aku harus merekonstruksi memoriku soal rute angkot. Seminggu ini aku sudah nyasar dua kali karena mengikuti ingatanku.

Kepulanganku ini juga membuatku harus menyambung banyak koneksi yang sempat terputus. Silaturahmi lebih tepatnya. Dan bertepatan dengan hal itu, sebuah undangan datang dari bella, seminggu setelah aku proses kepindahanku benar-benar selesai.

Reuni sma insan mandiri.

Dan silaturahmi ini benar-benar membuatku kewalahan karena banyaknya informasi yang kudapat. 30 menit sejak menginjakan kaki di kafe ini, aku sudah bisa merangkum jaring-jaring hubungan 'hits' yang terjadi di antara anak-anak angkatan.

"al.."

Aku menoleh ke arah maryam yang duduk di beberapa kursi kiri dihadapanku. Dia terlihat khawatir karena sejak tadi, sambil mendengar cerita-cerita seru anak angkatan, aku menyantap semangkuk seblak berkuah merah. Cukup pekat. Sebenarnya bukan cuma maryam saja, tapi juga beberapa orang yang tahu sejarah panjang antara aku dengan perutku sendiri.

"tenang mar, aman kok insyaaallah!" Kataku santai menepuk-nepuk pelan perutku.

"tapi serius deh, kenapa sih seblak jadi ada di kafe gini?" Sungut bella yang duduk di sebelah kiriku. "udah harganya jadi mahal, rasanya juga gak seenak yang di deket sekolah"

"yaa karena demand ke seblak tuh tinggi, makanya kafe-kafe juga gak mau kehilangan momentum. Lagian seblak di sekolah enak tuh gara-gara micinnya banyak yang berarti gak sehat. Ah, kamu mah gitu aja masa ga tau" timpal ega yang duduk di hadapannya.

Bella dan ega mulai terlibat perdebatan sengit tentang micin dan demand terhadap seblak. Dan tentu saja, aku tidak mendengarkan mereka. Ada makanan lezat di hadapanku yang sudah menunggu.

"tapi aku tetep ngeri al, liatnya.." Kata maryam hati-hati. "merah gitu lagi kuahnya.. Kalau kenapa-kenapa gimana?"

Aku memasang senyum imut andalanku, mencoba meyakinkan maryam bahwa perutku akan baik-baik saja. Ruang ini dipenuhi wajah-wajah yang membawa aroma familiar. Membuat arus memori menyerang sel-sel otakku. Jujur, aku tidak terlalu mengenal semua teman seangkatanku. Ada ratusan!. Dan menurut teori ahli, kita hanya bisa berteman dengan maksimal 50 orang.

Tapi tetap saja, melihat wajah-wajah ini membuatku bernostalgia ke tahun 2018-2019. Tahun yang sangat berkesan bagiku.

Dan biasanya, saat aku sedang sentimen seperti ini, ada saja yang mengganggu fase mellow ku--

Krrrbbbbrrrrrr..

Suara perutku nyaris meredam keriuhan yang terjadi. Aku mengerjap beberapa kali. Saat ini, aku bisa merasakan puluhan pasang mata menatapku.

Wah.. Aku, benci sekali jadi pusat perhatian.

"tuh kan al!!" Maryam mulai panik.

"itu suara perut kamu, al? Kamu gapapa?"

"ya ampun, aku kira ada meja besar yang di dorong.."

Aku hanya bisa nyengir menatap orang-orang yang panik ini. Saking paniknya, mereka menolak mendengarkan penjelasanku tentang suara bom atom dari perutku ini.

Aku masih berusaha menenangkan kepanikan maryam, omelan bella, dan ejekan ega, saat seseorang menjulurkan sebuah plastik klip kedepan wajahku. Plastik klip berwarna biru yang biasa didapat dari apotik untuk obat racikan dokter.

Aku mendongak, memeriksa orang yang sedang mengulurkan obat itu. Orang yang sejak tadi aku coba hindari tatapannya.

"obatnya masih yang ini bukan?" Tanya demas.

Aku cukup terkejut mendengar suara demas yang kini terdengar lebih 'dewasa'. Aku terpana selama beberapa saat. Garis wajahnya juga tampak berbeda.

Aku menerima obat itu dengan cepat. Ini obat pereda nyeri yang dulu sering aku konsumsi. Jelas aku tidak boleh mengkonsumsi obat ini lagi karena kondisi perutku jauh lebih baik. Tapi aku cukup takjub pada demas.

Bagaimana bisa demas punya obat ini?.

"makasih banyak.." Kataku pelan. "tapi kalau aku minum ini sekarang, perut aku bakal lebih gawat.." Lanjutku sambil menatap demas dengan tatapan bersalah.

Demas tampak kikuk. Tangannya seakan-akan ingin mengambil kembali obat ditanganku. Sikap tubuhnya benar-benar kikuk. Seakan-akan salah tingkah.

"tapi ini artinya perut aku baik-baik aja kok. Emang gasnya sedikit lebih banyak dari perut orang normal, tapi gak apa-apa kok. Aku ada obatnya" jelasku hati-hati.

Demas menatapku ragu. Tapi kemudian tersenyum sedikit. "syukur deh kalau gitu.." Katanya pelan.

"obat ini aku sita ya. Harusnya kamu gak punya obat kaya gini" kataku, merujuk pada obat yang barusan dia beri.

Demas mengangguk, lalu pamit kembali ke kursinya. Dan aku, diantara riuhnya meja kami—yang entah sejak kapan sudah berganti topik—terpaku pada sosok demas. Seakan-akan kembali ke delapan tahun lalu.

Saat aku memutuskan cowok berpikiran sempit itu menjadi tujuan jangka pendek hidupku.

Tentang KitaWhere stories live. Discover now