Sudah lebih dari 15 menit yang lalu kami duduk bersebrangan di meja makan ini, namun tidak aku tidak pula Mas Satria yang menunjukkan tanda untuk memulai pembicaraan. Entahlah... Aku sendiri merasa ada yang tidak beres, melihat begitu seriusnya Mas Satria memilih kalimat yang tepat dalam diamnya. Aku mulai bosan, jika diantara kami tidak ada yang memulai maka aku akan terus dihantui rasa penasaran, akhirnya kuputuskan untuk menyudahi suasana yang canggung ini.
"Mas mau bicara apa?" tanyaku hati-hati. Ku lirik sekilas Mas Satria nampak terkesiap, mungkin beberapa waktu lalu dia sedang melamun.
"Em...anu,, gimana ya ngomongnya, aku bingung mau mulai darimana," jawabnya gelisah. Beberapa kali dia membenarkan posisi duduknya.
"Kita belum sempat bicara sejak kita menikah, kita bahkan belum mengenal satu sama lain," lanjutnya. Aku hanya menganggukan kepala, masih menunggu kelanjutan ucapan lelaki dihadapanku ini. Sedikit takut sebenarnya, takut kalau-kalau Mas Satria ingin menyudahi pernikahan ini, takut kalau Mas Satria sudah punya kekasih sebelum menikah denganku. Semua pikiran-pikiran itu membuatku gemetar, lalu kemudian menggeleng pelan sangat pelan, hingga tak disadari oleh Mas Satri."Pak Agastya adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku, jika bukan karena beliau aku tak akan jadi seperti ini," ucapnya lagi lalu memandang ku lekat, entah perasaanku saja atau memang tatapan itu menyiratkan luka yang dalam.
"Dulu sekali beliau sangat berjasa padaku, beliau menyelamatkan ku dari sindikat penjualan anak,"
Aku terkesiap, menutup mulutku tak percaya. Sungguh betapa kelam masa lalu Mas Satria yang tidak ku ketahui sama sekali. Entah sebesar apa perjuangannya melawan trauma yang dialaminya, karena yang ku lihat saat ini adalah seorang lelaki yang tangguh dan pekerja keras."Lalu beliau merawatku, membawaku ke psikiater sampai aku sembuh dari trauma. Beliau membiayai sekolah beserta biaya hidupku hingga aku memperoleh beasiswa ke Inggris,"
"Ayah tak pernah membicarakan tentang Mas Satria padaku," ucapku kemudian.
"Mungkin Beliau hanya ingin kita bertemu pada waktu yang tepat," jawabnya dengan senyuman mengembang diwajahnya, ahh aku terpana dengan senyum itu... Blushing
"Maaf Jelita...mungkin keadaanku yang tidak tepat," lanjutnya lalu menunduk, senyum hangat nan manis yang baru saja membuatku terpana tak lagi berhias diwajahnya.
"A apa Mas Satria sudah punya... Kekasih?," tanyaku hati-hati dan aku merasakan nyeri dihatiku saat mengucapkannya, seperti ada yang luka dihatiku.
"Bukan kekasih, lebih tepatnya belum karena aku ingin langsung melamarnya ketika aku sudah mampu, sampai Pak Agas memanggilku dan memintaku menikahimu," jawabnya. "Dia teman kuliahku dulu Jelita, sudah sejak kuliah aku menyukainya. Kami bersahabat Jelita, ya aku tau perasaanku tak hanya sebatas sahabat. Dia bergantung padaku, dia juga seorang yatim piatu, mungkin karena itulah kami bisa dekat" lanjutnya lagi.
Seperti tersambar petir rasanya setelah mendengar pengakuan mas Satria, harga diriku hancur berkeping-keping, dadaku sesak seperti dihantam palu besar, inikah rasanya patah hati? Bahkan disaat aku mulai merasakan cinta. Bulir bening yang meraung-raung ingin melompat dari netraku ku tahan mati-matian. Aku tidak ingin hanya aku yang terlihat patah hati. Tuhan...bagaimana aku menjalani rumah tangga seperti ini? Tunggu... Rumah tangga? Bahkan setelah ini mungkin tidak akan ada lagi rumah tangga.
"La... Lalu apa rencana Mas? Aku tidak apa-apa jika Mas Satria ingin menyudahi pernikahan ini. Lagi pula mas satria menikahiku adalah karena permintaan dari ayah, dan sekarang ayah sudah tidak ada, jadi mas sudah tidak punya kewajiban terhadapku," ucapku mencoba tegar mempertahankan sedikit harga diri yang masih tersisa lalu ku tampilakan senyumku walau kupaksakan.
Hahhhhh
Terdengar helaan nafas berat dari Mas Satria, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Aku tau dia sama tertekannya denganku. Tapi aku tak mau dia melihatku sebagai wanita lemah. Maka sebelum aku jatuh cinta terlalu dalam mulai saat ini akan ku bentengi hatiku.
Aku terkesiap saat mas Satria menggenggam tanganku, aku tau dia mencoba berdamai dengan keadaan ini, dengan perasaannya. Hahhh... Aku baru sadar sorot netra berwarna biru itu begitu teduh, masih menyiratkan keteduhan meskipun sedikit tertutup luka. Ku gelengkan kepala ku lagi, menghalau pikiran-pikiran yang akan ku seseali nantinya."Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku Jelita. Aku ingin berusaha berdamai dengan keadaan ini, mencoba menerima pernikahan ini, meskipun aku tidak mencintaimu Jelita, tapi aku akan melakukan kewajibanku sebagai suami dengan baik, tentunya kecuali yang satu itu, kau pasti paham kan?" tanyanya, aku hanya mengangguk, rasa sakit seperti apa lagi kecuali sebuah pengakuan dari suamimu bahwa dia tidak mencintaimu, mungkin hatiku sudah mati rasa hingga aku tak merasakan sakit itu lagi.
"Bagaimana dengan..." aku menggantungkan kalimatku, tak tau harus menyebut perempuan yang memiliki hati suamiku itu dengan panggilan apa.
"Amanda,, namanya Amanda,"katanya seperti mengerti maksudku.
"Dia masih di Inggris, mengambil gelar Doktor disana," lanjutnya.
"Maksudku apa kamu akan melupakan perasaanmu padanya," meski lidahku kelu namun ku paksakan pertanyaan itu meluncur dari bibirku, yang akhirnya akan ku sesali karena menanyakannya.
"Perasaanku pada Amanda akan tetap sama Jelita, tidak akan berubah meski kami tak mungkin berjodoh," jawabnya seperti mengabaikan perasaanku,, perasaanku? Memang siapa aku? Apa penting perasaanku baginya? Dan aku mendengar bunyi krekk hatiku patah, dan ternyata hatiku tak sepenuhnya mati rasa, karena kenyataannya nyeri dan sesak itu masih begitu sakit.
Hhhhh... Geje banget... Ga tau berantakan alurnya, bahasanya...
Semoga sukak,,
Happy reading 😊😊😊Jangan lupa tinggalkan jejak 🙏🙏😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Jingga
RomanceMenikah dengan orang yang dicintai adalah impian yang dimiliki setiap gadis seusia Jingga. Tapi apalah daya ketika impian itu justru harus terkubur karena sang ayah, ayah yang sangat disayangi dan dihormatinya, karena memang ayahlah orang tua satu-s...