Jejaknya lenyap, tersapu hujan yang entah kemana hendak bermuara. Rintik gerimis ikut meluruh tanpa sadar menghapus bekas air mata si empu, faktanya, sampai tak seorang pun tahu ia tengah menangis. Gemercik rinai menghalau kebisingan desa dengan beberapa bocah yang asyik bermain bola di bawah hujan.
Wow, sepertinya skenario ini sangat pilu.
Tuhan tidak tidur.
Aish, itu tutur kuno yang tak pernah sirna. Seokjin hafal betul kalimat tadi-- sejak kecil tepatnya-- ibu kerap berucap demikian sesering mungkin agar putranya tidak diliputi dendam-- katanya.
Langkah gontai membawanya menuju kontrakan murah di tengah kota. Menyusul si belahan jiwa untuk menuntut penjelasan. Gila! Tapi kenapa harus pakai acara hujan-hujanan, sih?
Seokjin mendorong gerbang berkarat yang berderit heboh. Manik legamnya ikut memicing tajam, menyintas sejenak siluet tubuh di balik jendela.
---
"Gugurkan saja, Lisa." Berujar frustasi, Seokjin terduduk pasrah di sofa lusuh yang sudah robek kulitnya. Pria dengan Hoodie coklat yang kuyup menangkup wajah penuh sesal.
Lawannya duduk dengan jarak cukup jauh. Mereka baru berbincang sepatah atau dua patah kata, lalu kembali senyap. "Aku takut, Seokjin." Mimiknya muram, disusul lengan yang refleks melingkari perut. Yang jelas mereka telah berbuat kesalahan. Lisa menyangkal fakta bahwa dirinya bukan lagi gadis polos yang baru lepas dari timangan si Ibu. Bak simfoni musim hujan yang kebanyakan sendu, hatinya sakit, menerawang stigma orang yang begitu keji.
"Aku akan membantu."
Kewibawaan pria-nya seolah hilang saat gemerisik plastik mencuat keluar dari saku jaket. Lisa berdiri segera, tak peduli posisinya yang benar-benar terapit. "S.. Seokjin?"
"Aku sarjana kesehatan, sayang. Jangan ragu."
"Tidak waras!"
Si gadis berharap seseorang datang menanyakan perihal pekikannya beberapa saat lalu. Barangkali tetangga ada yang dengar. Rumah bata seperti ini tidak kedap suara, kok. Jiwa positifnya susah payah diredam, kendati mustahil.
Seokjin mendekat hendak menubruk pinggang ramping si wanita. Selangka mencuat membuat sensasi tersendiri di balik tubuh gemetar milik belahan jiwa. Oh, lupa kalau Lisa memang punya banyak pesona fisik. "Lisa, dengar. Kita tidak mungkin hidup normal dengan janin ini."
"Tidak begini caranya." Tangisnya pecah, Lisa melemas bersandar pada rak display di belakang. Betapa hancur perasaannya, ditambah lagi angin malam yang ikut berderu seolah menebar kepiluan. Ah, Lisa tak pernah menduga takdirnya akan semengenaskan ini.
"Tiga bulan Seokjin! Kamu tidak paham seperti apa rasanya. Aku tetap tersenyum, menari, berbincang dengan banyak orang, dan berusaha tidak peduli pada luka,"
"--kamu datang, dan aku berharap akan membawa tanggung jawab besar. Tapi ternyata nihil, bangsat!"
Lisa beringsut menuju pintu dengan Seokjin yang sangat mudah menggapai lengannya. Pekikan tertahan mewarnai pergulatan fisik antara keduanya. Terkesan tidak seimbang dengan Seokjin yang berhutang penjelasan.
Tak kehabisan akal, vas kaca di nakas berhasil digapai. Seokjin terlambat sadar, meski mata elang yang telah menguasai sepenuhnya tubuh Lisa tak sengaja bersirobok dengan dua tangkai lili yang berserakan. Kepalanya mendadak pusing-- berdenging pula.
Sepersekian detik berikutnya si pria fokus menatap serpihan kaca. Lisa lolos meninggalkan Seokjin yang terluka. Berlari tertatih menerobos hujan mengharap pertolongan. Langkah kecil membawanya ke jalan lapang, Lisa terengah nyaris kehabisan napas.
Angin malam sukses membekukan tulang, menyisakan rasa sembilu yang menyakitkan. "Seokjin, ayo beri aku tanda kalau kamu baik-baik saja." Lisa menyesal di bawah hujan. Gadis itu bersandar pada pembatasan jembatan yang berlumut. Realitanya ia ingin kembali, memastikan Seokjin yang baru saja dilukai.
Lisa bersimpuh, mendadak kehilangan rasa. Kakinya itu kebas diterpa angin. Masa bodoh dengan rasa dingin yang menusuk yang jelas si hazel tetap berkelana memindai jalan aspal yang lengang, gadis itu yakin persepsinya tak pernah salah. Di depan sana siluet pria muncul tiba-tiba dari balik kelam malam. Nampak, telapaknya terkepal kuat dengan pisau yang mencuat.
Gila! Ia pikir Seokjin benar-benar sekarat di lantai dasar. Lisa pasrah, kakinya tak lagi mampu mengukir jejak. Kalaupun Tuhan menghendaki kematian ia rela. Apa boleh buat?
Berkorban demi janin. Bagaimanapun ia bakal menjadi ibu, kan? Ibu seharusnya penuh rasa kasih, bukan kekanak-kanakan. Lisa menghitung langkah Seokjin dari kejauhan. Hujan enggan berhenti, membawa rinai yang sangat ganas. Sempat tersenyum layaknya orang kurang waras.
Andai dulu ia memilih pulang pasca acara wisuda Seokjin. Sayang sekali, ya? waktu itu keduanya masih dibutakan oleh cinta. Muda-mudi yang melampaui batas. Lisa mematri lekuk gelombang air di kubangan. Bebatuan menjadi nampak manakala diterpa cahaya sein kendaraan. Melontarkan beberapa percikan kotor yang membuat siapapun geram.
Lisa hanyut dalam lara. Batinnya terbuai, ikut menyatu dengan alam. Ia ingin menghirup petrikor setelah ini. Bersama Seokjin, bersama janin mereka juga. Bergandengan tangan lalu tertawa. Aish, mimpi baru lagi! Dasar tukang mengkhayal.
Suara nyaring klakson sedan berdering melukai telinga. Netranya refleks berkelebat mencari sumber kebisingan. Baru saja mendapati knalpot yang mengepul hilang ditelan pepohonan rindang. Lisa terkesiap, menatap tak percaya manakala tubuh orang terkasihnya terlibas moncong sedan yang sedikit bobrok. Terkapar tak berdaya di atas aspal becek.
Lisa berdiri agak oleng, kaki jenjangnya berpacu kencang menghampiri sang kekasih yang tengah sekarat. Tangisnya kembali pecah menyaksikan Seokjin tergeletak dengan genangan darah bercampur hujan. Luka pukulan berpadu dengan benturan, ah, itu sangat menyakitkan. Lisa masih Sudi menggenggam telapak tangan si empu yang agak kaku.
Kesadarannya masih baik. Seokjin sempat tersenyum dengan gerakan bibir yang tak mampu bersuara sedikitpun.
"Maaf.."
Si gadis bersimpuh, cinta tak mudah sirna di hati wanita. Kendati sudah disakiti Lisa tetap enggan menyimpan dendam. Mengusap pelan kening Seokjin yang bercampur pekatnya darah. Bibir yang membiru berusaha melafalkan beberapa kata meski sulit.
"Seokjin, tetaplah hidup."
Terisak dalam sampai tak sanggup lagi melanjutkan. Tak henti tangannya mengusap butiran hujan yang jatuh menimpa wajah teduh sang kekasih. Lisa menangis tersedu-sedu di dada Seokjin.
"Hitung sampai tiga, aku akan kembali." Telunjuknya menyentuh kelopak Seokjin yang meredup. Tatapan sayu serta respon hanya bisa diberi lewat kedipan, "hitung sampai tiga, sayang." Lisa mewanti-wanti sekali lagi agar pria-nya bersedia menunggu dengan mata terkatup.
Di bawah hujan, si gadis mengambil seplastik pil dosis tinggi dan sebilah pisau dari genggaman Seokjin. Kaki jenjangnya berpacu lemas menembus kelam malam, segera meninggalkan tubuh malang di jalan beraspal. Tersisa bayangan hitam dengan pisau yang seolah siap menghujam.
Lisa menjauh tanpa menoleh sedikitpun. Mencari warung telepon yang entah berada dimana. Jejak kisahnya seolah ikut sirna ditelan malam. Begitu pula dengan Seokjin, Lisa menghapus bukti kriminal belahan jiwanya secara sukarela tanpa balasan. Bersih, tersisa fakta sebagai korban.
Seokjin hanyut oleh hitungan fiksi yang gadisnya buat. Terbuai dalam atmosfer senyap sampai tak lagi menemukan cahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepai | Jinlice | Jinsoo
Fanfiction11-10-19 Lalisa ingin lukanya disembuhkan. Sepai : pecah menjadi kecil-kecil dan terserak ke mana-mana. (KBBI)