Hujan kembali tercurah sore ini. Tidak deras, melainkan hanya berbentuk butiran kecil yang dikenal dengan istilah gerimis. Qiara melemparkan pandangannya kearah luar, melihat lalu lintas yang macet. Ia tersenyum kecil lantas menarik buku kecil berwarna abu-abu beserta sebuah pulpen yang juga abu-abu serta mulai menulis.
Kini ada musim yang tak lagi tertakar.
Mata terbuka dan hujan menyapa.
Hai.
Aku menoleh ke jendela kaca.
Tetesnya suci, membunuh diri ke jalanan sempit, memperbesar peluang macet.Setelahnya, Qiara kembali memposisikan buku dan penanya kembali berada didalam tas. Kembali memandangi hujan yang belum mereda, kembali tersenyum lalu berusaha memejamkan mata seraya memijit pangkal hidungnya pelan. Pusing. Itu yang saat ini dirasakan olehnya.
"Mbak, sudah sampai" ujar driver taksi online- yang dipesan secara offline yang membawa Qiara pulang dari rumah sakit.
Qiara lantas mengerjapkan mata terbangun dari tidur singkatnya.
"Oh iya, terimakasih mas" ujarnya seraya membayar ongkos.
Setelahnya ia keluar dari sana dan membuka pagar serta melalui halaman rumahnya yang telah tertutupi daun-daun gugur dari pohon rambutan disana. Sesampainya dikamar, Qiara lantas menghempaskan tubuhnya diranjang, melanjutkan kembali tidurnya yang sempat terjeda.
___
Tepat tengah malam, Qiara terbangun. Nafasnya memburu. Jantungnya berdetak cepat. Air mata jatuh begitu saja membasahi pipinya yang kian tirus. Ketakutan dan rasa bersalah kini kembali menghantuinya, membuatnya kembali mengingat kisah yang selalu saja ia ingin lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionKamu mendambakan hujan, menyukai aromanya. Lalu kamu ibaratkan aku sebagai 'hujanmu'. Mungkin kamu lupa, ketika aromaku menguat, hadirku semakin tak terlihat, terendus tanah yang menggenggam rapat. 1 #dzaky (08.08.2020 - 20.08.2020)