Seorang pemuda beralis tebal tengah menyusun puzzle dengan serius. Mulutnya bergumam tidak jelas, perempatan kecil turut muncul di dahinya. Manik segelap malam miliknya menatap kepingan itu dengan tajam.
Tak disangka, sebuah bola basket terlempar ke arah puzzle yang tengah ia susun. Mengubah puzzle yang hampir selesai itu kembali menjadi kepingan kecil yang tercecer berantakan.
"Sialan," umpatnya pelan.
Pemuda lain dengan seragam berantakan menghampirinya. "Sorry, Le. Sengaja, hahaha," katanya sambil tertawa mengejek.
Leo, pemuda beralis tebal, si pemilik susunan puzzle -yang di hancurkan dengan bola basket sialan- menatap pemuda berseragam acak-acakan itu tajam. Mungkin, jika matanya adalah katana, leher pemuda di depannya sudah tidak utuh.
"Matanya slow bisa? Lagian lo ngapain nggak guna banget nyusun puzzle kayak gini. Mending temenin gue cabut," kata pemuda dengan seragam berantakan itu kepada Leo.
Leo mengangkat sebelah alis tebalnya, "Kemana?"
Rion, lelaki berseragam berantakan itu tampak berpikir, "Lo maunya kemana?" tanyanya yang tidak ditanggapi oleh Leo.
Merasa tak ditanggapi, Rion hanya cuek kemudian melirik jam dinding di tembok belakang kelas dengan jarum pendek dan panjang berturut-turut menunjukkan. Angka 10 dan 11. "Mood gue jelek, habis ini jamnya si kumis,"
Mendecih pelan, Leo berkata dengan nadaenyindir, "Cih, kayak cewek aja mempermasalahkan mood,"
Duk duk duk
Rion mendribble bola basketnya di lantai kelas. Menghasilkan suara yang agak keras, namun diabaikan oleh seluruh penghuni kelas. Bagi mereka, adegan kecil seperti ini sudah sangat biasa.
"Gue cuma males aja sama tuh orang. Apalagi gue capek banget kemarin abis tanding. Kalo nggak karena Bu Via yang bohay mah gue nggak akan masuk hari ini," katanya sambil duduk di atas meja, masih men-dribble bola basket.
Leo menatap sahabatnya itu dengan tatapan datar. "Kayak biasanya," katanya kemudian mengalungkan tas di pundak kirinya, diikuti dengan Rion yang bangkit, melemparkan bola basket ke belakang kelas yang lalu melakukan tindakan serupa dengan Leo.
Rion mengacungkan jempolnya. Pemuda dengan gaya bad yang khas itu memberi kode kepada Leo untuk mengikutinya, membelah lorong kelas yang agak ramai karena saat ini masih jam istirahat.
Mereka mengacuhkan tatapan heran yang dilemparkan oleh beberapa siswa maupun siswi karena tas di pundak mereka.
Saat ini mereka sampai di toilet pria. Tepat di pojok sekolah, dekat dengan gudang barang-barang tak terpakai. Di sampingnya, tepat tembok sekolah setinggi dua setengah meter, gerbang bagi para murid sejenis mereka untuk bersenang-senang.
Berbekal skill lompatan yang lumayan, mereka berhasil melewati tembok itu. Kemudian mereka berjalan dengan santai menuju toko elektronik tempat beberapa siswa 'tukang bolos' memarkirkan kendaraan.
"Pagi, Mas Danu," sapa Rion yang sudah sangat akrab dengan Mas Danu, pemilik toko elektronik yang ia kenal dengan baik karena kebiasaannya memarkirkan sepeda motornya.
"Bolos lagi?" tanya Mas Danu yang diangguki oleh Rion.
"Makasih penjagaannya, Mas," kata Leo diakhiri senyum tipis.
"Santai aja. Rencananya kalian mau kemana?" tanya Mas Danu sekedar basa basi. Pria pertengahan 20-an itu sudah menganggap kedua remaja di depannya seperti saudara sendiri.
"Palingan cuma main PS di rumah Leo, Mas. Lumayan, nanti lewat sekolah sebelah bisa sambil sepik-sepik hahaha," kata Rion diakhiri tawa yang dibalas Mas Danu dengan gelengan pelan seakan maklum dengan sikap pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
L U N A
Teen FictionKehidupan tenang Luna mendadak terusik gara-gara adegan chitato meledak. Sejak saat itu, ia lebih sering dipertemukan dengan Leo, manusia super ngeselin di alam semesta. Semakin sering bertemu Leo, Luna menyadari ada hal aneh. Apakah itu?