Suka ?

342 42 8
                                    

...

Suasana apartemen Jienara sedikit ada perubahan. Apalagi ada dua pria yang menemani Jie sejak kemarin. Sejujurnya Jie sudah baik baik saja. Tapi kedua pria itu kekeh ingin menjaga dirinya. Jadi Jie tak bisa mengusir mereka keluar. Harusnya Jie bersyukur karena kedua pria itu merawatnya dengan baik.

Jie tak perlu repot memasak, karena dua pria dewasa itu sudah bergerak saling membantu membuat sarapan. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Perbuatan baik apa yang membuat Jie mendapat anugrah seenak ini.

"Sudah bangun sayang." Janu sadar diperhatikan sejak tadi. Sebagai seorang kakak, rasa sayangnya ke Jie tak bisa diukur dengan apapun. Janu bahkan hanya fokus untuk membuat Jie bahagia.

Jie melangkah mendekat, memeluk Janu. Dirinya kangen dengan abang tergantengnya ini. Sudah beberapa hari mereka tak bertemu. Mungkin jika Jie tak memiliki Janu sudah dipastikan Jie menyerah dengan kehidupan ini.

Jeasen yang melihat adegan uwu antara kakak dan adek itu merasa cemburu. Harusnya Jie memeluknya bukan pria lain. Walupun Je sejujurnya bersyukur karena Jie memiliki keluarga yang sangat menyayangi dia.

"Aku ngga dipeluk ?" Je jelas jelas iri, bahkan dirinya lah yang pertama kali datang untuk Jie.

"Sama guling aja sana. " Jie hanya becanda, tapi terserah lah jika dianggap serius. Lagian mereka tak begitu dekat, hanya ketemu tiga kali dan sudah, ah jangan diingat lagi.

"Ayo sarapan, jangan debat dulu." Janu menengahi dua sejoli itu.

Sarapan dengan tenang, momen seperti ini memang langka. Karena biasanya Jie sarapan sendiri, bahkan tak sempat sarapan lebih seringnya. Jadi kesehatan Jie memburuk akhir akhir ini.

"Kita pulang ya habis ini, mommy sama daddy kangen." Janu sepertinya akan menambah aturan baru untuk Jie.

"Aku ada kuliah kak. Pulang kuliah aja aku ke rumah." Jie sudah bolos kuliah lebih dari lima hari.

"Kakak anter ya, pulang jam berapa ? Nanti kakak jemput juga." Janu mulai bersikap over protektif.

"Biar aku aja kak yang anter jemput Jie." Je menyela Janu, dia ingin menghabiskan waktu bersama wanitanya.

Jie melihat dua pria di depannya bergantian. Dirinya ingin bersama kakaknya dibanding dengan Je. Bukan karena tak nyaman, tapi masih ada rasa yang belum pas.

"Tolong kasih aku kesempatan mengenal mu Jie." Je melihat keraguan di mata Jie.

Jie memang ragu, tapi melihat Je tulus, bahkan sudah menolongnya. Apa memang jalannya harus begini ?

"Baiklah, ayo kita saling kenal." Jie tak berharap banyak, bahkan belum yakin, tapi biarlah.

Janu merasa jika kali ini Je akan membuat seorang Jienara kembali. Mungkin penyembuh bagi Jie adalah menemukan lelaki yang mencintainya dengan tulus. Walaupun hidup Jie tak sempurna, Jie memerlukan pria yang bisa melengkapinya.

.
.
.

Hati manusia hanya bisa berharap menemukan sosok yang tepat. Tapi memang siapa yang tahu, jika akan terluka dengan pilihan yang salah.

Jie tentu menyesal atas segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Bahkan dirinya terkadang berpikir lebih baik mengakhiri hidupnya. Tapi sekali lagi Jie harus berpikir rasional.

Orang tua masih sangat menyayanginya, bahkan masih ada kakak yang selalu mendukungnya. Jadi salah jika Jie harus kalah dari perang ini.

"Kamu baik baik saja ?" Je melihat Jie termenung, seolah ada beban berat.

JIE, JETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang