4# Shalat Lima Waktu

5.8K 842 175
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh
Happy baca semuanya 💞
🍃
🍃
🍃
🍃
🍃
🍃
🍃





Aksa duduk di bangku besi depan ruang perawatan sampai pukul 1.00 dinihari. Tidak peduli embusan angin terasa dingin melumat tulang. Sesekali wajahnya melengok ke arah ruang rawat Rania, memastikan kalau di sana baik-baik saja.

Selain memikirkan soal Rania, Aksa juga masih pikirkan bagaimana caranya bisa menghubungi ibu di rumah, nomer telpon rumah Aksa tak pernah hapal, apalagi nomer ponsel ibu. Meski sudah jadi kebiasaan bahwa Aksa kerapkali tidak pulang ke rumah selama berhari-hari, namun beda untuk kali ini. Aksa merasa bersalah pada ibu. Mungkin dalam hati ibu menyimpan cemas atau gelisah, tapi hanya memendamnya sendiri tanpa bisa membicarakan pada ayah.

Malam makin larut, Aksa masuk kembali ke ruang perawatan saat Kyai Bisri datang. Ternyata pengajian yang dihadiri baru selesai sejam lalu, langsung Pak Kyai bergegas kembali ke rumah sakit.

"Kenapa di luar, Aksa?" Pak Kyai menyapa disertai tepukan kecil di pundak Aksa, lalu mereka melangkah beriringan.

"Maaf Pak Kyai, tadi saya cari angin sebentar. Di dalam ada Zainab dan Gufron."

"Biasanya jam dua begini Rania pasti bangun, ingin tahajud dan minta dipapah ke kamar mandi untuk ambil wudhu kalau badannya tidak kuat jalan sendiri." Pak Kyai bercerita tentang Rania.

Aksa sendiri berpikir dalam hati, jam dua malam mengambil wudhu, apa Rania akan salat. Pertanyaan yang hanya tertahan di bibir Aksa.

"Abbah ..." Suara Rania masih terdengar lemah. Benar saja yang dibilang Pak Kyai. Saat kembali ke kamar inap, Rania sudah membuka mata. Aksa juga sekilas lihat Gufron nyenyak tidur di sofa, dan Zainab tidur sambil duduk.

"Mau tahajjud, Nak?" Tanya Pak Kyai pada putrinya, beliau sangat hapal kebiasaan Rania yang hampir tak pernah ditinggalkan. Rania anggukan kepala. "Abbah bantu ke kamar mandi."

Rania menggeleng, "Rania bisa sendiri, Bah," ujarnya mencoba bangun. Aksa yang tengah berdiri di sisi sofa rasanya gemas sendiri ingin membantu Rania berdiri. Dilihatnya pergelangan tangan Rania, infus sudah dicopot.

"Kenapa di sini banyak orang, Abbah?" Mata Rania memindai Aksa.

"Abbah yang minta sama Aksa buat di sini dulu, Abbah takut kamu butuh apa-apa waktu Abbah tinggal tadi."

"Bah, usai tahajjud, Rania mau langsung pulang saja ya, Bah. Rania sudah tidak apa-apa." Rania meminta pada abbahnya untuk pulang. Ditilik dari ekspresinya sepertinya dia sudah sangat bosan berada di tempat ini.

"Tunggu subuh sekalian Rania. Abbah juga ingin pastikan dulu apa dokter sudah mengijinkan kamu pulang."

"Baik Abbah, Rania ikut Abbah saja. Sementara Rania salat, bolehkah Abbah dan Kak Aksa keluar dulu. Takutnya Rania tidak bisa khusu' "

Abbah anggukan kepala, turuti permintaan Rania. Abbah mengajak Aksa kembali ke depan, duduk di bangku besi yang menghadap taman kecil. Mata Aksa perhatikan daun perdu di seberang sana meliuk-liuk diterpa angin malam. Hening menyelimuti. Abbah duduk sandarkan diri di bangku besi. Aksa ikut duduk di sebelahnya. Rasa penasaran kembali mencuat di benak Aksa akan sakitnya Rania. Dia ingin beranikan diri bertanya pada Kyai.

"Rania itu putriku satu-satunya. Saya benar-benar tidak tega melihatnya terus menerus menahan sakit begini." Pak Kyai bercerita tanpa ditanya. Aksa melihat kalau di mata Kyai membias kaca saat berkisah tentang Rania.

"Maaf Kyai, kalau boleh tau, Ning Rania sakit apa?"

"Sakitnya sudah lama, Aksa. Sakitnya Rania bukanlah sakit biasa. Sejak kecil badannya memang ringkih. Sering sakit-sakitan, walau begitu Rania itu anak yang cerdas dan selalu ceria. Dia tidak pernah mengeluh atau menampakkan rasa sakitnya pada kami atau orang lain. Impian saya selama ini hanya melihat Rania bahagia, kalau bisa bertemu jodoh, menikah, lalu memberi saya dan istri zuriat-zuriat yang lucu, yang nantinya akan menjadi penerus memimpin di pesantren." Pandangan Kyai menerawang, seperti memikirkan sesuatu.

KETIKA CINTA BERSANDING (TAMAT-TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang