Mata Haechan terbelalak saat mendengar Jeno bergumam pelan. "Orang itu adalah aku."
Ia tidak yakin telah mendengar satu kalimat itu dari Jeno "Kau yakin?" tanyanya ragu.
Jeno mengangguk. "Aku sangat yakin. Kecelakaan itu terjadi sekitar dua tahun lalu bukan?"
Haechan balas mengangguk. "Ya."
Jeno menarik nafas panjang. Ia mendongak menatap langit sore. Pandangannya menerawang. Sesaat kemudian ia menceritakan peristiwa kecelakaan itu.
Sementara Haechan, ia tidak tahu harus berkata apa selain "oh" dan "hm". Ia sama sekali tidak menyangka akan mengetahui hal ini. Bagaimana sikapnya nanti pada Jaemin setibanya ia di kos? Apa ia harus mengatakan kalau ia sudah tahu semuanya? Tentang kecelakaan Jeno dan Mark.
Haechan tidak tahu.
"Aku tidak pernah melihat Jaemin dua tahun yang lalu itu. Maksudku selain di kampus. Padahal aku sering pergi ke rumah orangtua Mark."
Haechan mengangguk. "Jaemin mengatakan padaku kalau ia selalu berusaha menghindari orang itu. Karena kalau tidak ia bisa saja melakukan hal yang membuat orang itu terluka secara fisik."
Jeno mengangguk mengerti. "Harusnya aku tahu ini dari awal," sesalnya. Ia mengusap wajah dengan tangan kanannya. "Mereka sepasang kekasih, bukan?"
Haechan hanya mengangguk pelan.
"Lalu apa yang akan kau lakukan setelah tahu?"
"Aku akan minta maaf."
"Minta maaf? Kurasa itu tidak cukup."
"Jadi menurutmu aku harus melakukan apa?"
Haechan angkat bahu. "Aku juga tidak tahu."
***
Jaemin menggigil. Ia terjaga dari tidurnya. Ia ingin bangun dari tempat tidur karena merasa haus tapi kepalanya terasa berat. Dilihatnya Haechan sudah tidur pulas di sampingnya. Jaemin tidak ingin membangunkannya karena itu ia memaksa dirinya untuk bangun.
Langkahnya terseret di lantai sementara tangannya berpegangan pada dinding agar ia tidak jatuh. Sudah satu hari ini demannya belum juga berkurang.
Dengan lambat ia mengisi air di gelas. Namun belum sempat ia meneguknya gelas itu sudah jatuh. Jaemin terkejut. Ia berusaha untuk duduk dan memungut serpihan pecahan gelas.
"Na?" Haechan bangun karena terkejut. Ia melihat Jaemin seperti tersiksa hanya untuk memungut serpihan pecahan gelas. "Kau kenapa?" tanyanya dengan suara serak. Ia memicingkan matanya karena silau dengan cahaya lampu kamar.
Jaemin tersenyum. "Tidak apa-apa. Kau tidur saja." Ia mencoba bersikap biasa di depan Haechan agar pemuda itu tidak khawatir dengan keadaannya. Ia meneruskan memungut pecahan gelas dengan tangan gemetar. Tiba-tiba jarinya tergores pecahan gelas. "Akh." Jaemin memekik lirih.
Melihat itu Haechan langsung melompat dari tempat tidur dan menghampirinya. "Tanganmu berdarah," katanya khawatir.
"Cuma tergores. Tidak perlu khawatir."
"Jangan anggap remeh." Haechan bergegas mengambil betadine dan kapas dalam laci mejanya lalu kembali ke tempat Jaemin duduk. Ia meraih tangan Jaemin. Saat itu ia menyadari suhu tubuh sahabatnya yang masih juga sama seperti tadi.
"Kau masih demam. Astaga," Haechan menatap Jaemin dengan sorot mata khawatir. Tangan Jaemin yang digenggamnya terasa panas di tangannya yang dingin. Ia memperhatikan wajah sahabatnya itu. Bibirnya kering dan wajahnya pusat pasi.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi Haechan segera membersihkan luka di tangan Jaemin. Setelah itu ia menuntun pemuda itu kembali ke tempat tidur. "Kau harus istirahat."
YOU ARE READING
Wretched [NoMin] -END-
FanfictionLee Jeno hanya tidak mengerti kenapa setiap kali ia beradu pandang dengan Na Jaemin pemuda itu selalu menatap sinis padanya? Seolah Jeno merupakan wabah penyakit yang harus dihindari. Tidak tahan dengan sikap Jaemin yang selalu sinis padanya, Jeno...