"Aku curiga kau berbohong padaku, makanya aku menelpon Jeno dan minta berbicara dengan Siyeon."
Jaemin buru-buru meneguk minumannya agar jangan sampai ia tersedak. Ia dan Haechan sedang makan saat tanpa ditanya sahabatnya itu malah membahas masalah yang sangat ingin dihindari Jaemin saat ini. Saat ini keduanya tengah berada di ruang makan di kamar kos Jaemin.
"Lalu?" Jaemin memutuskan untuk bertanya. Meskipun ia agak khawatir Haechan akan mengetahui kebohongan kecilnya tadi.
"Ternyata ia memang bersama Siyeon," jawab Haechan dengan senyum lebar. "Kau tidak bohong."
Jaemin tidak tahu kenapa makanannya yang semula ia katakan sangat lezat sekarang seperti tidak ada rasa. Tawar.
Haechan yang belum menyadari perubahan raut wajah Jaemin meneruskan kalimatnya, "Sebenarnya aku sangat heran kenapa mereka bisa bersama. Bukankah ini minggu terakhir kau bersama Jeno?"
"Ya," jawab Jaemin singkat. Suaranya bergetar. Ia tidak tahu kenapa hatinya seperti tertusuk jarum saat mengetahui Jeno membiarkannya sendiri dalam kebingungan dan menemui Siyeon. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia tiba-tiba merasa marah. Hal yang berikutnya ia sadari adalah ia menangis.
Haechan yang melihat Jaemin menangis jadi bingung. Ia berpikir apakah ia telah salah bertanya sehingga membuat sahabatnya menangis seperti itu. "Na? Kenapa? Kenapa tiba-tiba menangis?" tanyanya panik. Ia lalu memeluk Jaemin dan membiarkan pemuda itu menangis di bahunya.
Dan sebelum Haechan bertanya lagi, ia mendengar ponsel Jaemin berdering. "Na, telponmu."
Tapi Jaemin tidak bergerak. Karena itu Haechan melepaskan pelukannya dan meraih ponsel Jaemin. "Oh, Jeno menelponmu," ujarnya membuat Jaemin terpaku. Ia yakin Jeno sudah membaca pesannya pada secarik kertas itu dan menelponnya untuk mengucapkan terima kasih karena telah membuat kamarnya terlihat lebih baik.
"Kau tidak mau menjawabnya?" tanya Haechan sambil menyodorkan benda itu pada Jaemin yang menerimanya dengan ragu. "Buang ingusmu dulu. Jangan sampai Jeno tahu kau sedang menangis."
Ya, Haechan benar. Jangan sampai laki-laki itu tahu kalau ia sedang menangis. Karena itu Jaemin meraih sekotak tisu yang disodorkan Haechan dan membuang ingusnya. Setelah itu ia menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Aku ada di basement."
Bahkan sebelum Jaemin sempat berkata "Halo" Jeno sudah mengucapkan kalimat itu dan memutuskan hubungan via telpon.
"Echan, dia ada di bawah."
"Siapa?" tanya Haechan bodoh.
"Jeno," jawab Jaemin yang mendadak panik. Ia tidak ingin menemui Jeno dengan mata seperti ini. "Haechan, tolong aku. Aku tidak ingin menemui Jeno dalam keadaan seperti ini."
"Tapi..."
"Please."
Saat Jaemin sudah memohon seperti itu, Haechan tahu ia tidak akan bisa menolak. Karena itu ia segera keluar kamar dan menemui Jeno di lantai bawah.
***
Haechan heran melihat kondisi Jeno yang ternyata lebih kacau dari Jaemin. Ia jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi karena Jeno terlihat seperti orang yang kebingungan.
"Jaemin tidak mau menemuiku?" tanya Jeno kaku.
Haechan mengangguk. "Dia tidak ingin kau melihatnya habis menangis."
"Jaemin menangis?" Kening Jeno berkerut. "Kenapa?"
Haechan angkat bahu. "Mungkin seseorang sudah melukai perasaannya," jawabnya dengan mata disipitkan. Ia sengaja mengucapkan kalimat itu untuk melihat reaksi Jeno. Dan benar saja, Jeno langsung gelagapan. Terlihat jelas dari raut wajahnya serta keringat yang mengucur deras.
YOU ARE READING
Wretched [NoMin] -END-
FanfictionLee Jeno hanya tidak mengerti kenapa setiap kali ia beradu pandang dengan Na Jaemin pemuda itu selalu menatap sinis padanya? Seolah Jeno merupakan wabah penyakit yang harus dihindari. Tidak tahan dengan sikap Jaemin yang selalu sinis padanya, Jeno...