(1) Namanya Genevieve Myeesha Afreen

14 1 0
                                    

"Lo jangan ngejudge orang cuma dari gosip yang bahkan nggak pernah terjadi."

***

Brak!

Orlan memukul meja dengan marah. Tangannya terkepal sampai-sampai buku-buku jarinya memutih.

"Sial, semester ini nilai gue harus naik kalo nggak nanti mobil gue disita sama bokap," gerutu Orlan mengacak-acak rambutnya kesal.

"Salah lo bego," celetuk Austin, melempar kacang ke wajah Orlan. Austin tertawa terbahak-bahak melihat wajah Orlan yang memerah.

"Sialan lo," umpat Orlan menghampiri Austin dengan membawa cutter di tangan kanannya.

Orlan menyeringai melihat ekspresi Austin yang terlihat ketakutan. Orlan menodongkan cutter itu di depan wajah Austin.

Austin meneguk ludahnya. Ia memperbaiki ekspresinya supaya terlihat santai.

Orlan makin mendekatkan cutter itu ke wajah Austin, amarahnya semakin naik karena wajah Austin yang terlihat santai.

"Kalem bro, ampun," Austin meneguk ludahnya dan memegang cutter itu agar tak mengenai wajah yang menurutnya tampan, kan sayang kalau wajahnya menjadi jelek gara-gara si Orlan ini. *eww

Orlan menjauhkan cutternya dan melemparnya ke sembarang arah. Ia melotot tajam dan melenggang dari ruang kelas XII.

Austin menghela napas lega. Hampir saja ia mati di tangan sahabatnya itu.

***

Aku berjalan tergesa-gesa, sudah terlambat satu menit. Aku melihat gerbang sudah tertutup.

Akhirnya, aku memutuskan berjalan dengan santainya sambil menikmati udara sejuk di pagi hari. Pukul 06.30 pagi.

Aku hanya bisa menahan napas saat melewati warung yang banyak terlihat anak-anak berandalan, inilah mengapa aku malas telat, tapi jika sudah terlanjur, jalani saja dengan tenang, tapi kenyataannya aku sangat takut.

Jantungku berpacu cepat, takut akan terjadi sesuatu yang buruk. Keringat dingin mulai mengucur di dahiku. Aku mencengkeram tali tas kuat-kuat.

Gerombolan remaja-remaja yang ada di warung Bi Ambar langsung menoleh ke arahku.

Aku menoleh ke warung tersebut dan tanpa sengaja pandanganku bertemu dengan Orlan.

Orlan menatap tajam, aku hanya bergidik ngeri. Aku malah teringat dengan cerita sahabatku, Sena. Rumornya, Orlan itu kasar sama cewek. Tapi, aku nggak tahu sih itu cuma gosip atau beneran. Aku jadi ketakutan ditatap begitu.

Aku berjalan tergesa-gesa menuju gerbang menghindari beberapa pasang mata yang menatapku sedari tadi.

Saat sampai di gerbang, satpam itu hanya menatapku penuh keheranan.

"Tumben telat neng," cibir satpam itu sambil melirik Bu Landa yang sedang menghukum murid-murid yang telat.

Aku tersenyum kikuk dan mulai masuk menghampiri Bu Landa yang menatapku tajam.

"Kamu anak teladan, tumben telat ESHA?!" bentak Bu Landa, emosi karena banyak murid yang telat.

Aku menunduk, terbungkam. Biasanya orang yang sedang marah, pertanyaan menjadi retoris seketika.

"HORMAT SAMA BENDERA MERAH PUTIH DI LAPANGAN SANA!" teriak Bu Landa mengawasi dari sudut lapangan.

Aku meletakkan tasku di tempat duduk depan kelas 10.

Aku hormat kepada bendera merah putih, menatapnya dengan pandangan kesal, sedikit tidak sopan sih. Aku bodo amat aja karena saking panasnya terik matahari.

Beberapa menit kemudian, aku mendengar teriakan Bu Landa membentak lagi. Aku pun menoleh.

"MAU JADI APA KAMU LAN, BOLOS TERUS KERJAANNYA, MASA DEPAN KAMU GIMANA NANTI?!!" teriak Bu Landa menjewer telinga Orlan, membawanya ke tengah lapangan, tempat aku berdiri sekarang.

Orlan masih betah dengan ekspresi datarnya, tak ada ekspresi kesakitan disana.

Malah, aku yang meringis melihat telinga Orlan yang memerah itu.

Bu Landa meninggalkan Orlan bersama denganku dan murid lain yang sedang berlari mengitari lapangan.

Hukuman untuk telat memang ada dua. Jadi, kita boleh memilih. Eh, tapi tadi aku sama Orlan dipaksa sih.

Orlan hormat kepada bendera dengan tatapan datarnya tepat di sebelahku.

Satu jam kemudian, sisa setengah jam lagi bel istirahat akan berbunyi. Mukaku mulai merah terbakar sinar matahari.

Orlan yang berasa di sebelahku tiba-tiba nyelonong gitu aja setelah Bu Landa tidak mengawasi lagi. Aku mendengus sebal ditinggalkan begitu saja.

Aku tetap melanjutkan masa hukumanku.

Tak berselang lama, Orlan datang membawa dua air mineral dingin. Aku tergoda dengan air mineral itu, mengingat sedari pagi aku belum minum, apalagi sarapan.

Orlan kurang ajar. Ia duduk di sebelahku dan minum air mineral tersebut sambil membasahi mukanya dengan air.

Aku menelan salivaku. Ingin sekali minum, tapi gengsi minta, agak ngeri sebenarnya.

"Apa lo liat-liat?" tanya Orlan membuka botol keduanya.

"B-Boleh minta?"

"Minta apa?" Orlan sialan.

"Minum lah," Aku mulai ngegas.

"Oh mau?"

Orlan meneguk minumannya setengah dan menyodorkannya padaku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung meneguknya sampai habis. Lega sekali rasanya.

Eh, aku baru sadar sesuatu. Itu kan bekasnya Orlan ya? Aku menatap botol yang sudah kosong itu dengan tatapan nanar. Ah sudahlah yang terpenting sudah minum, pikirku.

"Sudah?" tanyanya.

"Makasih ya."

Orlan hanya mengangguk.

Aku jadi ikut-ikutan duduk di sebelahnya.  Aku berdeham, "Lan, bener ya kamu itu kasar sama cewek?"

Sebentar, lapangan terasa sunyi.

"Untuk apa lo nanya kayak gitu?"

"Nggak papa sih."

"Gue nggak tau," Orlan menatap lurus-lurus.

Aku terdiam.

"Lo jangan ngejudge orang dari gosip yang bahkan nggak pernah terjadi."

Aku mengangguk setuju.

"Lo Genevieve Myeesha Afreen kan?" tanyanya membaca name tagku.

"Hm."

Bel istirahat berbunyi. Aku pamit pada Orlan dengan tersenyum, bukan untuk maksud yang lain, hanya menghargai saja.

Sejenak, Orlan terkejut. Ia mengubah ekspresinya balik tersenyum. Senyum yang sangat tipis, setipis benang.

Genevieve Myeesha Afreen. Myeesha. Esha. Nevi. Vieve.

***

Hai balik lagi gaes ama aku, kok sedih ya yang baca cuman satu. Btw aku ganti akun biar jadi lebih baik aja ceritanya. Maaf kalo masih ada kesalahan kata-kata ataupun masih kurang bagus:( maaf ya aku masih 14 tahun WKWK. Vote and comment. Komen nanti aku bales kokkk. Yasudah itu saja, gatau mau ngomong apaa deh. Bay.😊😔

Salam cinta,
Zola💕

Myeesha or Nevi?Where stories live. Discover now