Menimbang-nimbang mengenai reaksi yang di sebabkan oleh virus tangisan mematikan, aku mulai mengembangkan teoriku.
Sebelum pikiranku berkembang, jajaran tembok besar merah selalu menarik perhatianku.
Jujur, aku khawatir juga terhadap adikku. Terutama kondisi Tri pagi ini yang memang berbeda dengan yang lainnya.
Jika kebanyakan korban yang terkena virus akan segera mati di beberapa detik ke depan, maka lain hal nya dengan adikku yang hanya tak sadarkan diri selama 10 detik tanpa denyut jantung.
Mencemaskan bukan?!
Tentu saja.
Itu seperti serangan jantung lalu di beri bantuan berupa CPR atau nafas buatan, lalu korban kembali sadar.
Tubuh Tri unik, dia akan kembali sadar dengan sendirinya lalu bernafas panjang-panjang seperti orang mengalami mimpi buruk kemudian terbangun.
Aku mengambil suatu hipotesa bahwa virus tangisan mematikan tidak di pengaruhi hormon serotonin yang di produksi dalam saluran pencernaan.
Hormon serotonin yang mengontrol mood seseorang, dan suasana hati.
Sederhana saja bukan?
Tapi tetap saja membuat khwatir dan perlu penanganan lebih lanjut.
"Aku tidak bisa memperlihatkan kekhawatiran yang aku rasakan kepada adik adiku. Tapi sampai kapan harus terus begini. Keadaanya bukanya tambah membaik malah semakin buruk." Kataku dalam hati.
Aku meletakkan kedua tangan di belakang kepala. Ku toleh ke sebelah kananku, melihat Dwi yang dengan wajah imutnya berseri-seri menatap pemandangan di luar. Melihat itu aku jadi tidak tega hendak memanggilnya. Jadi kubiarkan saja, dan wajah imut Dwi bisa jadi hiburan tersendiri bagiku ketika bosan dalam perjalanan ini.
Tepat di bangku belakang Dwi, Tri sedang duduk manis sambil memasang muka tertahan. Kedua tangannya bertumpu pada paha dan jika kalian menyenggolnya sedikit saja maka dia akan memuntahkan sarapan paginya.
Saat itu juga.
Ingin kuhampiri dia sambil memastikan kondisinya baik-baik saja. Tetapi segera kuurungkan melihat dia langsung menatapku tajam.
Setajam silet.
Matanya hampir mengeluarkan air mata, sedikit membuat cemas. Tapi bersyukur, karena bus sudah mulai memelankan lajunya. Tanda kita sudah sampai dekat stasiun kereta.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di sekolah, aku dan Dwi satu sekolah sedangkan tri dia masih duduk di bangku SMP kelas 9. Tri memang tidak satu sekolah dengan ku, tapi letak sekolahanya tidak begitu jauh dari sekolahanku.
"Kak Eka! Tunggu!," Tri tergopoh gopoh menyusulku di belakang, sambil berposisi membungkuk 90 derajat. Hampir muntah.
Lalu dia menegakkan badan, menatapku.
Aku tersenyum.
"Ingat pesan kakak, apapun yang kalian rasakan, sesedih apapun itu, jangan pernah kalian menangis. Jadilah anak anak yang kuat dan tegar." Kataku dengan raut wajah serius."Baik Kak!," ucap Tri sambil menikmati elusanku di ubun-ubunnya. Setelah itu, dia langsung berlari menuju arah lain.
"Ah, iya-iya.. Ayo berangkat!, " Dwi berdecih lalu berjalan mendahuluiku menuju stasiun.
"kau tak khawatir dengan adikmu?, " tanyaku ke Dwi setelah menempelkan kartu transportasi dan menunggu kereta selanjutnya datang.
"tentu saja, tapi yang paling penting disini adalah mengenai penelitian kita, " sahut Dwi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadly Tear (HIATUS)
Ficción GeneralMenangislah! Sebelum menangis itu membunuhmu! Bagaimana jika ada seorang anak kecil menangis karena tak di belikan es krim lalu tewas di tempat? Juga dengan banyaknya orang orang yang mengunjungi pemakaman lalu semuanya menjadi mayat saat itu juga...