Sejuknya Rintik, 1.

44 5 0
                                    

Kala itu bulan Oktober, orang-orang beraktifitas dengan normal, seperti di depan halte -sedang menunggu bis- mungkin hendak pergi ke kantor atau bersekolah atau hanya untuk bertemu dengan sekawannya. Joseph melirik arlojinya, tepat pukul tujuh pagi. Selanjutnya ia menengadah melihat Sang Mega yang sepertinya sedang dalam kondisi tidak baik. Terkutuklah aku, pikirnya. Mungkin dalam beberapa waktu lagi Sang Mega akan menangis dan sialnya Joseph tak membawa payung.

"Ah, sial. Kalau bukan karena Eve gue gak bakalan mau bangkit dari kasur gue yang nyaman itu. Astaga, Felix pasti lagi push-rank biar bisa ngalahin gue!"

Gerutuan tak enak untuk didengar pun keluar dari bibir pemilik pemuda berparas rupawan itu. Lalu ketika kendaraan persegi panjang berukuran medium yang orang-orang menyebutnya sebagai bus datang, ia bergegas mencari tempat duduk yang senyaman mungkin, baris dua dua dari depan dekat jendela favoritnya. Bus itu pun berjalan dengan normal. Semua barisan kursinya penuh, hal yang wajar karena ini hari-hari sibuk.

Joseph hanya butuh dua pemberhentian untuk sampai ke tempat tujuannya yaitu kedai ramyun dekat kampus adiknya. Namun saat pemberhentian pertama, seorang gadis seusianya -mungkin- terlihat memasuki bus. Tangan yang satu memegang payung berwarna merah muda, sebelah tangannya lagi memegang pegangan bus yang digantung. Joseph melihat ke sekeliling, kursinya betul-betul sudah penuh dan pemberhentian dua nanti terhitung masih lama. Kemudian ia berdiri, berbicara pada si gadis untuk bertukar tempat dengannya. Gadis itu tak berucap apa-apa, hanya tersenyum dan membungkuk kemudian duduk di kursi yang Joseph tempati sebelumnya.

Joseph terus memerhatikan si gadis secara berkala, apakah ia gadis yang pendiam?, begitu pikirnya. Karena terusik dengan pandangan Joseph, si gadis menelengkan kepalanya, namun Joseph tak mengerti dan memilih untuk memalingkan muka setelah ia tersenyum kikuk. Meskipun hatinya penasaran tetapi ia tak lagi memandangi si gadis, berusaha untuk tidak membuat si gadis risih dengan tatapannya.

Begitu bus berhenti, beberapa orang turun dari bus. Tentu saja Joseph ikut turun. Berpuluh-puluh notifikasi dari ponselnya berbunyi. Lantas ia melihat siapakah gerangan yang mengusik kedamaian telinganya itu. Adik manisnya, tentu saja. Ia mengirimkan banyak pesan seperti:

Udah nyampe belom?
Kedai ramyun, tolong. Bukan warnet.
Bagusnya lo beneran bawa ramyun yang gue mau ya atau lo gak pernah gue anggap keluarga gue lagi. p.s. ramyunnya gausah pedes gue lagi haid. p.s.s. tambah dimsumnya juga dong kakak ganteng!

Kerut tercetak jelas di dahi pemuda itu.

"Kampret! untung adek gue ya, lo."

Seakan mengerti bahwa kepala pemuda itu butuh didinginkan, bulir-bulir air mulai berjatuhan dari langit. Namun bukannya kepala Joseph semakin dingin, tetapi semakin panas. Lihat saja, kini pemuda itu tengah mengumpat dan mukanya merah semerah tomat. Ia baru akan berlari sepanjang jalan sebelum payung merah muda menaungi kepalanya. Dilirik olehnya di samping, si gadis bus tadi. Yang ditangkap oleh otak Joseph adalah, oh dia mau minjemin payung ke gue?, lantas ia berkata,

"Gue boleh nebeng payung lo kan nyampe depan sana? Nyampe kedai yang deket kampus itu lho. Boleh kan?"

Si gadis mengangguk. Joseph pun mengambil alih payungnya karena tentu saja jika payung itu dibawa oleh si gadis, dirinya harus membungkuk karena tinggi badan si gadis yang -ehem- hanya sedikit lebih atas dari siku Joseph. Lalu semerta-merta mereka berdua dalam naungan payung yang sama menyebrang zebracross dan pergi ke kedai dekat sana, kedai dekat kampus.

"Thanks ya, kalau bukan karena lo gue bakal basah kuyup."

Lagi-lagi si gadis hanya mengangguk. Joseph mengulurkan tangannya sembari tersenyum,

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah SesajakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang