Ekspansi Hati

35 5 0
                                    

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Tiergarten masih sama saja rupanya. Masih dengan air sungainya yang jernih, pohon-pohon rindang yang sejuk, bunga-bunga cantik; masih terdapatnya bangku-bangku yang tidak lapuk namun terlihat tua; dan aku, meskipun sudah tiga tahun lamanya, masih menyimpan baik-baik namamu di dalam hati.

Berlin, three years ago.

"I'm not a kid, stop worrying me!"

"Hey, you're my lil sister, it's normal that I worrying you!"

"Godamn, Joseph! Normal sih kalau lo worrying me in a good way, lah ini gue mau keluar buat beli makan aja gak boleh sendiri?? I'm not a baby! gue bisa jaga diri kali??! I'm fuckin' twenty years old!"

"Gak, gak. Pokoknya gue ikut."

"Gak peduli. Lo ikut, I slap your face 3000 times."

"Hey, hey, Eve!"

Sautan kakakku tak kupedulikan. Sangat menyebalkan memiliki kakak yang protektif! oh ayolah, umurku sudah dua puluh dan aku lancar berbahasa Jerman, dia masih khawatir?? Godamn. Ah sudahlah, pusing. Kini aku berjalan-jalan sembari melihat sekeliling. Apakah ada restoran enak disini?

kringg

"Willkommen. Was mochten Sie bestellen? (Selamat datang. Anda mau pesan apa?)"

"Patzel und Bienenstich, bitte. (Pasta dan Bienenstich, tolong.)"

Oke, aku akui, Jerman memang indah. Namun kelemahannya adalah mereka akan menganggapmu orang asing ketika kamu tidak bisa berbahasa jerman, pun begitu jika kamu berbahasa inggris di negeri ini. Beruntunglah aku memiliki bakat istimewa bisa berbahasa jerman ini. Hahaha.
Pastanya enak, semuanya enak. Aku menikmati semua yang tersaji di hadapanku ini, sampai tiba-tiba seorang pemuda -yang sepertinya berkebangsaan asia dan sebayaku- menyapa,

"Permisi, orang Indonesia?"

Sejenak aku teringat perkataan kakakku:

"Hati-hati sama orang yang gak lu kenal, kecuali lo yakin tampang dia meyakinkan buat ukuran orang baik-baik.",

mari kita lihat;
pakaiannya? oke, dia memakai jeans dan sweater berwarna cerah,
rambutnya? hmm.. kupikir itu warna rambut aslinya?,
kupingnya? bersih tindikan,
wajahnya? tampan. eh?,
kurasa ia orang baik-baik, bukan begitu?

"Ah, entschuldigung (maaf)!" hendaknya dia pergi sebelum aku menahan lengannya.

"Gue orang Indo, gak usah minta maaf."

"Baguslah, tadinya saya kira saya salah."

Pemuda ini banyak senyum. Terlalu banyak, tapi sedetik kemudian kupikir hal yang ia lakukan itu manis.

"Tinggal di sini?"

"Tidak, saya sedang pertukaran pelajar."

"Ke Jerman? Wow, kayanya lo orang pinter, ya."

"Haha, saya hanya beruntung."

"Jurusan apa?"

"Sastra asing."

Hey, entah kenapa kupikir itu cocok untuknya.

"Jadi, lo ngambil Jerman? Kenapa?"

"Iseng saja, tadinya. Kemudian saya berpikir ternyata Jerman seindah ini. Apalagi sekarang, saya bertemu Coelogyne pandurata. Makin indahlah Jerman ini."

"Maksudnya?"

"Bertemu kamu."

Aku tersenyum. Dasar pujangga. Pemuda ini pandai merangkai kata cantik rupanya. Hidanganku sudah habis, namun waktu yang kami habiskan untuk berbincang lebih lama dari waktu yang kubutuhkan untuk menghabiskan hidanganku. Aku senang bertemu dengan pemuda ini. Ia baik -yang terlihat sejauh ini-, ramah, murah senyum, dan tampan. Tak masalah bukan jika aku berbagi akun media sosial dengannya?

Kisah SesajakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang