Sajak Sang Putra Surya

92 11 5
                                    

Setelah pasang datanglah surut.

Setelah siang datanglah malam.

Surya tak pernah menduga saat ia beranjak usia sembilan belas, ia akan merasakan patah rasa.

Adipata Putra Sesurya, lelaki itu harus merelakan kepergian jatuh cinta pertamanya hanya karena sang gadis yang tiba-tiba saja meminta jarak, ingin berpisah.

"Kemana?"

Sang gadis sedari tadi hanya menunduk tak kuasa melihat raut Sang Putra Surya. Takut akan keputusannya. Tapi mau bagaimana? Ia tak mau merelakan kesempatan emas ini hanya demi sebuah perasaan bernama cinta.

"Amsterdam."

"Berapa lama?"

"Selamanya."

Surya mengalihkan pandangannya dari Sang gadis ke ujung persimpangan jalan raya. Sungguh, ibu kota? Sekejam inikah? Bagaimana bisa ia hidup tanpa belahan rasa cintanya?

"Kapan kamu berangkat?"

"Hari ini, jam dua belas."

Tiga tahun bersama, berjuang membangun rasa, kini Surya hanya mendapatkan satu jam sebelum berpisah dengan kekasih.

"Tunggu di sini. Aku pergi sebentar, gak bakalan lama."

Persetan dengan dompetnya yang ia tinggal bersama Luna, bersepeda di tengah hiruk pikuknya ibu kota menuju apartemennya hendak mengambil sebuah barang yang telah dari setahun lalu ia simpan di lacinya. Tak ingin membuang buang waktu percuma ia mengayuh dengan kekuatan penuh.

Hatinya bahkan sudah mati rasa. Gundah antara sedih, kecewa, marah. Walau begitu, benda yang ia simpan di sakunya itu harus sampai dengan cepat. Hanya satu jam waktu yang tersisa untuk bersama dengan sang kekasih untuk terakhir kalinya.

Begitu sampai, ia lupa akan keringatnya. Bahkan sepedanya pun dilepaskan begitu saja padahal sepeda mahal itu hasil menabung semasa SMP dulu. Ya maklum lah, berjuang demi cinta.

"Dari setahun lalu, buat kamu. Maaf aku baru bisa kasih sekarang. Aku tau sekarang kamu mau pergi, gak masalah kalau kamu mau buang ini nanti tapi please terima dulu."

Seraya menatap, Luna menyambut kotak biru berukuran kecil itu dengan lengan rampingnya. Disimpannya benda itu rapi-rapi dalam ransel merah mudanya.

"Aku buka nanti. Makasih ya, Surya."

Sepasang muda-mudi itu lantas berpelukan. Sang Surya menangis dalam diam. Tak rela kehilangan cinta pertamanya. Bulannya yang selama tiga tahun ini menjadi sandarannya, keluh kesahnya, rumah berpulangnya, dalam tiga puluh menit kemudian menjadi kenangan.
Kisah mereka bukan hanya sekedar percintaan dua orang manusia. Mereka tepat sebagaimana pecandu dan narkobanya. Luna yang datang mengenalkan diri sebagai Heroinnya, dan Surya yang polos menjadi pecandu akan kasihnya. Ketika setelah tiga tahun saling berhubungan, Luna yang menyimpan rahasia bahwa ia akan dibiayai kuliah di Amsterdam oleh saudaranya yang di sana, memilih untuk pergi meniggalkan Surya dengan kehampaan di hidupnya. Sungguh, memang kalau bukan Luna siapa lagi yang akan dengan senang hati berbagi kehidupan dengan Surya? Bahkan orang tuanya pun acuh, seakan tak pernah memiliki putra bernama Adipata Putra Sesurya dalam hidupnya.

Kejam bukan, ibu kota? Lantas bagaimana ia bisa hidup selama sembilan belas tahun? Beruntunglah ia rajin dan mandiri. Beruntunglah pula ia mengenal Luna Dinarantasya sejak ia di bangku sekolah menengah. Luna lebih mengetahui bagaimana sosok Sesurya daripada orang tuanya sendiri yang hanya mengirim uang saku setiap bulan. Hanya Luna alasan ia bisa hidup dengan tegar.

"Surya, aku mau pergi. Titip ya, tolong hidup dengan bahagia. Jangan balik makan makanan instan lagi, jangan mandi malem-malem lagi, jangan keluyuran tengah malem lagi. Aku mungkin jauh di negeri orang sana, aku mungkin gak bakal bisa liat kalau kamu balik nakal lagi, makanya please ini permintaan terakhir dari aku-"

Sang gadis Luna itu menarik napas menahan tangis sebelum melanjutkan perkataannya,

"Ini klise, tapi percaya sama aku. Akhir dari semuanya cuma dua kemungkinan, kamu yang berakhir sama orang lain, atau waktu yang berbaik hati ngizinin aku pulang ke kamu. Selama itu berjalan, tolong hidup bahagia, Adipata."

Surya bukan lelaki cengeng, bahkan saat sahabatnya dulu meninggal dunia ia tak menangis. Hatinya tentu sedih saat itu, tapi ditinggal kekasih hatinya saat inilah yang lebih sedih. Maka, Sang Putra Surya menangis. Tangannya mengepal. Matanya tak seinci pun ia pindahkan dari sosok yang kini melangkahkan kakinya memasuki bandara. Ia berjanji ia tak akan melupakan tempat ini.

"Soekarno-Hatta, tolong, jika waktu berbaik hati, izinkan aku bertemu gadis itu lagi di sini walau entah kapan."

Dibalik ransel muda sang gadis, di dalam kotak kecil biru pemberiannya, terdapat cincin yang telah berumur satu tahun yang hendak dijadikan 'suap' untuk mengajak sang gadis bertunangan. Entah nasib si cincin ini bagaimana nantinya, apakah akan tersemat di jari manis sang gadis saat ia -mungkin- berpulang nanti? Ataukah hanya akan menjadi pemanis meja rias yang nantinya akan terlupakan oleh waktu? Kita serahkan kepada keputusan Sang Waktu.

Biarlah kisah Surya dengan Bulannya ini menjadi salah satu kisah dari berjuta kisah romansa yang pernah hadir di tengah ibu kota. Kenangan yang pernah manis pada masanya. Kini Surya harus berusaha -kembali- mentegarkan hidupnya. Ya, semoga nanti ada Luna yang lain yang bisa membantunya, mungkin?

Yang datang selalu akan pergi. Masalahnya, kamu enggan bergerak akan tetap berdiam diri dan menjadi tidak berguna? atau, berusaha tegar dan mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik? Nah, itu tergantung kamu.

Akhir kisah, Adipata Putra Sesurya dan Luna Dinarantasya;

Akhir kisah, Adipata Putra Sesurya dan Luna Dinarantasya;

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lee Chaeyeon as Luna;
Han Jisung as Surya.


who is next?

Kisah SesajakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang