7: Tawuran

146K 8.2K 214
                                    

Jakarta, pukul 7:30

Dengan udara dingin bercampur polusi, Ale segera mengendarai motor miliknya menuju sekolah yang sudah 2 tahun ia singgahi.

Hari ini, seperti kegiatan rutinnya ia datang diwaktu yang terlewat dari peraturan yang dibuat kakeknya.

Bukan hal baru bagi seluruh guru ataupun penjaga sekolah. Karena, Ale memang lah Ale si anak Aksa Rais Badran yang sama bebalnya.

"Assalamualaikum pak Mamat, udah ngopi aja ni," ucap Ale ketika hendak bernegosiasi kepada penjaga sekolah.

"Kamu lagi kamu lagi, bisa ga si kamu ga telat lagi? Bikin saya jadi kena masalah aja sama bapak kepala," ucap Pak Mamat yang membuat Ale tertawa.

Kemudian, Ale mengeluarkan sebungkus rokok yang masih ter-segel dengan beberapa selembar uang tunai berwarna merah muda.

"Engga ah bapak gak mau nerima," ucap Pak Mamat menolak.

Ale tertawa kecil, kemudian memasukannya kembali kedalam saku.

"Yaudah, pak Mamat maunya apa?" Tanya Ale.

"Selamat Pagi," ucap seseorang yang mampu mengejutkan Ale dan Pak Mamat.

Ale membulatkan matanya sempurna. Ayahnya tengah berdiri didepan nya walau terhalang sebuah pagar besi tinggi. Sedangkan Pak Mamat segera memberi salam lalu pamit untuk pergi karena tahu bahwa ini adalah urusan anak dan bapak.

"Eh ayah, tadi kata bunda ayah buru-buru ada urusan kok malah kesini yah," ucap Ale dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Suka-suka ayah," balas Aksa cuek.

"Yah Ale mau belajar, bukain dong," rengek Ale.

"Peraturan tetap peraturan." tegas Aksa.

Ale berdecak kesal. Jika dalam situasi rumit entah mengapa ayahnya sulit bernegosiasi.

"Gausah berharap bisa negosiasi sama ayah."

Ale memandang ayahnya dengan kesal.

"Ale ada ujian sejarah."

Aksa menaikan sebelah alisnya. Kemudian menggelengkan kepala.

"Yaelah yah, yaudah Ale mau tawuran aja," ucap Ale kemudian pergi

Namun, sebelum itu Aksa dengan cepat keluar lalu menahan pergelangan tangan putranya tersebut.

"Sampai kapan?"

Ucapan Aksa membuat Ale bingung. Benar kata bundanya, terkadang ayah nya ini selalu mengatakan hal secara to the point yang justru mampu membuat bingung.

"Apanya?"

"Tawuran. Kamu udah kelas 12, udah harus mikirin masa depan. Bukan main-main." tegas Aksa.

"Apa bedanya sama ayah dulu? Maaf yah tapi, Ale gasuka diatur," ucap Ale kemudian pergi meninggalkan ayahnya.

Aksa menghela nafas kasar, Ale memang mirip dirinya. Tidak suka diatur, tidak suka dilarang dan selalu ingin kebebasan.

"Kamu lebih beruntung dibanding ayah. Punya sosok ibu yang sayang dan perhatian sama kamu. Itu bedanya , nak. Ayah cuma mau kamu jadi anak biasa yang ga bertingkah layaknya berandalan kayak ayah. Kalau kebebasan yang ayah dan bunda kasih malah buat kamu seperti ini, maafin ayah."

Aksa berucap sambil melihat sosok Ale yang berjalan menuju Warmang lalu bercengkrama dengan beberapa temannya.

--
Ale membunyikan motornya hingga membuat suara nyaring. Dengan sesekali berteriak lantang.

RANA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang