BAGIAN 5

970 40 4
                                    

Ki Lintuk, Mayang, serta dua puluh prajurit Kerajaan Karang Setra itu menghentikan kudanya tepat di hadapan Anjani yang berdiri di depan pintu pondoknya. Dua pembesar Kerajaan Karang Setra itu melompat turun dari kudanya, lalu melangkah mendekati Anjani. Sementara dua orang prajurit juga turun dari punggung kudanya. Mereka memegangi tali kekang kuda tokoh dari Karang Setra itu.
"Ada apakah gerangan Tuan dan Nini datang ke tempat hamba yang hina ini'" tanya Anjani seraya memberi hormat.
"Kami sedang mengadakan pemeriksaan, dan kebetulan melihat pondok di sini," sahut Ki Lintuk ramah.
"Ini pondok hamba, Tuan. Jika Tuan dan Nini berkenan, silakan singgah."
Ki Lintuk memandang pada Mayang, sedangkan yang dipandang malah menatap pada jari tangan Anjani. Tatapan mata Ki Untuk juga terarah ke sana. Dia agak terkejut juga melihat cincin yang melingkar di jari manis gadis itu. Laki-laki tua itu juga mengenali kotak penyimpanan uang yang berada di tangan Anjani.
"Nisanak! Boleh aku tahu, dari mana kau dapatkan cincin dan kotak itu?" tanya Ki Lintuk langsung.
"Oh...!" Anjani terperanjat. Buru-buru disembunyikan cincin dan kotak di tangannya. Dia tidak sadar kalau membawa cincin dan kotak pemberian Rangga.
"Kami mengenali benda-benda itu, dan sebaiknya kau berterus terang saja," kata Mayang tegas.
"Hamba..., hamba mendapatkannya dari seorang pengembara," sahut Anjani agak tergagap.
“Ketahuilah, Nisanak. Benda-benda itu milik raja kami, Gusti Prabu Rangga. Dan mana kau dapatkan semua itu?" lembut suara Ki Lintuk.
"Dia memang bernama Rangga, tapi hanya seorang pengembara. Dia menginap di sini selama tujuh hari, dan memberikan benda-benda ini padaku," sahut Anjani tidak berterus terang.
"Kau kenal orangnya?" tanya Mayang curiga.
“Ya! Dia mengenakan baju rompi putih dan membawa pedang berkepala burung. Sedangkan di lehernya ada kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di dalamnya. Dia juga mengaku bernama Rangga." sahut Anjani berkata apa adanya. Tapi tetap tidak berterus terang kalau dia sudah tahu bahwa Rangga itu Raja Karang Setra.
"Dia benar, Mayang. Gusti Prabu selalu memakai pakaian rompi putih jika mengembara. Pedang yang disandangnya adalah Pedang Rajawali Sakti." kata Ki Lintuk membenarkan kata-kata Anjani.
“Tapi.... Tidak mungkin, Eyang. Aku baru saja sampai sehari yang lalu. Mana mungkin Kanda Rangga berada di sini selama tujuh hari?" bantah Mayang.
"Bagi Gusti Prabu tidak ada masalah. Nini Mayang sendiri bilang mendapat hambatan dalam perjalanan, sehingga terlambat tiba di Karang Setra."
"Aku hanya terlambat tiga hari."
"Dan itu berarti tepat tujuh hari."
Mayang tidak menyahut. Masih belum bisa dipercayai kalau Rangga bisa tiba di sini dalam waktu kurang dari satu hari. Sedangkan untuk mencapai tempat ini dari arah sungai tempat mereka berpisah, paling tidak membutuhkan waktu lima hari perjalanan. Apa lagi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak membawa kudanya. Meskipun Rangga menggunakan Kuda Dewa Bayu paling tidak harus menempuh perjalanan selama tiga hari. Memang sulit dipercaya kalau Rangga bisa mencapai jarak sejauh itu dalam waktu singkat. Kurang dari satu hari!
Namun bagi Ki Lintuk, hal itu tidak menjadi masalah. Dia tahu kalau Rangga mempunyai seekor Burung Rajawali Raksasa yang bisa ditunggangi. Kecepatan terbang burung itu melebihi kilat. Jadi, tidak heran kalau dalam waktu singkat bisa menempuh perjalanan jauh, yang dirasakan mustahil bagi orang lain.
Ki Lintuk juga segera dapat memahami maksud Rangga memberikan cincin berlambang kejayaan kerajaan pada Anjani. Laki-laki tua itu mendekati dan menepuk pundak gadis itu Sementara Mayang memandangnya dengan sinar mata tidak suka. Dia juga bisa mengerti maksud Rangga dengan memberikan cincin itu pada Anjani, meskipun masih belum percaya penuh kalau Rangga berada di tempat ini selama tujuh hari.
"Aku percaya dengan kata-katamu Nisanak. Dengan adanya cincin itu, berarti kau diterima langsung Gusti Prabu untuk tinggal di istana." kata Ki Lintuk seraya memberikan senyuman manis.
"Aku...?" Anjani tidak bisa berkata kata lagi.
"Berkemaslah, sekarang juga kau tinggal di istana," kata Ki Lintuk tidak memberikan kesempatan pada Anjani untuk berpikir lagi.
“Tapi..., Kakang Rangga tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengatakan agar aku di sini saja," Anjani berkeras.
"Kakang...?" Mayang tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Ada apa, Mayang?" Ki Lintuk menatap Mayang.
"Oh, tidak...! Aku hanya sedikit terkejut saja," sahut Mayang agak tergagap.
Dia memang terkejut saat mendengar Anjani menyebut kakang terhadap Rangga. Mendadak saja rasa cemburu dan tidak sukanya pada gadis itu timbul. Kecemburuan memang sudah menyeruak saat melihat cincin berlian berlambangkan kejayaan Karang Setra melingkar di jari manis gadis itu.
"Ayolah, Nisanak. Aku tidak ingin Gusti Prabu murka kalau dia tahu kau masih berada di sini," bujuk Ki Lintuk.
“Terima kasih! Aku tidak bisa meninggalkan pondok ini. Kakang Rangga sudah mengatakan demikian sehari sebelum dia pergi dari sini," kata Anjani tetap menolak dengan sedikit berdusta.
Ki Lintuk menarik napas panjang Dia sadar kalau gadis itu tidak akan mungkin bisa dibujuk. Kata-katanya tegas, dan sepertinya memang Anjani tidak ingin menyalahi pesan yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti. Padahal sama sekali Rangga tidak memberikan pesan apa-apa. Hanya Anjani saja yang berkata demikian untuk menolak diboyong ke istana.
Dari kilatan cahaya mata Mayang, Anjani sudah bisa mengetahui kalau gadis cantik berpakaian indah itu tidak menyukainya. Bahkan sikapnya jelas-jelas membencinya. Dalam hatinya Anjani menduga-duga tentang diri Mayang.
"Baiklah. Kalau begitu kau tidak boleh menolak yang satu ini. Selama Gusti Prabu belum kembali ke Istana, kau tidak sendirian lagi. Gusti Prabu mengkhawatirkan keselamatanmu. Oleh sebab itu, beliau memerintahkan kami ke sini. Juga pondok ini akan dirubah agar lebih nyaman untuk ditempati," kata Ki Lintuk menegaskan.
"Tapi..," Anjani tetap tidak bisa menerima.
"Kau memegang cincin berlian lambang kejayaan Karang Setra, Nisanak. Cincin itu milik pribadi Gusti Prabu. Itu berarti kau adalah keluarga besar Istana Karang Setra. Suka atau tidak suka, itu sudah keputusan Gusti Prabu sendiri," tegas kata-kata Ki Lintuk.
Anjani tidak bisa berkata apa apa lagi. Mungkin kalau Rangga tidak memberikan surat dalam daun lontar yang mengatakan dirinya sebenarnya, saat itu Anjani pasti sudah jatuh pingsan. Namun gadis itu masih juga terbengong dengan berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau bakal menjadi keluarga besar Istana Karang Setra. Anjani serasa mendapatkan satu anugerah yang sukar diukur besarnya.
Gadis itu masih berdiri termangu meskipun Ki Lintuk, Mayang dan setengah dari prajuritnya meninggalkan tempat itu. Sedangkan separuh sisanya dari prajurit Karang Setra itu tetap tinggal menjaga keselamatan Anjani. Anjani sukar mempercayainya, meskipun itu benar-benar terjadi pada dirinya.

***

Anjani masih seperti bermimpi, ketika pada keesokan harinya, beberapa prajurit serta lima orang dayang dan ahli-ahli kayu Karang Setra berdatangan. Mereka dipimpin seorang punggawa yang gagah. Bahan-bahan untuk membuat rumah pun berdatangan. Anjani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Segala keperluannya sudah terpenuhi. Lima orang gadis cantik selalu siap melayaninya. Hari itu juga Anjani merasakan perubahan yang sangat menyolok pada dirinya.
Gadis itu masih merasa dirinya bermimpi, meskipun sudah lebih dari tujuh hari menempati rumahnya yang baru. Lima orang dayang siap melayaninya, dan sepuluh orang prajurit siap menjaganya secara bergantian. Pondok kecil yang reot, kini sudah berganti dengan sebuah bangunan yang cukup besar dan kokoh. Tidak ada lagi baju-baju kumalnya. Semua pakaiannya berganti dari bahan sutra halus.
Sampai saat ini, Anjani belum bisa menghadapi kenyataan hidup yang dialaminya. Dia sering duduk menyendiri memikirkan kehidupannya yang langsung berubah dalam waktu sekejap saja. Seperti halnya hari ini, Anjani duduk melamun dengan pikiran mengambang tidak menentu di dalam taman belakang rumahnya. Halaman belakang yang dulu hanya sebuah hutan dan kebun kecil, kini sudah berubah jadi sebuah taman yang indah penuh bunga.
"Gusti Ayu...."
Anjani menoleh ketika mendengar suara dari arah samping kanannya. Seorang dayang berwajah cukup manis sudah berdiri di dekatnya. Sikapnya begitu hormat, dengan tubuhnya agak sedikit membungkuk.
"Ada apa?" tanya Anjani pelan.
"Gusti Ayu Mayang Telasih ingin bertemu," sahut dayang itu.
"Ada yang ingin aku katakan padamu, Anjani," ujar Mayang datar.
"Oh!" Anjani tersentak kaget.
Dayang itu segera menyembah hormat, dan segera berbalik meninggalkan taman itu. Anjani berdiri dan membalikkan tubuhnya. Mayang tahu-tahu sudah berada di dekatnya. Gadis cantik yang selalu mengenakan baju wama merah menyala itu melangkah mendekati, kemudian duduk di kursi yang tadi diduduki Anjani. Sedangkan Anjani sendiri hanya berdiri saja.
"Enak juga berada di sini..," kata Mayang seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Ya," hanya itu yang bisa diucapkan Anjani.
"Kau senang?"
"Ya," lagi-lagi Anjani menjawab singkat.
“Tapi kau harus ingat. Kesenangan yang kau peroleh sekarang ini bukan berarti bisa berbuat seenaknya saja di Karang Setra. Kau harus sadar, siapa dirimu. Jangan berharap lebih, apalagi mengharapkan bisa mendampingi Kanda Prabu Rangga." agak sinis kata-kata Mayang.
Anjani hanya diam saja. Hatinya terasa sakit. Tapi memang disadari kalau dirinya bukanlah apa-apa bila dibandingkan Mayang. Hanya diam dan diam saja yang bisa dilakukan Anjani, seraya menelan kepahitan yang amat sangat
"Kanda Prabu memberikan semua kesenangan ini karena kasihan padamu. Beliau seorang raja besar yang arif dan bijaksana. Imbalan yang diberikannya padamu tidak sebanding dengan kebaikan yang kau berikan padanya. Kau harus bersyukur, Anjani. Dan tentu saja jangan sampai membuatmu jadi besar kepala, lantas ingin yang lebih dari ini semua," kembali Mayang berkata lembut. Namun nada suaranya sangat menyakitkan hati.
Dan Anjani hanya bisa diam tanpa bisa berkata sedikit pun. Bukan sekali ini Mayang mengunjungi, dan selalu berkata yang menusuk perasaannya. Segala-galanya memang tercukupi, bahkan berlebih. Tapi hati Anjani jadi tidak tenteram. Rasanya lebih tenang dan damai hidup sederhana daripada bergelimang harta tapi hati selalu menahan perasaan.
"Satu hal lagi yang perlu kau ingat Anjani. Kanda Prabu tidak akan mengambil pendamping seorang gadis kebanyakan sepertimu!" sambung Mayang tegas tanpa tedeng aling-aling lagi.
Anjani mendongakkan kepalanya Pandangannya tajam menusuk ke bola mata Mayang. Kata-kata Mayang terakhir ini membuatnya tidak bisa menahan diri lagi.
"Mayang....'"
Belum lagi Anjani membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Kedua gadis itu terkejut dan menoleh. Hampir copot jantung Mayang Telasih begitu matanya melihat orang yang membentak keras tadi. Rasa terkejutnya hilang seketika, dan langsung berubah jadi ketidakpercayaan dengan pendengarannya.
"Mau apa kau ke sini?" bentak Mayang sengit. Gadis cantik berbaju biru dengan kipas terbuka di tengan kanan, melangkah ringan. Kipas dari baja putih itu terkembang bergerak-gerak di depan dada. Langkahnya berhenti tepat di samping Anjani yang makin terpana tidak mengerti dengan kemunculan Pandan Wangi secara tiba-tiba itu!

***

18. Pendekar Rajawali Sakti : Darah PendekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang