BAGIAN 1

2.1K 57 0
                                    

Denting benturan senjata yang memecah kesunyian malam, bercampur menjadi satu dengan pekik pertempuran dan jerit kematian. Malam yang seharusnya tenang dan damai, kini penuh suara gaduh menggemparkan. Teriakan-teriakan bernada memerintah terdengar mengalahkan kegaduhan itu.
"Yaaat...!"
Sebuah bayangan berkelebat melesat tinggi melewati atap sebuah bangunan besar dan megah. Sesaat kemudian beberapa bayangan juga melesat menyusul. Tampak beberapa orang berpakaian punggawa mengejar seorang laki-laki berwajah tampan dan keras. Mereka berlompatan di atas atap bangunan megah itu.
"Kepung...! Jangan biarkan dia lolos!" terdengar teriakan keras.
Di sekitar bangunan megah berpagar tembok tinggi dan kokoh, ratusan orang berseragam prajurit dengan senjata tombak dan pedang telah berjajar mengepung. Sementara di atas atap, terlihat empat orang berpakaian punggawa tengah bertarung melawan seorang laki-laki muda berbaju kuning gading.
"Hiya..!"
Satu teriakan melengking tinggi, mengawali terjungkalnya salah seorang punggawa itu dari atas atap. Tubuhnya meluncur deras, dan jatuh ke tanah dengan keras. Sebentar dia menggeliat, lalu diam tidak berkutik lagi. Dadanya berlubang besar, sedangkan lehernya hampir putus.
"Pasukan panah! Siap...!" terdengar teriakan memerintah.
Puluhan orang berseragam prajurit langsung memasang anak panah pada busurnya. Sementara pertarungan di atas atap masih terus berlangsung. Seorang punggawa lagi tampak terpental dan hampir jatuh ke tanah, dan untungnya masih sempat berpegangan. Belum lagi punggawa itu bangkit, terdengar teriakan melengking tinggi. Kembali seorang lagi terjungkal dengan darah muncrat dari tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Orang berpakaian kuning gading itu melesat cepat ke atas tembok tinggi yang membatasi bangunan besar itu dengan jalan desa. Pada saat itu terdengar teriakan keras memerintah, maka dengan serentak puluhan anak panah melesat ke arah laki-laki muda berbaju kuning gading itu.
Namun dengan gesit sekali laki-laki muda itu memutar pedangnya, menghalau hujan panah. Dan dengan satu lompatan manis, tubuhnya meluruk turun ke luar pagar benteng itu. Kembali teriakan keras bernada perintah terdengar saling susul. Saat itu juga, pintu gerbang benteng yang mengelilingi bangunan megah itu terbuka. Puluhan prajurit dan punggawa ke luar dengan kuda yang dipacu cepat.
Seorang laki-laki tua mengenakan baju jubah putih yang panjang dan lebar, memacu kudanya paling depan. Di belakangnya terlihat tiga orang lainnya yang juga sudah berusia lanjut. Puluhan prajurit dan punggawa mengikuti dari belakang.
"Berpencar...!" teriak laki-laki berjubah putih itu keras.
Tanpa ada yang membantah, mereka berpencar membentuk kelompok sendiri-sendiri. Sedangkan laki-laki berjubah putih itu menghentikan laju kudanya, di ikuti seorang laki-laki tua lainnya. Sedangkan dua laki-laki lainnya terus berpacu bersama beberapa orang prajurit.
Seorang pemuda tampan dan gagah terlihat memacu kuda mendekati dua orang tua itu. Di belakangnya menyusul seorang gadis berwajah cantik dengan baju merah menyala. Di balik punggung mereka menyembul gagang pedang. Mereka menghentikan kudanya tepat di depan dua orang tua itu
"Bagaimana, Paman?" tanya pemuda tampan itu.
"Ampun, Gusti...." laki-laki tua berjubah putih itu membungkukkan badannya memberi hormat. "Sampai saat ini kami belum berhasil"
"Hm..., bagaimana awal kejadiannya?" tanya pemuda itu lagi.
"Kakang Danupaksi, sebaiknya Kakang jangan banyak tanya. Yang penting orang itu harus segera ditangkap kembali," selak gadis berbaju merah di sampingnya.
"Benar, Nini Cempaka. Dia memiliki ilmu yang sangat tinggi dan berbahaya. Gusti Prabu Rangga pasti murka bila mengetahui tawanannya berhasil melarikan diri." sambung laki-laki di samping orang berjubah putih.
Sesaat mereka terdiam membisu saling melemparkan pandangan. Kata-kata laki-laki tua yang memakai pakaian seorang panglima perang itu seolah-olah mengingatkan kalau raja mereka kini tengah tidak ada di istana.
"Paman Bayan Sudira, Eyang Lintuk...," kata Danupaksi
"Hamba, Gusti," dua orang laki-laki tua itu membungkuk hormat.
"Teruskan pengejaran, sementara aku akan mencari Kanda Prabu," kata Danupaksi.
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar teriakan keras.
Empat orang berkuda itu langsung menoleh ke arah sumber suara tadi. Tampak seorang gadis muda dan cantik sudah berdiri tidak jauh dari mereka. Gadis yang mengenakan pakaian seorang pendekar wanita berwama hijau muda itu melangkah mendekati.
"Tidak boleh ada yang meninggalkan istana," kata wanita itu tegas.
"Kak Mayang...," Cempaka mau membantah.
"Jangan membantah, Adik Cempaka!" sentak wanita yang ternyata bernama Mayang itu "Kanda Prabu tidak mengizinkan seorang pun ke luar istana. Apa kalian sudah lupa?"
"Tapi keadaannya genting, Adik Mayang. Seorang tawanan khusus Kanda Prabu yang sangat berbahaya telah melarikan diri. Tidak sedikit prajurit dan punggawa yang tewas," kata Danupaksi mencoba memberi pengertian.
"Itu bukan alasan yang tepat untuk meninggalkan Istana."
"Nini Mayang! Jika demikian perintah Gusti Prabu, izinkan hamba yang mencari Gusti Prabu," kata Eyang Lintuk menengahi. Dia tahu kalau tiga orang muda itu adalah orang-orang yang dekat dengan Prabu Rangga Pati Permadi. Danupaksi dan Cempaka adalah adik tiri Prabu Rangga. Sedangkan Mayang murid dari bibi mereka yang tewas tanpa diketahui sebab-sebabnya (Untuk lebih jelasnya tentang tokoh-tokoh itu baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode "Rahasia Kalung Keramat" dan "Perawan Rimba Tengkorak"). Mereka semua tahu kalau raja telah berpesan agar mereka jangan meninggalkan istana sampai tugasnya mengejar seorang panglima yang hendak memberontak selesai. Mereka sadar betul kalau raja mereka adalah seorang pendekar yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada seorang pun di Kerajaan Karang Setra ini yang mampu menyamai kepandaiannya.
"Kerajaan Karang Setra sangat membutuhkanmu, Eyang Lintuk," kata Mayang pelan suaranya. "Di antara kalian semua, hanya aku yang tidak punya kepentingan khusus di Karang Setra ini."
Danupaksi, Cempaka, Eyang Lintuk, dan Paman Bayan Sudira bisa mengerti kata kata Mayang. Cempaka melompat turun dari punggung kudanya, lalu menghampiri wanita cantik yang sudah dianggap sebagai kakaknya itu.
"Kak Mayang jangan berkata demikian. Kau tahu Kanda Prabu Rangga sangat memperhatikanmu. Kehadiranmu di sini sangat berguna dan kami semua menganggapmu sebagai keluarga istana," kata Cempaka lembut.
"Terima kasih, Adik Cempaka. Hanya saja, dalam suasana seperti ini, orang yang tepat untuk mencari Kanda Prabu adalah aku sendiri." tegas Mayang.
Cempaka memandang Eyang Lintuk dan Paman Bayan Sudira bergantian. Kedua orang itu hanya mengangkat bahunya saja. Cempaka beralih memandang Mayang, dan memeluknya hangat. Sementara Danupaksi juga melompat turun dan menghampiri.
"Kembalilah secepat mungkin," kata Danupaksi.
Mayang hanya tersenyum saja, kemudian berbalik. Tapi Cempaka menarik tangannya.
"Pakai kudaku, biar lebih cepat." Cempaka menawari.
"Kau baik sekali, Adik Cempaka." ujar Mayang seperti ingin menolak.
"Ayolah! Kau pasti membutuhkannya."
Mayang tidak bisa menolak lagi. Segera dia melompat ke punggung kuda putih itu, kemudian menggebahnya dengan cepat. Sejenak empat orang itu masih memandangi kepergian Mayang sampai bayangan tubuhnya tidak terlihat lagi.
"Ayo, Cempaka! Kita kembali saja ke istana." ajak Danupaksi. "Eyang, segera laporkan jika ada sesuatu."
"Baik. Gusti."
Cempaka segera melangkah diikuti Danupaksi yang menuntun kudanya. Sedangkan Eyang Lintuk dan Paman Bayan Sudira kembali memacu kudanya mengelilingi tembok benteng Istana Karang Setra ini. Beberapa prajurit masih terlihat berjaga-jaga, sedangkan puluhan lainnya memeriksa setiap pelosok kota. Mereka terus mencari seorang tawanan yang melarikan diri dan menewaskan banyak prajurit dan punggawa!
Malam sudah berganti pagi. Matahari telah terbit sejak tadi. Cahayanya menghangati mayapada ini. Mayang mengendalikan kudanya yang kelelahan setelah semalaman dipacu cepat meninggalkan Kerajaan Karang Setra.
Laju kuda putih itu berhenti setelah sampai di sebuah sungai yang berair jemih dan mengalir tenang. Sungai itu tidak terlalu besar, dan kelihatannya pun dangkal. Sungai yang bemama Sungai Batang ini begitu jernih, sehingga dasarnya terlihat jelas. Mayang melompat turun dari punggung kuda, dan menuntunnya mendekati tepian sungai itu.
"Kita istirahat dulu di sini, Putih." kata Mayang.
Kuda putih itu mengangguk-angguk seraya mendengus-dengus, lalu menjulurkan kepalanya ke sungai. Beberapa teguk air sungai telah mampir di leher kuda putih itu. Mayang tersenyum memandanginya. Beruntung sekali mendapat kuda yang perkasa ini. Kelihatannya memang berguna sekali. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia tahu kalau dirinya sudah jauh meninggalkan Karang Setra. Dan sekarang ini berada di satu tempat yang....
"Eh! Hup...!"
Mayang tak sempat melanjutkan lamunannya, karena tiba-tiba sebatang tombak panjang meluncur deras ke arahnya. Gadis itu langsung melompat cepat dan berputar di udara, maka tombak itu lewat di bawah kakinya. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, dari dalam semak belukar muncul tiga orang laki-laki ber tubuh tinggi besar dan berwajah kasar penuh berewok.
"He he he...!" ketiga laki-laki itu terkekeh melihat seorang gadis cantik di depannya.
Mayang menggeser kakinya sedikit ke samping. Dia sadar kalau sekarang berhadapan dengan manusia-manusia liar yang sangat kejam. Tiga orang itu dikenal dengan julukan Hantu Sungai Batang, yang menguasai sekitar sungai ini. Mereka memang tidak memiliki pekerjaan lain, kecuali membegal siapa saja yang lewat di daerah Sungai Batang ini. Tidak peduli, apakah itu pedagang, atau hanya pelintas saja.
"He he he,.., hari ini kita beruntung sekali, Adik-adik," kata salah seorang yang berada di tengah.
"Benar, Kakang. Hari ini aku tidak peduli, apakah dia punya harta atau tidak, yang penting...," sambut yang berada di kanan.
Mereka tertawa terbahak-bahak. Mayang mendengus jijik melihat sinar mata ketiga laki-laki itu. Sinar mata yang liar dan buas penuh nafsu. Ketiga orang itu melangkah mendekati. Sedangkan Mayang sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka semakin dekat di-sertai tawa terkekeh tiada henti. Bola mata mereka semakin liar merayapi wajah dan tubuh gadis itu.
"Kenapa kau berada di sini, Manis?" tanya salah seorang yang berdiri di tengah.
"Akan kubunuh kalian jika berani kurang ajar!" jawab Mayang ketus.
"Ha ha ha....!" ketiga laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.
Jawaban Mayang yang begitu ketus, seolah-olah menggelitik tenggorokan mereka. Mayang menyemburkan ludah-nya sengit. Matanya melirik ketika orang yang berada di kiri menggeser kakinya menyamping. Sedangkan yang berada di kanan melesat ke belakangnya. Pelahan Mayang memutar kakinya dengan mata tajam tidak berkedip.
"Aku tahu, kau tidak punya harta. Tapi kau sudah cukup membuat kami senang," ujar laki-laki itu lagi.
"Phuih! Ambil saja kesenanganmu di neraka!" dengus Mayang tetap ketus.
"Busyeeet...!" orang itu terlonjak dengan muka merah padam.
"Sudah, jangan banyak omong! Kita ringkus saja bocah manis yang sombong ini!" selak satunya lagi.
"Hiya...!"
"Yaaat..!"
Mayang langsung memutar tubuhnya ketika orang yang berada di kirinya melompat menerjang. Sambil memutar tubuhnya, gadis itu mengirimkan satu sodokan keras bertenaga dalam cukup tinggi. Orang itu tidak menyangka, dan hanya sempat terperangah sesaat. Tapi buru-buru dimiringkan tubuhnya menghindari sodokan tangan Mayang.
"Uts!"
Merah padam wajah orang itu. Meskipun berhasil berkelit menghindari sodokan itu, tapi tubuhnya agak limbung juga. Angin sodokan tangan Mayang begitu keras menyambar tubuhnya. Dan belum lagi sempat memperbaiki posisi, dengan cepat Mayang melayangkan kakinya ke arah kepala orang itu. Dan....
Buk!
"Akh...!" orang itu memekik tertahan ketika tendangan Mayang mendarat telak di kepalanya.
"Kurang ajarl"
"Setan...!"
Dua orang lainnya langsung mencabut golok masing-masing, dan segera menerjang dari dua posisi. Golok mereka berkelebat cepat membabat ke arah bagian-bagian tubuh Mayang yang mematikan. Mayang bukanlah seorang gadis biasa yang lemah. Dengan manis setiap serangan dua orang lawannya itu bisa dihindarinya. Bahkan beberapa kali berhasil mendaratkan pukulan dan tendangannya yang keras bertenaga dalam cukup tinggi.
Namun rupanya dua orang itu memiliki tubuh yang keras bagai batu. Sementara orang-orang yang terkena tendangan pada kepalanya, sudah bisa menguasai keadaannya. Sambil menggeram marah, dia melompat seraya mencabut goloknya. Kini Mayang harus menghadapi tiga orang bersenjata golok yang menyerang tanpa perhitungan. Mereka bagaikan serigala-serigala liar tengah memperebutkan seekor domba cantik, yang gesit dan sukar ditangkap.
"Hm..., kemampuan mereka tidak begitu tinggi. Tapi mereka memiliki kekuatan luar yang luar biasa. Hanya mereka tidak menggunakan otak...!" gumam Mayang dalam hati.
Setelah beberapa jurus terlampaui Mayang sudah bisa mengukur kemampuan lawan-lawannya, dan seketika itu juga dirubah pola jurus-jurusnya. Gerakan tangan dan kaki gadis itu menjadi cepat dan lincah diimbangi gerakan tubuh yang lentur bagai karet. Hal ini membuat ketiga orang laki-laki bertampang kasar itu semakin sukar untuk menyentuhnya. Hingga pada suatu saat....
"Yap! Lepas...!" sentak Mayang tiba-tiba.
Trak!
Cepat sekali tangan Mayang berkelebat, sehingga salah seorang memekik dengan golok terpental jauh ke udara. Belum lagi orang itu sempat menyadari satu tendangan keras menghantam dadanya. Akibatnya orang itu terjungkal ambruk ke tanah. Dua orang lainnya pun terperangah. Dan betapa terkejutnya mereka karena tiba-tiba Mayang berputar cepat sambil menyampokkan tangannya ke arah pergelangan tangan mereka.
"Lepas...!" seru Mayang keras.
"Akh!"
"Akh!"
Dua orang itu memekik tertahan. Segera suara erangan menyusul begitu dua pukulan bersamaan menghajar dada mereka. Dua tubuh pun terjungkal keras menghantam bumi. Mereka menggeliat-geliat sambil mengerang kesakitan. Sementara Mayang berdiri tegak bertolak pinggang. Tiga orang laki-laki itu berusaha bangkit.
Setelah mampu berdiri, mereka serentak berlari. Namun Mayang dengan cepat melentingkan tubuhnya, dan menghadang mereka. Ketiga orang yang berjuluk Hantu Sungai Batang itu terkejut melihat Mayang tahu-tahu sudah berdiri menghadang.
"Mau lari ke mana, keparat!" desis Mayang dingin.
Ketiga orang itu kembali berbalik dan berlari. Namun, baru beberapa tombak mereka berlari, kembali Mayang melesat dan menghadang. Beberapa kali hal itu berulang, hingga wajah ketiga laki-laki itu pucat pasi. Mereka menjatuhkan diri berlutut dengan napas terengah-engah.
Mayang tersenyum lebar melihat ketiga orang begal itu berlutut di depannya. Dan ini memang yang diharapkannya. Dengan sikap dibuat angkuh, gadis itu memandangi satu-satu wajah yang pucat dengan sinar mata penuh kepasrahan. Napas mereka masih tersengal, dan keringat menitik deras membasahi wajah.
"Ampunkan kami, Nini... jangan bunuh kami." ratap orang yang ada di tengah.
"Hhh! Kalian takut mati juga rupanya!" dengus Mayang sinis.
"Ampun, Nini. Kami bersedia mengabdi asal jangan dibunuh," ratapnya lagi.
"Baik aku ampuni kalian," kata Mayang.
"Terima kasih, Nini," sambut mereka gembira, serentak bersujud sampai kening mereka menyentuh tanah.
"Tapi ada satu syarat!"
"Oh....! Katakan, Nini. Apa syaratnya?"
"Kalian harus bertobat. Mulai saat ini, tinggalkan semua pekerjaan kalian!"
"Baik, Nini. Kami berjanji."
"Bangunlah."
Ketiga laki-laki itu bangkit berdiri. Namun kepalanya tertunduk dan tubuh agak membungkuk.
"Dengar! Mulai saat ini kalian menjadi pengikutku! Sekali melanggar kata-kataku, nyawa kalian akan kukirim ke neraka. Paham!"
"Mengerti, Nini," sahut ketiga orang itu serempak.
"Bagus!" Mayang tersenyum. "Siapa nama kalian?"
"Namaku Jalak," sahut orang yang di tengah memperkenaikan diri. "Dan mereka berdua adalah adik-adikku. Yang ini bernama Bawuk." Jalak menunjuk orang di sebelah kanannya. "Dan ini, Rantak."
Mayang mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian melangkah kembali ke tepi sungai. Gadis itu menghampiri kudanya yang tengah merumput tidak jauh dari situ. Mayang segera melompat naik ke punggung kuda putih itu. Sementara tiga orang laki-laki yang ditaklukkannya masih berdiri di tempatnya.
"Kalian punya kuda?" tanya Mayang.
"Oh, ada.... Ada, Nini," sahut Jalak cepat.
"Ambil!" perintah Mayang.
Ketiga orang itu bergegas beranjak pergi.
"Hey! Jangan semuanya! Satu orang saja!"
Jalak terus melangkah pergi, sedangkan Bawuk dan Rantak tetap tinggal. Mayang menggebah kudanya pelahan-lahan menghampiri kedua orang laki-laki itu. Matanya memperhatikan Jalak yang menerobos masuk ke dalam hutan.
Tidak lama kemudian Jalak telah kembali membawa empat ekor kuda. Dua ekor kuda sarat dengan beban. Mayang agak berkerut juga keningnya melihat beban yang begitu banyak pada punggung dua ekor kuda.
"Untuk apa barang-barang itu?" tanya Mayang.
"Ini semua adalah harta kami, Nini. Dan sekarang menjadi milik Nini." sahut Jalak.
"Hm..., kalau dibawa semua, lalu apakah dua di antara kalian bersedia jalan kaki?"
"Tidak, Nini," sahut Jalak, kemudian dia bersiul nyaring.
Tidak lama, terdengar suara ringkik kuda, disusul munculnya seekor kuda berwarna coklat tua. Keempat kakinya begitu tegap, dan berwarna putih. Kuda itu menghampiri Jalak, lalu menyodorkan kepalanya. Jalak tersenyum dan mengelus-elus kepala kuda itu.
"Hebat...!" puji Mayang tulus.
Jalak segera melompat naik ke punggung kudanya.
"Tinggalkan semua barang-barang itu." perintah Mayang.
"Tapi, Nini..." protes Jalak.
"Hm.., baiklah. Bawa saja seperlunya. Aku tidak ingin terlalu banyak beban mengikuti," Mayang mengalah juga.
Bawuk dan Rantak segera menurunkan barang-barang dari punggung kuda itu tanpa diperintah lagi. Ketika salah satu peti kayu yang tebal dibuka, Mayang agak terperanjat juga begitu melihat isinya. Peti itu berisi hampir penuh uang emas. Belum lagi kantung-kantung yang kelihatan berat. Pasti semuanya berisi barang-barang berharga!
Berpikir demikian, Mayang jadi merasa tidak enak kalau meninggalkan begitu saja barang sebanyak itu di tempat ini. Gadis itu memandang berkeliling, lalu menggebah kudanya pelahan-lahan. Mayang berhenti di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan daun-daunnya yang rindang. Kemudian ia melompat turun dari punggung kudanya, dan melangkah sekitar dua puluh tindak ke
depan.
"Gali di sini!" perintah Mayang.
Jalak segera melompat turun dari punggung kudanya. Dia paham maksud gadis cantik yang telah menaklukkannya dalam pertarungan. Tanpa banyak komentar lagi, ketiga laki-laki bertubuh tinggi besar itu menggali tanah yang ditunjuk Mayang. Sedangkan gadis itu menghampiri kotak kayu yang terbuka tutupnya. Diambilnya sebuah kantung, diisinya dengan beberapa keping uang emas itu.
"Jalak!" panggil Mayang.
"Ya, Nini...!" Jalak bergegas menghampiri.
"Simpan ini!" Mayang melemparkan kantung yang sudah diisi dengan beberapa keping uang emas.
Jalak menangkap dan menggantungkannya di pinggang, kemudian kembali membantu kedua adiknya menggali lubang yang cukup dalam dan besar. Sementara Mayang kembali naik ke punggung kudanya. Ketiga laki-laki itu menyimpan barang-barang hasil rampokannya ke dalam lubang yang cukup dalam, dan menguruknya hingga rata kembali. Mereka juga menaburinya dengan batu-batu dan pasir. Setelah merasa yakin tidak terlihat bekas galian, mereka segera melompat naik ke punggung kudanya masing-masing.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Mayang segera meng-gebah kudanya. Ketiga orang laki-laki bekas begal itu, segera mengikuti. Mereka memacu cepat kudanya meninggalkan tepian Sungai Batang. Debu mengepul diterjang kaki-kaki kuda yang berpacu cepat menembus lebatnya hutan. Mereka semakin jauh masuk ke dalam hutan dan lenyap ditelan pepohonan yang rapat.

***

18. Pendekar Rajawali Sakti : Darah PendekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang