BAGIAN 2

1.2K 40 0
                                    

Dua ekor kuda berpacu cepat mendaki sebuah bukit berbatu. Penunggang kuda itu adalah seorang pemuda tampan dengan baju rompi putih melambai-lambai tertiup angin. Sebatang pedang bergagang kepala burung bertengger di punggungnya. Agak ke belakang penunggang kuda lainnya seorang gadis berwajah cantik mengenakan baju biru yang ketat.
Semakin tinggi bukit berbatu itu didaki, semakin sukar dilalui. Pemuda berbaju rompi putih itu menghentikan langkah kudanya, dan menoleh agak ke belakang. Kemudian pandangannya beralih menatap ke arah puncak bukit batu itu. Dengan satu gerakan manis, dia melompat turun dari kuda hitam pekat itu.
"Kita harus meninggalkan kuda di sini, Pandan," kata pemuda itu.
Gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan, langsung melompat turun. Ringan sekali kakinya menjejak bebatuan di samping pemuda itu. Mereka tidak lain dari Pandan Wangi dan Rangga atau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau yakin Panglima Parakan ada di sini, Kakang?" tanya Pandan bernada ragu-ragu.
"Begitulah keterangan yang aku dapatkan," sahut Rangga.
"Aku tidak mengerti, mengapa Panglima Parakan memberontak...," gumam Pandan seolah bicara pada dirinya sendiri.
"Dia paman dari Wira Permadi, adik ibu tiriku. Dia tidak suka dengan kekalahan yang diderita keponakannya. Aku sendiri tidak mengerti, mengapa dia punya pikiran picik seperti itu. Padahal aku masih memberinya kedudukan sebagai panglima perang."
"Atau bisa juga dia sakit hati, Kakang," Pandan menduga-duga.
"Maksudmu?"
"lya, soalnya kakaknya bunuh diri karena tidak kuat menanggung malu. Atau mungkin dia juga malu, lalu memilih jalan memberontak, meskipun tahu tidak mungkin berhasil."
"Seribu satu macam alasan bisa saja terjadi, Pandan."
"Ya...."
"Ayo, kita terus mendaki bukit ini," ajak Rangga.
Mereka kemudian berjalan mendaki bukit batu itu. Sedangkan kuda-kuda mereka tinggalkan begitu saja. Jalan yang harus ditempuh memang sangat sukar, dan tidak mungkin dilalui dengan kuda. Banyak batu-batu yang rapuh, dan sewaktu-waktu dapat longsor. Belum lagi harus melalui dinding batu terjal yang hampir tegak. Mereka harus menggunakan ilmu meringankan tubuh agar bisa leluasa mendaki.
"Hati-hati, Pandan. Batu ini rapuh sekali," kata Rangga memperingatkan.
"Iya, aku tahu," sahut Pandan.
Mereka terus mendaki tanpa mengenal telah. Semakin jauh mereka mendaki, semakin sukar jalan yang dilalui. Namun dengan berbekal ilmu meringankan tubuh, hal itu bukanlah halangan berarti. Mereka adalah orang-orang berkepandaian sangat tinggi.
"Awas, Pandan...!" seru Rangga tiba-tiba.
"Hup!"

***

Pandan cepat melompat ke belakang Rangga ketika sebongkah batu yang cukup besar meluncur deras dari atas bukit. Batu itu menghantam batu-batu lainnya, sehingga membuat bukit ini seperti akan runtuh. Rangga segera mencekal tangan Pandan Wangi, dan menariknya keras. Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya sambil mencabut Pedang Rajawali Sakti.
Secercah cahaya biru kemilau memancar dari pedang pusaka itu. Rangga memutar pedangnya dengan cepat di atas kepala. Batu batu yang meluruk ke arahnya, langsung hancur berkeping-keping. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terus berlompatan ke atas menembus hujan batu. Sedangkan tangan kirinya tidak lepas mencekal pergelangan tangan Pandan Wangi. Gadis itu mengerahkan ilmu meringankan tubuh sambil mengikuti setiap gerak langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Rangga melentingkan tubuhnya ketika sampai di puncak bukit. Segera dimasukkan kembali pedangnya ke dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru langsung lenyap begitu pedang pusaka itu tersimpan kembali. Suara gemuruh batu batu yang longsor masih terdengar. Bukit batu ini bergetar bagai diguncang gempa.
Belum sempat Rangga menarik napas lega, mendadak beberapa anak panah meluncur deras ke arahnya, Pandan Wangi segera mencabut senjatanya yang berbentuk kipas dari pinggangnya. Dengan kipas itu dihalaunya anak-anak panah itu. Sedangkan Rangga menggerak-gerakkan tangannya dengan cepat, menyambar setiap anak panah yang mengarah ke tubuhnya. Puluhan anak panah berhasil dirampasnya.
"Yap! Hih...!"
Rangga memutar tubuhnya cepat, dan melontarkan kembali puluhan anak panah yang berhasil ditangkapnya. Seketika itu juga, terdengar suara jeritan melengking. Beberapa sosok tubuh yang tertembus anak panah, mencuat dari balik bebatuan dan gerumbul semak belukar kering. Saat itu juga hujan anak panah langsung berhenti.
Kesunyian kembali menyelimuti sekitar puncak bukit itu. Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Seorang pun tak terlihat ada di sekitar situ. Pandangannya tertumpu pada orang-orang berseragam prajurit yang tergeletak tertembus panah. Mereka semua prajurit Karang Setra, yang telah memberontak bersama Panglima Parakan.
"Jangan-jangan buruan kita sudah kabur, Kakang," kata Pandan Wangi menduga-duga.
Belum sempat Rangga menjawab mendadak di sekitar mereka bermunculan orang berseragam prajurit Karang Setra. Mereka muncul dari balik batu besar yang memenuhi puncak bukit batu ini. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berpakaian panglima perang, melompat dari balik batu besar. Ringan sekali kakinya menjejak sekitar tiga batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Panglima Parakan..," desis Rangga getir suaranya.
"Hhh! Rupanya Karang Setra sudah kehilangan jago-jago, sehingga rajanya sendiri harus turun tangan," kata Panglima Parakan sinis.
"Ini urusanku sendiri, Panglima!" tegas Rangga.
"Benar. Dan gundikmu itu tidak perlu ikut campur!"
"Setan!" desis Pandan tersinggung. Mukanya merah padam menahan geram.
"Kotor sekali mulutmu, Panglima!" geram Rangga mendesis.
"Ha ha ha...!" Panglima Parakan tertawa terbahakbahak.
Pandan tidak bisa lagi menahan amarahnya. Langsung dikebutkan kipasnya, hingga mengembang terbuka. Tapi Rangga merentangkan tangannya mencegah agar Pandan tidak terpancing emosinya. Gadis itu menutup kembali kipasnya, namun matanya tetap tajam menatap laki-laki berpakaian panglima di depannya. Sorot matanya memancarkan kemarahan yang amat sangat.
"Biar kupenggal lehernya, Kakang." kata Pandan Wangi sengit.
"Ayo, Rangga! Majulah! Biar semua orang yang ada di sini tahu, kalau kau hanya gembel busuk yang mengaku putra Kanda Arya Permadi!" keras sekali suara Panglima Parakan.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Panglima. Tidak ada gunanya bertahan. Pihak istana akan mengadilimu secara adil," ujar Rangga masih mencoba membujuk.
"Phuih! Gembel-gembelmu tidak pantas mengadiliku! Seharusnya mereka yang kuadili" jawab Panglima Parakan.
"Kau sendiri tidak lebih rendah dari anjing busuk!" dengus Pandan Wangi semakin geram.
"Phuih! Apa kau anggap dirimu suci, gundik rendah!"
"Cukup!" bentak Rangga mulai hilang kesabarannya.
Bentakan yang keras itu membuat Panglima Parakan langsung diam. Hatinya sempat bergetar juga mendengar suara yang keras menggelegar. Sedangkan Pandan Wangi juga mengatupkan mulutnya. Rangga melangkah maju dua tindak. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Panglima Parakan.
"Sudah cukup aku menahan kesabaran Panglima," kata Rangga. Suaranya dingin menggetarkan.
"Heh...! Lalu, apa maumu?" tantang Panglima Parakan.
"Kau sendiri yang menentukan jalan hidupmu, Panglima."
"Jangan banyak omong, Rangga! Ayo, hadapi aku!" bentak Panglima Parakan.
Setelah berkata demikian, Panglima Parakan segera melompat menyerang. Secepat kilat dicabut pedangnya, dan langsung dikibaskan ke arah leher. Rangga menarik kepalanya sedikit ke belakang maka tebasan pedang itu lewat sedikit di depan tenggorokannya. Gagal dengan serangan pertama, Panglima Parakan melanjutkan dengan serangan berikutnya.
Pedang di tangan Panglima Parakan berkelebatan cepat mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu, Pandan Wangi juga sudah sibuk menghadapi para prajurit panglima pemberontak itu. Kipas mautnya berkelebatan cepat membongkar keroyokan prajurit Karang Setra yang memberontak itu. Setiap kibasan kipasnya selalu diikuti dengan terjungkalnya seorang prajurit.
Puncak Bukit Batu yang semula sunyi sepi, kini penuh teriakan dan pekik melengking, ditingkahi denting senjata berada. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan bersimbah darah. Sementara Rangga masih melayani Panglima Parakan dengan tangan kosong. Meskipun kesabarannya sudah sampai pada puncaknya, Pendekar Rajawali Sakti itu masih berusaha untuk tidak mencelakakan Panglima Parakan. Dia bermaksud menangkapnya hidup-hidup, dan mengadilinya seadil-adilnya.

18. Pendekar Rajawali Sakti : Darah PendekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang