BAGIAN 8

1.1K 49 16
                                    

Sementara itu di bagian Timur luar kota Kerajaan Karang Setra, Pandan Wangi tengah bertarung melawan Purbaya, anak Tengkorak Putih yang tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Purbaya sempat tertawan dan mendekam dalam tahanan Kerajaan Karang Setra.
Pertarungan kedua orang itu sudah mencapai tingkat yang tinggi Pandan Wangi sendiri sudah mengeluarkan Pedang Naga Geni dan menggunakan jurus-jurus 'Naga Sewu'. Dan gadis itu sempat terkejut melihat Purbaya telah menggenggam senjata pusakanya kembali yang berbentuk tongkat pendek dengan ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia. Sedangkan ujung satunya lagi berbentuk bulan sabit.
Tapi pada saat itu, Pandan Wangi tidak sempat lagi berpikir, dari mana Purbaya memperoleh kembali senjata ampuhnya itu. Sebab serangan-serangan Purbaya tidak bisa diangap remeh. Lebih-lebih senjata mautnya kini telah berada di tangan. Sementara di sekitar pertempuran itu, beberapa prajurit berdiri mengepung. Sikap mereka siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Tampak di depan pintu rumah besar, Anjani berdiri lemas memandangi pertarungan itu. Air bening tidak henti-hentinya mengucur dari matanya.
"Lepas!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.
"Akh...!" terdengar pekikan tertahan.
Terlihat Pandan Wangi terhuyung. Kipas di tangan kiri gadis itu terpental jauh ke udara. Darah kental mengalir dari sudut bibirnya. Dan pada saat tubuhnya masih limbung dengan tangan memegangi dada. Purbaya melenting cepat sambil mengibaskan senjatanya Pandan Wangi terkesiap sesaat, buru-buru diputar pedangnya dengan kekuatan terakhirnya.
Trang!
"Akh!" kembali Pandan Wangi memekik tertahan. Seluruh tangan kanannya tergetar hebat. Dan belum lagi sempat menyadari apa yang terjadi, satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi menghantam dadanya. Lagi-lagi gadis itu memekik keras, dan tubuhnya terjajar ke belakang beberapa batang tombak.
Belum sempat Pandan Wangi menguasai dirinya, Purbaya sudah melompat cepat bagai kilat. Bahkan kini, ujung senjata berbentuk bulan sabit terarah ke depan. Pandan Wangi tidak mungkin lagi menangkis. Tangan kanannya yang memegang Pedang Naga Geni terasa lumpuh ketika mengadu tenaga dalam tadi. Dan begitu ujung senjata Purbaya sudah demikian dekat. Pandan Wangi cepat menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Namun demikian, dia tidak bisa menghindari senjata yang merobek bahunya.
"Akh!" lagi-Iagi Pandan Wangi memekik.
Darah kontan menyembur keluar dari bahu kiri yang sobek cukup lebar. Selagi tubuh gadis itu masih berada di tanah, satu tendangan keras membuat tubuhnya menggelimpang beberapa kali. Pandan Wangi segera melompat bangkit. Dan pada saat itu, Purbaya kembali melompat sambil mengirimkan satu pukulan menggeledek dibarengi satu tendangan keras.
Pandan Wangi benar-benar tidak berdaya lagi. Tubuhnya terpental deras dan menghantam dmding rumah hingga jebol. Secepat kilat Purbaya memburu masuk ke dalam rumah itu seraya mengangkat senjatanya tinggi-tinggi. Pandan Wangi hanya bisa memejamkan mata dengan tubuh menggeletak tak berdaya lagi.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Purbaya keras.
"Aaa...!" Pandan Wangi menjerit keras.
Ujung senjata yang berbentuk bulan sabit itu amblas di dada Pandan Wangi. Darah kembali muncrat begitu Purbaya mencabut senjatanya. Pemuda yang hatinya dibalut dendam itu, mendupak tubuh Pandan Wangi sehingga terpental ke luar rumah itu.
Semua prajurit yang berada di sekitar rumah itu ternganga melihat Pandan Wangi terlempar ke luar dengan tubuh berlumuran darah. Gadis itu terguling beberapa kali, dan diam tidak bergerak gerak lagi. Purbaya melesat keluar. Pandangan matanya tajam mengedar ke sekelilingnya. Dan langsung tertumpu pada Anjani.
"Kau harus mampus, perempuan keparat!" geram Purbaya
Setelah berkata demikian, Purbaya langsung melompat cepat ke arah Anjani. Gadis itu hanya bisa terperangah tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya lemas dan seluruh tulang tulangnya seperti copot berantakan. Dan sebelum tongkat pendek dengan ujung berbentuk bulan sabit dan kepala tengkorak itu menyentuh tubuh Anjani, gadis itu sudah ambruk ke tanah.
"Huh! Belum apa-apa sudah pingsan! Bangsat...!" geram Purbaya gusar.
Kakinya terayun dan mendupak keras tubuh Anjani. Anjani yang memang langsung jatuh pingsan, tidak bisa lagi mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Tubuhnya terguling beberapa kali, dan membentur sebuah pohon dengan keras. Purbaya yang seluruh hatinya terbalut dendam, segera melompat sambil mengangkat senjatanya tinggi-tinggi.
"Hiyaaa...!"
Tapi begitu ujung senjatanya hampir menyentuh tubuh Anjani, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat memapaknya.
"Akh!" Purbaya memekik tertahan.
Seketika itu juga tubuhnya terpental ke belakang beberapa tombak jauhnya. Tapi dengan cepat pemuda itu melenting dan berputar dua kali di udara dan manis
"Pendekar Rajawab Sakti!" kata Purbaya pongah.
Rangga diam saja. Disadari kalau serangan-serangannya tadi terlalu dilandasi hawa amarah. Apalagi melihat tubuh Pandan Wangi yang telah kaku bersimbah darah. Akibatnya serangan yang dilakukannya memang gampang ditebak lawan. Bahkan tadi, belum apa-apa sudah mengeluarkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Suatu kebiasaan yang jarang dilakukan, jika tidak terpaksa sekali. Jelas, ini tandanya emosi Rangga terlalu cepat memuncak. Segera dimasukkan pedangnya itu ke dalam warangkanya. Seketika sinar biru pun lenyap.
Kini Rangga mulai dengan rangkaian Jurus 'Rajawali Sakti'. Sedangkan Purbaya tetap dengan senjatanya. Pertarungan terjadi kembali. Serangan-serangan silih berganti dilakukan. Sampai Rangga mengeluarkan gabungan dari empat jurus 'Rajawali Sakti", musuhnya masih tetap alot. Tapi yang lebih penting, Rangga telah menggunakan pikirannya. Dan ini terbukti. Memasuki jurus yang ke lima puluh, Purbaya mulai kelihatan terdesak. Kesempatan ini dimanfaatkan Rangga untuk menggunakan pedangnya kembali, agar pertarungan cepat berakhir.
Seketika sinar biru kembali memancar dari Pedang Rajawali Sakti. Rangga menerjang sambil mengelebatkan pedangnya ke leher Purbaya kembali. Buru-buru Purbaya melompat mundur sambil menangkis serangan itu.
Trak!
Purbaya terperanjat bukan main. Senjatanya kontan buntung terbabat pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau itu. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan keras bertenaga dalam sempurna, menggedor dadanya. Seketika tubuh Purbaya terpental ke belakang.
Keras sekali tendangan Rangga, sehingga tubuh Purbaya menghantam sebatang pohon hingga hancur berantakan. Pemuda itu mengerang sambil berusaha bangkit. Tapi belum juga sempat berdiri, secercah cahaya btru berkelebat bagai kilat. Tak ada kesempatan lagi bagi Purbaya untuk menghindar. Dan....
"Aaa...!" Purbaya menjerit melengking tinggi.
Pedang Pusaka Rajawali Sakti memenggal buntung leher Purbaya hanya sekali tebas saja. Kepala pemuda itu menggelinding ke tanah, dan tubuhnya ambruk menggelepar-gelepar. Darah segar mengucur deras dari lehernya yang buntung, membasahi tanah.
Rangga memandangi tubuh yang tanpa kepala lagi, kemudian berbalik. Kakinya terayun menghampiri Pandan Wangi yang masih menggeletak tidak bergerak-gerak lagi. Rangga berlutut dan mengangkat tubuh gadis itu. Pada saat dia berdiri, Mayang Telasih datang bersama dua orang anak buahnya. Mayang segera melompat turun dari punggung kudanya. Rangga menatap tajam ke arah Mayang. Tubuh Pandan Wangi ma sih berada dalam pondongannya.
"Kau puas sekarang, Mayang!" dingin suara Rangga.
"Kakang..," suara Mayang tercekat di tenggorokan.
"Seharusnya kau saja yang tewas, bukan Pandan!"
"Kakang, aku...." suara Mayang semakin tersendat.
"Apa lagi yang akan kau katakan? Kau menginginkan kematian Pandan, bukan? Nah! Lihatlah ini, akibat kecerobohanmu! Sungguh keji hatimu, Mayang! Aku muak melihatmu lagi!" keras suara Rangga.
Mayang tidak mampu membendung air matanya.
"Tidak ada gunanya air mata buayamu, perempuan ....!" Rangga tidak meneruskan kata-katanya
"Makilah aku, Kakang. Makilah sepuasmu...!" rintih Mayang di sela isak tangisnya.
"Pergilah, Mayang!"
"Kakang...!"
"Pergi kataku!" bentak Rangga kasar.
Semakin deras air mata Mayang mengucur. Memang belum pernah Rangga berkata sekasar itu sebelumnya. Mayang agak bergetar juga mendengar bentakan kasar itu. Langsung dia jatuh berlutut memeluk kaki Pendekar Rajawali Sakti. Rangga hanya diam saja dengan pandangan lurus ke depan.
"Maafkan aku, Kakang. Aku menyesal! Aku tidak bermaksud membunuh Pandan Wangi. Aku hanya mencintaimu, Kakang. Maafkan aku...," rintih Mayang.
"Dengar, Mayang. Seharusnya kau dihukum gantung! Kau telah membebaskan tawananku, membantu pelariannya. Kemudian kau mencoba memisahkan aku dari Pandan Wangi. Kau benar-benar iblis, Mayang! Pergilah sebelum keputusanku berubah!" dingin nada suara Rangga.
"Aku..., aku tidak bermaksud begitu, Kakang. Aku mencintaimu. Aku tidak mau ada gadis lain di sampingmu. Bukan aku yang membebaskan Purbaya, Kakang. Sungguh...! Aku tidak tahu...," rintih Mayang memelas.
Rangga menghentakkan kakinya sehingga pelukan Mayang terlepas Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah mundur dua tindak. Pandangannya tajam menusuk langsung ke bola mata Mayang yang bersimbah air mata.
Pada saat itu terdengar derap langkah kaki kuda mendekati. Kemudian muncul Danupaksi, Cempaka, Ki Lintuk, dan beberapa punggawa Karang Setra. Mereka juga masih dikawal sekitar lima puluh orang prajurit. Danupaksi, Cempaka, dan Ki Lintuk terkejut begitu melihat Pandan Wangi berada dalam pondongan Rangga dengan tubuh berlumuran darah. Sedangkan di depan Pendekar Rajawali Sakti itu Mayang berlutut dengan air mata berlinangan.
"Kanda...," Danupaksi segera menghampiri setelah melompat turun dari kudanya. Cempaka juga bergegas menghampiri.
"Kanda, apa yang terjadi?" tanya Cempaka. "Tanya saja pada pengkhianat busuk itu!" dengus Rangga sambil menatap tajam pada Mayang.
Cempaka dan Danupaksi menatap Mayang. Sedangkan yang ditatap hanya menunduk saja, dan tetap berlutut sambil menangis sesenggukan. Cempaka menghampiri gadis itu, dan membangunkannya.
"Ada apa, Kak Mayang?" tanya Cempaka lembut.
"Aku tidak berkhianat! Aku tidak membantu Purbaya melarikan diri. Sungguh....! Aku memang ingin mencelakakan Pandan, tapi tidak bermaksud membunuhnya...." suara Mayang tersendat-sendat.
"Kanda, kenapa menuduh Mayang berkhianat?" Danupaksi meminta penjelasan.
"Kau lihat itu! Purbaya memegang senjatanya, dan telah membunuh Pandan! Semua ini gara-gara perempuan keparat itu!" geram Rangga tidak bisa menahan emosinya lagi.
"Kak Mayang! Benar kau lakukan semua itu?"
"Tidak...!" rintih Mayang setengah menjerit.
"Kau urus dia! Aku muak melihatnya!"
Setelah berkata demikian, Rangga langsung melesat cepat bagaikan kilat. Dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
"Kakang..!" jerit Mayang histeris.
Danupaksi dan Cempaka saling berpandangan. Sementara Ki Lintuk turun dan punggung kudanya, kemudian melangkah menghampiri Mayang. Gadis itu sudah kembali jatuh berlutut dan menangis sambil merintih mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Ki Lintuk membangunkan gadis itu dan mengajaknya pergi.
"Aku tidak bersalah..., aku tidak berkhianat! Sungguh, Eyang! Aku tidak membantu Purbaya melarikan diri...," rintih Mayang di sela isak tangisnya.
"Aku percaya padamu, Mayang. Tenanglah! Aku dan semuanya akan menyelesaikannya dengan baik dan adil," kata Ki Lintuk lembut.
Ki Lintuk membantu Mayang naik ke punggung kudanya. Kemudian dia sendiri segera melompat naik ke kudanya, lalu memandang pada Danupaksi yang menganggukkan kepalanya sedikit. Ki Lintuk menjalankan kudanya sambil menuntun kuda yang membawa Mayang. Lima puluh prajurit yang datang bersamanya, segera mengikuti. Sementara Cempaka memeriksa Anjani yang masih tergolek pingsan
"Bagaimana?" tanya Danupaksi pada Cempaka.
"Hanya pingsan," sahut Cempaka.
Danupaksi mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sebentar Cempaka memberi beberapa perintah kepada para prajurit yang masih tersisa, kemudian bergegas masuk ke dalam rumah. Para prajurit yang tersisa sekitar enam orang itu segera mengurus mayat teman-temannya, dan mayat Purbaya.

18. Pendekar Rajawali Sakti : Darah PendekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang