BAGIAN 7

995 37 0
                                    

"Mayang...!" desis Pandan Wangi setengah tidak percaya dengan penglihatannya.
"Kau terkejut, Pandan?" sinis nada suara Mayang.
"Sulit dipercaya ternyata kau berkhianat pada Kakang Rangga." kata Pandan Wangi.
"Jangan ngomong sembarangan, Pandan!" geram Mayang.
Pandan melirik ke kiri ketika telinganya yang setajam elang, mendengar suara mendesir. Gadis itu tersentak kaget ketika tiba-tiba sebatang anak panah melesat ke arahnya. Dengan cepat, ditarik tubuhnya ke belakang, lalu tangannya terangkat naik.
Tap!
Anak panah berwarna merah itu berhasil dengan mudah ditangkap, lalu disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi, Pandan melemparkan kembali panah itu ke arah datangnya tadi. Lemparannya sangat cepat melebihi kecepatan saat datang tadi. Sesosok tubuh berbaju hitam melesat ke luar begitu panah merah itu menembus semak belukar.
"Sudah kuduga, kau berdiri di belakang semua ini, Mayang!" desis Pandan Wangi dingin suaranya.
Orang berbaju hitam itulah yang semalam menyerang dan membunuh hampir sebagian prajurit yang ditugaskan mengawal rumah Anjani. Dan Pandan memang sudah menduga kalau mereka adalah tiga orang anak buah Mayang yang diperintah untuk membunuhnya. Pandan Wangi menggerak-gerakkan kipasnya di depan dada. Matanya tajam tidak berkedip memandang pada Mayang Telasih.
"Sayang sekali, orang-orangmu terlalu bodoh untuk menghadapiku." lanjut Pandan Wangi semakin dingin suara nya.
"Huh!" Mayang mendengus kesal.
"Aku menduga, larinya Purbaya juga karena bantuanmu," kata Pandan lagi. "Tidak mungkin bajingan itu lolos jika tidak ada orang dalam yang berkhianat"
"Tutup mulutmu, keparat!" bentak Mayang gusar.
"Sayang sekali, rencanamu kurang rapi. Dan kau tidak mungkin sembunyi dari mataku, Mayang. Sangat mudah untuk mencium keterlibatanmu pada pelarian Purbaya." kata Pandan tidak menggubris bentakan Mayang.
"Keparat...! Kubunuh kau!" Mayang semakin geram.
Plok, plok, plok!
Mayang menepuk tangannya tiga kali. Seketika itu dari balik semak dan pepohonan, berlompatan beberapa orang mengenakan seragam prajurit Kerajaan Karang Setra. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang, dan sudah meloloskan senjatanya masing-masing. Pandan Wangi agak terperanjat juga, menyadari dirinya sudah terkepung.
"Impianmu sudah berakhir, Pandan. Kau lihat, siapa di antara kita yang lebih berkuasa di Karang Setra!" kata Mayang pongah.
"Pengecut...!" desis Pandan Wangi menggeram.
Pandan Wangi bukannya gentar menghadapi tiga puluh orang prajurit, tapi merasa tidak tega jika harus bertarung dengan para prajurit yang tidak memahami urusannya. Lebih-lebih mereka prajurit Karang Setra. Tidak mungkin membunuh mereka, meskipun yakin kemampuannya berada jauh di atas mereka semua.
Saat ini Pandan Wangi benar-benar gusar dengan tindakan Mayang. Memanfaatkan pengaruh dan kekuasan untuk kepentingan pribadi. Urusan mereka adalah urusan pribadi, yang tidak sepatutnya melibatkan para prajurit. Pandan Wangi benar-benar muak melihat tingkah Mayang Telasih. Tidak berani menghadapi sendiri kemudian menggunakan pengaruh dan kekuasaannya.
"Bersiaplah untuk mati, Pandan!" seru Mayang keras. "Serang...!"
"Tunggu...!" bentak Pandan menggelegar.
Para prajurit yang akan melompat menyerang, segera mengurungkan niatnya. Mereka seperti ragu-ragu untuk menyerang. Masalahnya, yang dihadapi adalan Pandan Wangi! Wanita ini seorang tokoh rimba persilatan yang sangat tangguh, dan menjadi pendamping raja mereka setiap melaksanakan tugasnya. Baik tugas dalam pemerintahan maupun tugas pengembaraan sebagai pendekar.
"Tunggu apa lagi...?! Bunuh perempuan keparat itu!" bentak Mayang gusar melihat para prajuritnya ragu-ragu.
"Mayang! Kalau kau ingin kematianku, majulah! Jangan libatkan mereka yang tidak tahu apa-apa," seru Pandan Wangi keras.
"Kau memang harus mampus, perempuan keparat!" geram Mayang.
Setelah berkata demikian, Mayang langsung melompat menerjang sambil berteriak nyaring. Pandan Wangi menggeser kakinya sedikit ke samping, dan tangannya cepat mengibas seraya membuka kipas baja putihnya.
Wut!
"Uts!"
Mayang Telasih memutar tubuhnya ke belakang, lalu segera mencabut pedangnya. Begitu kakinya menjejak tanah, pedangnya meluruk deras ke arah perut. Kembali Pandan menarik tubuhnya ke samping sambil mengebutkan kipasnya. Rupanya Mayang enggan membenturkan pedangnya pada kipas baja putih itu. Buru-buru ditarik kembali senjatanya dan dengan cepat diputarnya ke atas.
"Hap!"
Pandan Wangi tidak bergeser sedikit pun. Bahkan kini dia mengangkat tangan kirinya. Ujung pedang Mayang begitu deras terarah ke dada. Tapi, tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi menjepit ujung pedang itu dengan kedua jari tangan kirinya.
"Uh!" Mayang berusaha menarik kembali pedangnya, tapi jepitan jari tangan Pandan Wangi begitu kuat.
Mayang kembali membetot pedangnya seraya mengerahkan tenaga dalam. Namun pada saat yang sama, Pandan mendorong tangannya sambil melepaskan jepitannya. Tidak pelak lagi, tubuh Mayang tersentak ke belakang, dan meluncur beberapa langkah. Dan sebelum Mayang sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, Pandan Wangi telah melompat seraya mengirimkan satu tendangan keras.
"Akh!" Mayang memekik tertahan.
Tendangan Pandan Wangi tidak bisa dielakkan lagi, dan tepat menghantam dadanya. Kembali Mayang terpental ke belakang. Sehingga punggungnya menghantam keras sebatang pohon. Maka pohon yang cukup besar itu pun tumbang Mayang bergegas melompat bangun. Digerak-gerakkan pedangnya dengan cepat di depan dada. Wajahnya merah padam, dan bibirnya mengeluarkan suara mendesis.
"Hiya...!" Mayang berteriak keras sambil melompat.
"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.

18. Pendekar Rajawali Sakti : Darah PendekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang