BAGIAN 3

1.2K 42 3
                                    

Tepat pada saat matahari hampir tenggelam di ufuk Barat. Rangga dan Pandan Wangi meninggalkan Puncak Bukit Batu. Mereka masih mendapatkan kuda-kudanya tetap berada di tempat semula ketika ditinggalkan. Dengan menunggang kuda, mereka menuruni lereng bukit yang berbatu itu. Sampai tiba di kaki bukit, baru mereka dapat memacu kuda dengan cepat.
Sementara Pandan Wangi yang memacu kuda di samping Pendekar Rajawali Sakti itu, tidak lepas memandangi wajah tampan, namun terlihat murung. Pandan Wangi bisa merasakan kemurungan Rangga yang disebabkan kematian paman tirinya itu. Meskipun Panglima Parakan berusaha memberontak tapi Rangga tetap menganggapnya paman. Itulah sebabnya di putuskan untuk mengejar sendiri tanpa membawa seorang prajurit pun.
Rangga ingin agar Panglima Parakan dapat disadarkan setelah dia menemuinya. Tapi kenyataan yang dihadapinya sungguh lain, dan tidak bisa ditolak Paman tirinya itu tewas di tangannya, akibat kenekadannya sendiri. Memang berat cobaan yang harus dihadapi Rangga. Sejak kembali ke tanah kelahirannya, adik tirinya tewas, dan ibu tirinya bunuh diri. Belum lagi saudara-saudaranya yang tidak mempercayainya sebagai putra tunggal Adipati Arya Permadi. Mereka lebih suka menyingkir meninggalkan Karang Setra. Bahkan ada yang mengikuti jejak ibu tiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Hal itu memang bisa saja terjadi, karena lebih dari dua puluh lima tahun Rangga menghilang. Dan mereka semua menganggapnya sudah tewas di Lembah Bangkai.
"Kakang...," Pandan Wangi mencoba bicara, memecah keheningan.
"Hm...," Rangga hanya bergumam tanpa menoleh.
"Sebaiknya kita istirahat dulu." usul Pandan Wangi
Rangga tidak menyahut, tapi menghentikan juga lari kudanya. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti itu turun dari punggung kudanya. Pandan Wangi mengikuti dan mendekatinya. Mereka berdiri berdampingan dengan tatapan mata lurus memandang Puncak Bukit Batu.
"Kau menyesali kematian Panglima Parakan, Kakang?" tegur Pandan Wangi.
"Entahlah," desah Rangga pelan.
"Dia sudah memilih cara kematiannya sendiri, Kakang Tidak perlu disesali lagi." kata Pandan Wangi mencoba menghibur.
"Belum setahun aku berada di Karang Setra, tapi tanganku ini sudah mengambil nyawa banyak orang. Sedihnya mereka adalah saudara-saudaraku sendiri. Terus terang, Pandan. Aku menyesal kembali ke Karang Setra. Kalau saja aku tetap mengembara, tentu mereka semua masih hidup damai dan tenteram," pelan suara Rangga.
"Semua yang terjadi sudah menjadi suratan takdir Tuhan, Kakang. Kita tidak bisa menolaknya, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga. Rasanya tidak patut menyesali semua yang sudah terjadi, meskipun di dalam hati tidak dikehendaki," Pandan Wangi tetap mencoba menghibur.
"Ya..., takdir tetap takdir. Tidak ada seorang pun yang bisa melawan kehendak-Nya. Tapi...," Rangga tidak melanjutkan.
"Tapi apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Ah, tidak..." desah Rangga berat.
"Katakanlah, Kakang. Mungkin dengan begitu bisa mengurangi beban yang ada pada dirimu," desak Pandan bijaksana.
"Pandan, kita sudah bersama-sama sejak lama. Aku percaya kau sangat mencintaiku, dan aku pun demikian. Tapi tolong, jangan desak aku untuk yang satu ini," kata Rangga.
"Justru karena aku mencintaimu, maka aku ingin tahu dan bisa membantumu, Kakang," desak Pandan lagi.
Rangga memutar tubuhnya, dan langsung menghadap pada Pandan Wangi. Sejenak ditatapnya lurus bola mata gadis itu. Tangannya terangkat dan menjepit dagu Pandan Wangi. Pelahan-lahan, Rangga mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Bibir Pandan Wangi sedikit terbuka dengan mata tidak berkedip. Semakin dekat wajah mereka, dengus napas semakin terasa hangat menerpa kulit.
Menggeletar seluruh tubuh Pandan Wangi ketika bibir Rangga menyentuh lembut ke bibirnya. Saat itu juga Pandan Wangi merasakan aliran darahnya seperti terbalik. Dia tidak menolak saat tangan Rangga melingkar di pinggangnya, dan merengkuhnya ke dalam pelukan. Dengan tangan gemetaran, gadis itu melingkarkan tangannya ke leher Rangga. Bibir mereka semakin rapat menyatu.
"Ah...," Pandan Wangi mendesah saat Rangga melepaskan bibirnya.
Entah perasaan apa yang menyeruak ke dalam dirinya. Gadis itu langsung merebahkan kepalanya di dada yang bidang terbuka. Kalau saja Rangga bisa melihat, pasti akan terkejut karena wajah Pandan Wangi menyemburat merah dengan bibir bergetar. Gadis itu selalu merasa malu bila Rangga menciumnya. Padahal bukan sekali ini mereka melakukannya.
Rangga kembali menggamit dagu gadis itu, dan mengangkatnya ke atas. Agak terkejut juga dia melihat wajah Pandan Wangi merah menahan malu, dan bibirnya bergetar agak terbuka. Pandan Wangi ingin menunduk, tapi Rangga menahannya. Terpaksa gadis itu menatap wajah tampan di depannya.
"Kenapa, Pandan?" tanya Rangga lembut.
"Ah, tid..., tidak," sahut Pandan agak tergagap.
"Kau selalu begitu bila...."
Buru-buru Pandan Wangi menutup bibir Rangga dengan jarinya. Dia tidak ingin rasanya mendengar kata-kata yang membuat perasaannya semakin tidak menentu. Pandan sendiri selalu mengutuki dirinya yang tidak bisa menahan gejolak dan perasaan malunya bila dicium. Mungkin itu merupakan pengalaman yang tidak akan pernah terulang pada laki-laki lain. Baru Rangga seorang yang berhasil menjamah bibirnya. Pandan tidak pernah bisa menutupi kekurangannya ini!
"Ehm ehm...!"
Rangga dan Pandan terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara orang mendehem dua kali. Mereka langsung menoleh. Buru-buru Pandan melepaskan dirinya dari pelukan Rangga, sedangkan wajahnya langsung menyemburat merah. Rangga sendiri hanya terbengong dengan mulut menganga agak lebar, hampir dia tidak percaya dengan penglihatannya.

18. Pendekar Rajawali Sakti : Darah PendekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang