Sundae Kala

16 4 2
                                    

Cerita ini akan sedikit panjang, kuharap kau mau membacanya sampai akhir, seperti senyummu yang slalu kau ukir untukku jika kita bertemu.

Disuatu senja itu, saat sabtu mulai menyambut minggu. Tanpa kusadari kaki ini terus berjalan menyusuri bibir pantai meresapi sang bayu.
Kulipat tanganku dibelakang, kaki telanjangku menapaki batas pasir dan air, ombak sedang tenang sehingga kepak airnya yang datang hanya sampai dibawah mata kakiku.

Aku sedang melangkah perlahan mengikuti tarian burung elang diangkasa saat aku lihat dia disana, duduk terdiam diatas batu dibawah pohon, matanya nanar kearah lautan. Tangannya sibuk memetik-metik ranting kering. Aku berhenti, kuamati dia dari jauh. Sesekali ia menoleh ke arah selatan, menatap selama beberapa detik, lalu pandangannya beralih lagi ke lautan yg biru.
Aku terkekeh kecil saat kutahu bahwa dia mengamati pemuda diujung sana itu, yang sibuk dengan gagang pancingnya, angin yang berhembus kencang menyibakkan rambut hitamnya. Menawan. Meski samar yang kulihat, aku tahu ia berkharisma.

Lagi wanita diatas batu itu menatapnya, ada sebersit senyum dibibirnya, lama ia menatap hingga pemuda itu seolah menyadarinya lalu menoleh kearah si wanita, sontak saja wanita itu kaget lalu buru-buru melihat kesembarang arah, gerakannya canggung.
Aku tersenyum, aku tahu rasa itu. Mengingatkanku saat pertama kali aku bertemu denganmu.

Tapi si pemuda itu sepertinya tidak peduli, ia hanya mengambil umpan di dalam kotak hitam yang ia bawa lalu memasangnya di kail dan melemparkan benang pancing jauh ke lautan.

Raut wajah si wanita meratap, aku tahu hatinya penuh harap.

Matahari kian turun, langit telah mempersiapkan singgasananya.
Air laut berubah kecoklatan dengan binar warna emas dipermukaannya,
Kicau burung bersahutan, cakrawala nampak keabu-abuan.

Sang wanita berjalan ke bibir pantai, hanya beberapa langkah dari tempatku berdiri. Dia berjongkok lalu menata satu demi satu bebatuan yang ada di depannya. Tangannya lihai, bebatuan tak beraturan itu dijadikannya menara batu yg tinggi, terlihat kokoh walau mungkin saja akan roboh dalam satu sentikan jari. Senyum manis terulas di bibirnya, ada kebahagiaan.

Ia berdiri, menatap lagi ke selatan, sedetik kemudian senyumnya hilang, pemuda itu tak nampak lagi batang hidungnya. Ya, ada kecewa dihatinya.

Tanpa ragu wanita itu duduk diatas pasir yang sedikit basah. Ia mengambil telepon genggamnya, memotret menara batu itu dari satu dua sisi, ia tak mempedulikan dirinya yang berlumur pasir.
Seperti yang biasa aku lakukan, aku tak peduli dengan diriku saat aku terobsesi sekali pada momen-momen tertentu yang sangat layak untuk diabadikan.

Aku menggeser kakiku dua langkah ke kanan.

Semesta telah menyerukan senja untuk mengikuti sang surya menuju arsa.

Nan jauh diujung pantai diutara, nampak seorang berjalan kearahku. Semburat cahaya sang matahari menyilaukanku hingga aku tak bisa melihat siapa yang dia,

"Boleh minta tolong untuk mengambilkan fotoku?" Ucapnya padaku. Tangannya menenteng alat pancing dan box hitam, juga satu ekor ikan sepanjang setengah meter ditangan yang lain.

Benar. Dia adalah pemuda yang tadi berada di sisi selatan.

Aku mengiyakan permintaannya. Mengambil smartphone nya lalu mundur beberapa langkah untuk mulai memotret. Dia mengangkat ikan hasil tangkapannya, tersenyum lebar kearah kamera.

Senja dan matahari berada ditempat apik. Tak sabar aku membingkainya.

Aku mundur lagi selangkah. Tapi tiba-tiba suara gemeretak bebatuan yang jatuh mengalihkan perhatianku. Aku menoleh.
Wanita dan bebatuannya menatap kearahku. Juga pemuda itu memandang ke arah kami.

Cerita SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang