Prologue 03

45 7 0
                                    

Dia adalah adik perempuanku namanya Aruna Kerta dia masih 16 tahun. Rambut hitam panjang yang dikuncir, mata hijau emerald yang sama denganku, dan tinggi 165 cm.

Ketika ke sekolah penampilannya begitu feminim layaknya remaja wanita pada umumnya. Tetapi ketika dirumah dia hanya memakai pakaian kaos kasual dan celana training.

Duduk di kelas 1 SMA, dia adalah saudari yang menarik, alasannya karena dia sama sekali tidak pernah memangggilku kakak.

Aagh... aku masih membayangkannya untuk memanggilku kakak, tapi bukan berarti aku memikirkan hubungan terlarang dengan aruna, tidak sama sekali. Ya alasannya sendiri dia tidak ingin memanggilku kakak karena aku belum memenuhi kriteria seorang kakak laki-laki katanya.

Setelah selesai melakukan kegiatan tadi, aku memberitahu ibu untuk mandi dulu sebelum makan.

"ibu aku mandi dulu aku masih berkeringat"

"iya mandinya cepat nanti sarapannya keburu dingin."

Balas ibuku. Heeeh.. belum juga masuk kamar mandi....

Setelah mandi aku sarapan bersama ibu dan aruna. Saat di meja makan kami kadang sedikit mengobrol agar keharmonisan keluarga kami tetap terjaga. Ibu biasanya menanyakan tentang keadaan kami selama mereka sedang sibuk bekerja mulai dari kehidupan sehari-hari, kebutuhan, hingga tentang teman-teman kami, dan kami pun tidak sungkan menceritakan semuanya pada ibu, dan sesekali kami menanyakan tentang keadaan ibu ketika sedang bekerja di luar daerah begitupun ketika bertemu dengan ayah kami.

"jadi, selain kuliah kamu masih menjalani hobi membaca manga keenan?"

aku menjawabnya dengan menganggukkan kepala sambil makan tentunya.

Ibu bertanya dengan penuh rasa penasaran padaku yah... menurutku dia mencoba untuk mengerti dengan kegemaranku itu. Tapi adikku...

"cih... masih seperti anak-anak saja!!"

adikku terus mengatakan itu ketika membahas tentang hobiku.

" oh... apa kamu masih mengangggap kakakmu ini sebagai anak-anak yang imut?"

tapi aku tau di balik tingkahnya yang sedikit dingin itu dia sebenarnya sangat peduli padaku.

"terserahlah... tapi kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kamu belum mempunyai kriteria itu"

kriteria seorang kakak, aku sama sekali belum mengerti tentang kemauannnya itu. Walaupun sudah di ucapkan beberapa kali.

"aku yakin itu hanya alasan yang kamu buat-buat karena kamu ma-lu padaku kan?"

dengan nada yang menggoda aku mengatakannya pada aruna.

"m-mana mungkin, dasar bodoh... keenan bodoh"

sangat terlihat jelas sifat malu-malu kucingnya. Ya dia memang adikku yang terbaik.

"hei... sudah-sudah lanjutkan sarapannya cepat, nanti aruna terlambat..."

ibu mengatakannya seakan-akan ingin tertawa melihat tingkah imut aruna.

Usai sarapan aku berangkat sekitar 2 jam setelahnya. Sebelum aku ke kampus aku sempatkan mampir di toko buku untuk membeli contoh buku yang bisa aku jadikan bahan referensi. Tapi sebenarnya tujuan utamaku kemari untuk bertemu dan berbincang langsung dengan rekan proyekku.

Dan ternyata dia sudah dari tadi menunggu di pintu toko.

"oh hai ray...!! apa sudah lama menunggu?"

aku merasa merepotkanya dan memang selama ini aku sudah sering membuatnya kerepotan.

"ah aku juga baru sampai, tidak perlu merasa bersalah seperti itu keenan..."

namun untungnya dia orang yang baik hati dan tidak pernah merasa direpotkan. Setelah itu kami bergegas masuk ke toko dan mencari buku bersama.

Namanya adalah Ray Dirga dia satu kampus denganku. Usianya pun sepantaran denganku, rambut hitam kebiru-biruan, model pendek belah samping, dengan tinggi 182 cm. Dia dari jurusan informatika, teman sekaligus rekan proyekku, orangnya baik dan kepribadiannya tenang dan selalu teliti terhadap hal-hal yang penting. Seperti yang ku bilang, aku sering merepotkannya.

"heh... kau membeli banyak buku yah... apakah semua itu untuk bahan referensi tugas?"

"hehehe... tidak juga, aku membeli buku ini untuk bahan pengembangan proyek kita, sebelumnya aku sudah bilang bahwa aku sangat tertarik dengan teori yang kamu paparkan diseminar ilmu teknologi dan sains kemarin padahal aku cukup terkejut padamu yang dari jurusan sastra"

ray mengatakannya seolah kagum terhadapku.

Kami pun berangkat ke kampus. Saat pulang kami berbincang sebentar tentang schedule praktek proyek kami, karena menurutku kalau aku tidak segera mencoba, aku takut proyek ini akan tertahan pada rumusan teori saja dan tanpa melakukan percobaan maupun eksperimen. Untungnya ray selalu mendukungku dalam mengambil keputusan.

"keenan, masalah schedule tahap percoban. Kita akan melaksanakannya besok dan aku sudah menghubungi norman untuk membawa komputer rakitannya, rad-33. Jadi kita sepakat kan? Tempatnya di markasmu"

ray terdengar sangat ambisius dan semangat, sampai-sampai perasaan itu menular padaku.

"oke" jawabku.

Oh iya satu lagi rekanku yang bernama Norman Augusta, rambut putih dengan poni acak-acakan, selalu memakai jaket yang dilengkapi hoodie. Dia dari kampus yang sama denganku dan secara kebetulan satu jurusan dengan ray. Orangnya pendiam dan memiliki ekspresi datar setiap saatnya dan juga nada bicara yang datar seolah-olah kehampaan telah merasuki dirinya. Dia sangat pandai dalam mengoperasikan komputer. Bahkan dia telah merakit komputer yang dari versi originalnya menuju versi upgrade yang luar biasa, dia menamakannya rad-33, memiliki keunggulan dalam pemanfaatan energi kuantum. Pokoknya aku beruntung dia mau bergabung dengan proyek ini.

Hari esok telah tiba. Hari di mana rencana untuk melakukan percobaan pertama kami sebentar lagi dimulai.

Bersambung.

Vreme: Break The Seconds Vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang