Awal Mula

37 1 1
                                    

Mimpiku buruk.
Terjatuh dari ketinggian bukan sesuatu yang indah, bahkan untuk sekelas mimpi di siang bolong. Sambil kesal, aku meraih jurnal di samping bantal dan membuka halaman terakhir yang kutulis semalam.

Selasa, 24 Januari 2018
Pukul. 13.30PM
Tulisku.

Aku diam sejenak dan mengingat-ingat detail mimpi yang kualami barusan.

Aku terjatuh dari tebing yang amat tinggi, seketika terbangun saat dinginnya ombak di  tepi laut akan menyambut punggungku.

Tanganku berhenti menulis.

Aku termenung sejenak, memejamkan mata dan memaksa kepalaku untuk mengingat lebih dalam. Selain aroma laut dan tekstur kerikil basah, tak ada lagi yang bisa kuingat dengan jelas. Aku menutup jurnal dan melemparnya ke lantai. Berdiri dengan gontai dan menyeret kedua kakiku untuk pergi kekamar mandi dan membersihkan diri. Semburat senja telah masuk melalui jendela kamarku, matahari mulai bersembunyi dari balik pepohonan pinus di kaki bukit menyisakan bayang-bayang pucat yang melambai di setiap sisi ruangan.

Dan aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari hidungku. Aku menyeka hidungku dengan punggung tangan dan meraih tissue di atas wastafel.

Darah.

Aku mimisan. Begitulah aku menyimpulkannya. Aku menyeka hidungku dan mendongakkan kepalaku menatap langit-langit plafon agar pendarahan dihidungku berhenti. Tidak lagi, kumohon. Setiap kali aku tidur dan bermimpi selalu saja seperti ini. Normal kah ini?

Oh tuhan.
Rasanya sepi sekali. Aku meraba sisi tempat tidur dimana Riley biasa berbaring, dan yang kudapatkan hanyalah rasa dingin. Sudah seminggu Riley dan aku terpisah karena keadaan. Riley terbang ke Cedonna untuk mengurus beberapa keperluan bersama ibunya, dan aku tinggal sendiri di Pruvia karena pekerjaanku. Aku menunduk sedih sambil memasang kancing kemeja biru tua pasangan yang kami beli di salah satu butik kecil, seminggu setelah kami sampai di Pruvia. Setelah meminjam sana-sini, Akhirnya aku bisa membuka klinik sendiri tanpa harus melibatkan orang tua ku ataupun orang tua Riley. Aku diam sejenak, mempertanyakan kenapa bisa se-mellow ini padahal dari awal aku harusnya sudah siap menerima semua keadaan  sebelum menikah dengan Riley.

Riley seorang pengusaha, bisnisnya tergabung dalam perusahaan keluarga besar orang tuanya yang sudah malang melintang di industri nasional selama kurang lebih 25 tahun. Dari dua bersaudara, ia anak pertama dan menjadi 'favorit' ayah dan ibunya dalam mengurusi perusahaan yang tak pernah ada habisnya. Sementara Albany si bungsu, seorang yang bebas dan tak mau terlalu terikat dengan perusahaan. Albany memberontak semenjak pernikahannya dengan Georgina kandas, karena ia tak punya pilihan antara bertahan di bisnis keluarga atau tetap bersama Georgina yang menginginkan Albany dan sedikit waktu luangnya. Namun bagaikan rahasia umum, pernikahan kandas bukan karena hal sepele seperti itu. Nyonya Maria, ibu Riley dan Albany, mertuaku, tidak menyukai Georgina. Ia melakukan segala cara untuk membuat apa saja yang menghalangi kekuasaan nya terhadap kedua putranya menjauh, atau sirna.

"Dok?"
Sahut Lily tepat didepanku.
"Maaf, apa?" Aku duduk tegak dari posisiku yang sebelumnya menyandarkan tubuhku dari atas permukaan meja.
"Pasien berikutnya dok"
Lily memberi isyarat rekam medis pasien yang sudah kuterima di komputerku.
" ah, maaf. Maaf lily, aku agak mengantuk. Ya, silakan panggil pasien berikutnya"
Lily menggeleng sambil berjalan ke pintu. Raut wajahnya iba saat mendengar alasan 'mengantuk' yang keluar dari mulutku.

Pasien terakhirku memiliki pembesaran pada gusi yang harus diangkat. Satu minggu lagi ia akan melamar kekasihnya dan ia ingin penampilan baru disaat melangkah ke jenjang hidup berikutnya. Aku tak tahan untuk terus menahan kuap yang teramat sangat diakhir perawatan, untunglah Lily selalu sigap membaca bahasa tubuhku dan mengalihkan perhatian pasien untuk segera mengurus administrasi ke kasir depan.

Penjelajah MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang