Part 10 (Bijaksana)

341 12 3
                                    


Di pondok putri, di dalam kamar A13, Zahra merasa tidak enak hati dengan Nurul, tak ubahnya Nurul juga merasa tidak enak hati dengan Zahra.

Bagaimanapun, permasalahan harus dimusyawarahkan. Nurul baru selesai bercerita perihal surat kang Hanif. Maksud dan tujuan surat juga diceritakan.

"Begitulah, ceritanya, Ra. Di dalam suratnya, Kang Hanif juga cerita ketika dia menjengukmu di RS beberapa waktu lalu itu. Apakah kamu mengatakan sesuatu waktu itu?"

Zahra tertunduk ketika ditanya tentang itu. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana, memulai kata-katanya dengan apa? Zahra diam, hatinya bergemuruh, ini berkaitan dengan perasaannya, dengan cintanya. Sekian lama Zahra tetap tidak bisa berkata, butir-butir bening pun merayap keluar dari kedua matanya yang sendu.

"Ya Allah, maafkan aku, Ra, aku tidak bermaksud membuatmu menangis" Nurul segera memeluk Zahra, mengusap-usap pundaknya, memberi kekuatan kepada Zahra yang semakin tergugu.

"Ra, kita ini sudah seperti saudara, tangismu adalah tangisku, sedihmu adalah sedihku, aku tidak mungkin berbahagia dengan melihatmu menderita" Nurul kembali bicara, dia pun ikut menangis. Sementara Zahra belum berbicara sepatah katapun.

Pelukan Nurul semakin erat, dia tidak memperdulikan bajunya yang basah oleh air mata, ketenangan Zahra jauh lebih penting dari sekedar baju yang basah oleh air mata.

"Aku sangat tahu kau mencintai Kang Hanif, bukan kau, tapi kita. Kita sama-sama mencintai kang Hanif. Tidak mungkin aku memakan perasaan saudaraku sendiri. Aku lebih rela sakit dengan melihatmu bahagia, dari pada kau yang merasa sakit, percayalah, Ra!"

Sambil mengusap air matanya, Nurul tetap mencoba menenangkan Zahra. Tangis Zahra mulai reda, kemudian dia melepaskan pelukan Nurul.

Keduanya berpandangan, kemudian sambil terisak Zahra mulai menceritakan apa yang dia ceritakan pada Kang Hanif ketika di RS. Dia juga bercerita bagaimana suatu sore dengan tidak sengaja pada awalnya, dia membuka-buka diary Nurul, hingga dia membaca puisi Nurul. Juga tentang salam Kang Hanif yang di dapur. Lalu suatu malam dia tidak tidur di mushola dan paginya pingsan hingga harus dibawa ke RS.

Hati Nurul benar-benar pedih, Nurul meminta maaf berkali-kali. ternyata selama ini Zahra begitu menderita karenanya. Diapun menceritakan isi surat Kang Hanif secara detail. Menceritakan perasaannya ketika Zahra mengungkapkan bahwa semakin semangat ketika diajar Kang Hanif.

"Tapi, Ra, meskipun keadaan kita seperti ini, jangan sekali-kali kita menjadi musuh. Kita tetap saudara. Kita harus sama-sama sadar memang perasaan kita bukanlah sebuah sepeda gayung yang kita akan mudah menyetirnya seenak hati, jadi sebaiknya kita bertawakkal. Kita harus yakin bahwa nama suami kita sudah tertulis di lauh mahfud, jadi kita tidak perlu menuruti kesakitan perasaan kita."

Zahra mengangguk, Zahra merasa beruntung sekali punya sahabat sebijak Nurul. Keduanya lalu mencoba tersenyum, kemudian menceritakan kehidupan masing-masing, menceritakan masa kecilnya masing-masing. Mereka sepakat lebih enak jadi anak kecil, belum tahu cinta, belum tahu rumitnya perasaan, belum tahu sulitnya tantangan kehidupan, anak kecil selalu ceria.

"Ah, tapi kalau jadi anak kecil terus ya nggak nikah-nikah dong." Zahra memberikan celotehan yang membuat mereka tertawa lagi.

Akhirnya mereka mengantuk. Dalam hati, Nurul berdo'a semoga Kang Hanif akan menjadi jodoh Zahra. Nurul merasa tak perlu takut sakit hati, karena jika yang mengatur semuanya adalah Allah, maka sakit hati itu juga pasti sudah diatur oleh Allah. dan untuk orang-orang yang bertaqwa, Allah senantiasa menurunkan rahmat.

"Rul..., kita belum berwudhu lo." tiba-tiba Zahra membangunkan Nurul yang hampir tertidur.

"Oh, iya, Ra." dengan agak malas akhirnya Nurul bangkit juga untuk berwudhu.

Ketika Senja Berkata Cinta (TERLARIS di Google Playbook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang