Prolog
Aku duduk gelisah memandang hujan keluar jendela kamar, sebuah posisi strategis untuk mengamati sisi luar rumah yang langsung menghadap ke luar taman dan garasi. Tempat yang biasa dilalui orang-orang rumah untuk masuk dan keluar. Sebuah tempat favoritku untuk melihat kedatangan seorang lelaki jangkung memasuki rumah yang langsung kusambut dengan bersembunyi dibalik selimut tebal seakan memperlihatkan jika aku sudah tidur beberapa jam yang lalu. Padahal sepanjang sore meunuju malam aku gelisah setengah mati, kenapa dia telat pulang kerumah? Mungkinkah dia berkunjung kerumah ibu? Atau ada acara makan malam bersama rekan kantornya? Atau yang lebih gila jika aku berpikir dia bertemu seseorang yang mungkin masih ada dihatinya?
Tapi nyatanya malam ini jam sudah menunjukan pukul 23:24 dan dia masih belum pulang. Ini adalah rekor tertinggi pulang malamnya selama ini. Haruskah aku telepon? Jangan bodoh Glen kamu bahkan tak punya nomer teleponnya. Kalian hanya berbicara dirumah sekedarnya dan melalui pesan singkat yang ditempel di pintu kulkas.
Aku kembali mengalihkan fokusku kearah laptop dan kembali melanjutkan menulis, cangkir kopi keduaku sudah kosong beberapa jam yang lalu, punggungku mulai terasa pegal setelah duduk berjam-jam dan yang lebih parah puncuk dibalik mataku sudah berlomba-lomba mengeluarkan tetesan air. Hey come on Glen, kamulah yang memintanya untuk menjauh, kamu yang memintanya untuk tak peduli tentang urusan kalian.
Mataku kembali melihat kearah jendela kamar, hujan makin deras. Beberapa tetesan air jatuh menimpa kaca jendela yang berubah menjadi embun dan piksel yang berjalan. Aku menyembunyikan wajahku dibalik telungkup tangan. Angin malam yang masuk melalui celah jendela berhembus perlahan membuat bulu kudukku berdiri. Kuhiraukan, sungguh saat ini aku hanya ingin menangis diam-diam.
"Meoooowwww" Nufusku yang malang terpaksa kusikut tubuh dan ekornya agar menjauh dari pangkuanku.
Dalam hitungan menit mataku menjadi berat, nafasku menjadi teratur dan semua mendadak menjadi tenang dan damai. Aku bermimpi berjalan diantara gunungan salju putih, aku melihat madame Kathreena berjalan bersama suaminya sambil membawa anjing putih kesayangan mereka, aku kembali ke Oslo seperti satu tahun lalu sebelum papa memintaku pulang dan membuat sekenario buruk ini terjadi.
"papa serius mau nikahin aku dengan si culun itu ? "
Mataku seakan menyiratkan kekagetan yang tak ada habisnya. Bisa-bisanya lelaki culun itu yang menjadi pilihan papa untuk menjadi calon suamiku.
***
Aku menggerenyitkan dahi beberapa kali, kepalaku mendadak berat saat seseorang menepuk pipiku berkali-kali. Dan saat itu tubuhku tak sengaja menubruk pinggiran ranjang bersamaan dengan handuk kecil yang jatuh dari keningku saat berusaha duduk menghindari tatapannya. Aku menyentuh keningku iba, Sejak kapan dia disini? Yang kuingat terakhir kali aku duduk dikursi menunggu lelaki bodoh ini berjam-jam lamanya lalu bisa-bisanya dia muncul tiba-tiba saat aku bangun tidur.
"ngapain duduk disitu?" aku tertegun mendengar suaraku sendiri, benarkah itu yang ingin kuucapkan setelah semalaman menangisinya?
Dia berdiri setelah duduk disampingku, seperti biasa wajahnya datar-datar saja tak ada penolakan apalagi kecewa. Padahal ada reaksi berlebih yang kuharap muncul diwajahnya ekhemm setidaknya sedikit rasa kecewa karena aku mengusirnya.
Namun melihat reaksinya yang pergi begitu saja membuat gumpalan darah diseluruh tubuh berkumpul dimukaku yang berubah warna menjadi semerah kepiting rebus, namun sekali lagi tenagaku sudah terkuras habis untuk marah pada lelaki es ini. Maka yang terjadi selanjutnya aku hanya menangis seperti yang kulakukan semalaman. Dia tentu saya hanya berbalik bingung melihat tangisanku yang setengah histeris maka dengan jengkel kulempar bantal guling sprei dan segala macam benda yang bisa kuraih kearahnya.
"kenapa dik... ada masalah apa? ceritain ke mas" dia mencoba menghindari lemparanku meski hidung bangirnya harus bersenggolan dengan remote AC.
"nyebeliin... sana pergi jauh"
Dia duduk kembali disampingku meski beberapa kali terkena jambakanku, aku tak peduli karena saat ini aku sungguh ingin mencakar wajah tampannya.
"ngomong sesuatu Glen, jangan bikin saya bingung" tangisku mulai reda terlebih saat dia memanggilku dengan sebutan nama dan kata "saya" yang sungguh tak biasa. Marahnya hanya sebatas itu kah?
Sambil terisak aku mengamatinya dari dekat, dia sudah menggunakan kemeja biru tua lengan panjang plus celana hitam bahan dengan dasi yang bengkok belum terpasang sempurna. Baju yang berbeda yang ia kenakan kemarin. Entah kapan dia datang kerumah dan sekarang dia harus bersiap pergi lagi.
Tatapannya masih sama seperti dua tahun yang lalu, lembut dan selalu menyedihkan. Hanya ada satu tatapan yang berbeda. Yaitu tatapan miliku kearahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Jodoh Impian
Romance(SEKUEL PELABUHAN TERAKHIR) Sejak kecil, Glen hanya membenci satu orang dan bersumpah... "Apapun yang terjadi, aku harus berubah menjadi cantik, dan membuat dia menyesal telah mempermalukan ku " Belasan tahun berlalu Allah mempertemukannya kembali...