12 • Intervensi Petinggi

5.3K 932 62
                                    

"Dony di NYC currently, dia bakal hubungin lo darisana malem nanti"

"Malem waktu sana atau sini?"

"Sana. Berarti disini sekitar pagi-siang. Make sure lo gak kemana-mana, gak ngapa-ngapain"

"Oke"

"Ah ya, pastiin juga koneksi sama tempatnya aman. Dia pengen video call, better use your pc"

"Ya"

"Hubungin gue kalo ada apa-apa. Hari ini gue free"

Jefar merasa sedikit gugup begitu sambungan teleponnya dengan Joni terputus. Segera saja dia taruh kembali tas kerjanya.

Rosi yang baru memasuki kamar setelah keberangkatan si kembar ke sekolah, langsung mengernyit, mendengar Jefar berbicara dengan nada menyesal lewat telepon.

"Iya... makasih ya, Mbak Yeni"

"Mas?"

"Ya?" Jefar menoleh setelah memutus sambungan, "...kenapa?"

"Kok belum berangkat?"

"Mmm... anak-anak mana?" tanya Jefar sambil melihat lewat pintu kamarnya. Membuat Rosi memicingkan matanya.

"Udah berangkat. Mau pamit nunggu kamu tapi kamunya lama, angkotnya keburu dateng. Ternyata kamu lagi telpon-telponan sama Mbak Sekdes!"

Sekarang giliran Jefar yang mengernyit, ketika Rosi berbicara sinis dan ketus. "Aku gak akan ke kantor, Yang. Makannya nelpon Mbak Yeni buat izin"

"Oh"

Rosi hendak keluar namun Jefar menahan lengannya, membuatnya berbalik dan saling bersitatap. "Kamu... marah?"

Bukannya menjawab, Rosi malah mengedikkan bahunya. Membuat Jefar menghela panjang napasnya. "Udah aku bilang, jangan lagi pendam apapun—"

"Yaudah bilang! Kenapa gak berangkat? Kenapa harus izinnya sama dia?!"

"Joni bilang, aku harus stand by sampe siang, karena Dony Kim akan hubungin aku. Dan kenapa aku telpon Mbak Yeni? Karena dia sekretaris, kalo kamu lupa. Harus ke siapa lagi aku izinnya? Pak Kades Suhe?"

"...look, meskipun hanya kantor desa dipedalaman, semua instansi selalu punya regulasinya sendiri. Dan sebagai pegawai, aku cuma mengikuti peraturan yang ada"

Mendengar penjelasan suaminya, Rosi jadi malu sendiri udah overthinking. Maka, dia lebih memilih buang muka dan memandang ke segala arah kecuali mata Jefar—yang menatapnya lekat.

"Gimana? Udahan curiga-curiganya?"

"Hm"

Jefar tersenyum miring memerhatikan muka Rosi yang bersemu menahan malu. Direngkuhnya tubuh sang istri dengan sayang. "Duduk deh, aku mau bicara"

Rosi hanya menurut ketika Jefar membawanya duduk di ranjang. Digenggamnya tangan lentik itu sambil terus menatap tiap inchi wajah Rosi.

"Aku gak tau, awal-mulanya gimana dan kenapa kamu bisa senegatif itu sama Mbak Yeni. Tapi please, sayang... jangan biarin selentingan miring orang-orang menguasai pikiran kamu"

Wajah Rosi yang mengernyit tak suka dan siap membantah, langsung diredam Jefar dengan usapan lembut dipipinya. "Dengerin aku sampe selesai dulu, ya?"

"Aku lelaki normal dan gak bodoh. Kalo memang ada wanita yang mencoba deketin aku in purpose, aku tau. Makannya, dua sekretaris pribadi aku yang awal-awal dulu, aku berhentikan. Karena aku tau, mereka ada intention lain sama aku. Berakhirlah aku pilih Yudha"

La Familia ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang