2. Sinis

11.4K 855 58
                                    

Ayu memulas lipstick berwarna merah muda ke bibir tipisnya. Ia menatap dirinya beberapa saat di depan cermin. Ayu yang ia lihat sekarang sangat berbeda dengan Ayu tujuh tahun lalu saat kebahagiaan masih menjadi miliknya dan sebelum kenistaan serta penderitaan itu mendera. Ia meletakkan jari-jari lentiknya di cermin meraba bayangan wajahnya sendiri. Wajah yang pernah dikagumi seseorang yang kini sangat membencinya. Angannya melayang kembali pada sebuah kenangan yang terpatri abadi di hatinya.

Danial mengarahkan kamera dalam genggamannya ke Ayu remaja dan beberapa teman sebayanya yang sedang bermain pasir sambil mengumpulkan cangkang kerang untuk mereka jual ke pengrajin hiasan. Tanpa memedulikan teman perempuannya yang sejak tadi mengikutinya, Danial kian asyik memotret kegiatan gadis pantai tersebut.

"Ayu, Indah!" seru Danial pada dua gadis remaja yang sedang duduk berhadapan sambil mengeruk pasir.

Kedua gadis itu menoleh. Danial tersenyum sangat manis—senyuman yang tidak akan pernah Ayu lupakan—lalu mengambil potret mereka berdua.

"Ayu, kau bisa bergeser sedikit. Boleh aku mengambil fotomu sendirian?" pinta Danial.

Ayu tersenyum malu-malu. Ia menyembunyikan pandangannya dengan menunduk.

Indah menyenggol pelan lengan Ayu dengan sikunya. "Ayu, si Aa ganteng itu mau memfotomu. Ayo, jangan malu-malu! Senyum yang manis ya."

Ayu bergeser beberapa langkah dari Indah. Ia mengangkat wajahnya lalu tersenyum. Tanpa mengarahkan gaya, Danial langsung mengambil potret Ayu. Potret yang sangat alami. Tak puas mengambil gambar wajah Ayu dari jarak beberapa meter, Danial mendekat. Lebih dekat lagi hingga jarak mereka hanya sekitar satu meter saja.

"Kau tahu, Yu. Kau gadis pertama yang aku potret tanpa riasan sedikit pun. Kau sangat alami dan kau sangat...." Danial menatap dalam ke mata gelap Ayu. "Cantik."

Kalimat itu masih terngiang di telinga Ayu sampai sekarang. "Wajah polos itu sudah tidak ada lagi, Dan. Kau yang menghancurkan semuanya."

Ayu mengerjap-ngerjapkan mata menahan air mata yang menggenang agar tidak terjatuh dan menghapus riasan yang baru saja dipulaskan ke wajahnya. Ayu kemudian beranjak dari kursi rias dan berjalan ke ruang makan. Disertai perasaan was-was yang menyelimuti diri, Ayu melangkah dengan hati-hati menuruni anak tangga.

Seorang wanita berusia lima puluhan yang mengenakan gamis berwarna hijau daun dan menutupi rambutnya dengan hijab berwarna senada sudah menantinya di sana. Wanita itu sedang menata piring-piring di atas meja makan.

"Pagi, Bu Ayu," ucap wanita itu dengan ramah lalu melemparkan senyumannya ke arah Ayu.

Ayu mendekat pada wanita itu lalu melingkarkan tangannya ke pundak wanita itu dan menggelendot dengan manja. "Bi Dedeh jangan panggil Ayu ibu, ah. Ayu yang harus panggil Bi Dedeh ibu. "

"Mungkin Nyonya Rumah ini hanya ingin dipanggil nyonya, Bi, agar strata sosialnya terlihat lebih jelas." Sebuah sindiran tajam terlontar dari mulut Danial yang tiba-tiba masuk ke ruang makan dan sukses membuat Ayu meradang.

Ayu segera menurunkan tangannya dari pundak Dedeh dan menatap kesal pada Danial.

Dedeh terkejut mendengar sindiran yang menyengat itu. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah tangga dan menatap Danial selama beberapa saat. Ia melebarkan mata selama beberapa detik. ART senior itu masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Den Danial? Ya Allah, ini beneran Den Danial?"

Danial tersenyum manis pada wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya itu. Hati Ayu terenyuh melihat transformasi sikap Danial pada Dedeh. Dedeh berjalan menghampiri Danial lalu memeluk tuan mudanya dengan penuh kasih sayang.

PRASANGKA (Sudah Dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang