BAGIAN 4

1K 39 0
                                    

Rangga terkejut memandangi rumah penginapan yang tampak sepi, serta bagian depan rumah yang terlihat hancur. Meja kursi dan perabotan lainnya berantakan di depan. Perasaan tidak enak menyelinap di hatinya. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melangkah masuk ke dalam rumah penginapan itu.
Langkahnya cepat, dan terlihat buru-buru. Ayunan kakinya terhenti seketika begitu memasuki lorong yang di kanan dan kirinya terdapat pintu kamar. Tidak ada satu pintu pun yang tertutup. Dan keadaannya pun berantakan sekali. Di lantai lorong, tergeletak tiga sosok mayat laki-laki. Pelahan-lahan Rangga melangkah me nyusuri lorong itu.
Kembali langkahnya terhenti setelah tiba di depan salah satu pintu kamar yang terbuka lebar dan setengah hancur. Keadaan di dalam kamar itu juga berantakan, seperti habis diamuk binatang liar. Tidak ada seorang pun terlihat. Tapi, di lantai dan dinding kamar itu terdapat bercak-bercak darah yang masih basah.
"Paman Patih...," desis Rangga bergetar.
Di kamar inilah Rangga meninggalkan Patih Giling Wesi pagi tadi. Kecemasan melanda hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Bergegas dia berbalik dan melangkah cepat meninggalkan lorong kamar penginapan ini. Namun begitu kakinya menginjak ujung lorong yang langsung berhubungan dengan bagian depan, mendadak sebatang tombak panjang meluruk deras ke arahnya.
"Uts, hap!"
Cepat sekali Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, seraya tangannya bergerak cepat menangkap tombak itu. Namun belum juga bisa menarik kembali tubuhnya, Seseorang melompat cepat sambil mengayunkan sebilah golok besar dan panjang. Dengan cepat Rangga mengayunkan tombak yang ditangkapnya tadi, untuk memapak kibasan golok itu.
Trak!
Tombak itu terpenggal menjadi dua bagian, tapi Rangga segera melompat ke samping menjauhi orang yang menyerangnya secara tiba-tiba itu. Pada saat kaki Pendekar Rajawali Sakti baru menyentuh lantai, orang itu sudah berbalik dan langsung melompat menyerang. Goloknya yang besar berkelebat cepat ke arah dada.
Dalam posisi seperti ini, tidak ada kesempatan buat Rangga berkelit. Jalan satu-satunya adalah mengangkat tangannya ke depan dada, lalu mengepit golok itu dengan kedua telapak tangan yang menyatu rapat. Dan secepat itu pula, kaki kanannya melayang ke depan mendupak tepat di perut orang itu.
"Ugh!"
Orang itu mengeluh pendek, dan terdorong beberapa langkah ke belakang. Kalau saja tadi Rangga mengerahkan tenaga dalam, mungkin perut orang itu bakal jebol. Tapi dupakan itu memang cukup keras, sehingga membuat orang itu meringis kesakitan. Rangga membuang golok yang berhasil dirampasnya.
"Paman Walaka...!" seru Rangga begitu mengenali orang yang menyerangnya.
"Kenapa kau menyerangku...?"
"Ugh! Oh...!" laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu juga tampak terkejut.
Dia memang Paman Walaka, pemilik rumah penginapan ini. Rangga bergegas menghampiri, dan mengambil kursi yang terguling. Kemudian dituntunnya Paman Walaka, dan didudukkannya di kursi kayu itu. Sebentar Rangga memeriksa perut laki-laki itu, kemudian mengambil kursi lagi dan duduk di depannya.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga setelah Paman Walaka terlihat tenang.
"Mereka..., mereka menghancurkan tempatku, membunuh tamu-tamuku, Tuan," sahut Paman Walaka tersedu.
"Siapa mereka?"
"Mereka orang jahat yang menguasai Istana Galung."
"Hm..., Paman. Di mana Paman Patih Giling Wesi?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu. Semula Gusti Patih Giling Wesi sempat bertarung dengan mereka. Selanjutnya, aku tidak tahu lagi. Aku berusaha menyelamatkan diri, karena tidak mungkin melawan mereka yang punya kemampuan tinggi"
"Paman melihat mereka menangkap Paman Patih?" desak Rangga.
"Tidak."
Rangga bangkit dari duduknya dan melangkah ke depan.
"Tuan..."
Rangga menghentikan langkahnya, lalu berbalik.
"Tolong bebaskan kami. Bebaskan Kerajaan Galung dari tangan mereka. Rakyat begitu menderita akibat kekejaman mereka, Tuan," ratap Paman Walaka memelas.
"Berapa banyak jumlah mereka?" tanya Rangga.
"Tidak tahu pasti. Tapi mereka begitu banyak, dan rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bahkan para panglima tidak sanggup menghadapinya. Dan lagi, Gusti Prabu pun tidak mampu menandingi pemimpin mereka. Tolong, Tuan! Tuan seorang pendekar, kami semua pasti tidak akan tinggal diam, dan akan membantu semampu kami. Semua rakyat Galung sudah tidak tahan lagi hidup dalam penindasan dan kekejaman mereka," rengek Paman Walaka.
Rangga sangat trenyuh mendengar permintaan orang tua ini. Dia hanya bisa tersenyum getir dan mengangguk, kemudian berbalik melangkah keluar. Paman Walaka mendesah panjang. Dia sangat berharap agar pendekar muda itu mengusir orang-orang berhati iblis dari bumi Kerajaan Galung ini. Bahkan seluruh rakyat akan rela berkorban menyabung nyawa.

21. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang RajawaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang