BAB 3

7.3K 241 2
                                    


HAPPY READING***
_____________________

Sepulang dari cafe, Dara mencoba untuk menenangkan pikirannya dengan menonton televisi, tetapi pikirannya tetap gelisah. Setelah bertemu dengan seseorang yang mengingatkannya pada bagian kelam dari masa lalunya, kenangan-kenangan itu kembali membanjiri pikirannya.

Dara meletakkan remote televisi, menatap layar yang menampilkan gambar tanpa makna. Perlahan-lahan, kenangan itu muncul ke permukaan seperti mimpi buruk yang sudah lama terpendam.

**Flashback**

Dara baru berusia sepuluh tahun ketika hidupnya berubah selamanya. Hari itu, dia kehilangan segalanya. Ibunya, satu-satunya sosok yang selalu melindunginya, meninggal karena sakit jantung yang telah lama di deritanya. Dara ingat saat-saat terakhir ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit. "Maaf, Nak... Maaf, Ibu harus pergi," suara lemah ibunya masih terngiang-ngiang di telinga Dara.

"Aku tidak mau Ibu pergi..." Dara memegang tangan ibunya erat, air matanya mengalir tak terbendung.

"Ibu sayang kamu, Dara. Kamu harus kuat..." Itu adalah kata-kata terakhir yang Dara dengar sebelum semuanya menjadi gelap.

Setelah kematian ibunya, Dara tinggal bersama paman dan bibinya, keluarga yang sebelumnya tidak pernah begitu dekat dengannya. Rumah mereka tidak pernah terasa seperti rumah, hanya tempat dingin yang penuh dengan keheningan yang mengintimidasi. Dara segera menyadari bahwa dia bukan hanya tidak diinginkan di sana, tapi juga dianggap sebagai beban.

Malam pertama di rumah itu, Dara mendengar suara bentakan dari ruang tamu. Suara paman dan bibinya yang berdebat membuatnya takut. Dia keluar dari kamar dengan langkah ragu, bersembunyi di balik pintu, mendengar perdebatan mereka dengan hati berdebar.

"Aku tidak peduli! Dia bukan tanggung jawab kita!" teriak pamannya dengan marah.

"Kita harus mengurus dia sekarang! Pikirkan saja uang asuransi yang akan kita dapat!" sahut bibinya, lebih keras lagi.

Dara menciut di balik pintu, merasa bersalah dan ketakutan. Ketika bibinya melihatnya mengintip, amarahnya langsung beralih kepada Dara.

"Dara! Apa yang kamu lakukan di sini? Kembali ke kamar, dasar anak tidak tahu diri!" Bibinya mendekat, menarik tangan Dara dengan kasar, membuatnya terhuyung-huyung.

"A-aku... aku hanya ingin-" Dara tergagap, takut menjawab.

"Kamu itu hanya beban! Kembalilah ke kamarmu sebelum aku benar-benar marah!" Bentakan itu membuat Dara ketakutan, dia lari ke kamarnya dengan air mata yang mulai mengalir.

Hari-hari berlalu dengan cepat berubah menjadi neraka bagi Dara. Setiap kesalahan kecil, meskipun hanya menumpahkan air atau terlambat bangun, diikuti dengan bentakan dan hukuman fisik. Bibinya tidak segan-segan memukuli Dara dengan apa pun yang ada di tangannya.

"Aku sudah muak denganmu! Aku sangat bodoh karena telah mengambil mu hanya karena uang tak seberapa itu, sialan!!" teriak bibinya pada suatu malam, setelah Dara tak sengaja menjatuhkan piring saat sedang membereskan meja makan. Bibinya meraih sapu dan mulai memukul Dara tanpa ampun.

"Maaf, Bibi... Maafkan aku..." Dara meringis kesakitan, berusaha menahan pukulan itu. Namun, bibinya tidak peduli, dia terus memukul hingga Dara jatuh ke lantai.

Paman Dara, yang menyaksikan dari jauh, hanya menggelengkan kepala. Dia tidak pernah campur tangan, seolah-olah kekerasan itu adalah hal yang pantas diterima Dara.

Malam itu, Dara hanya bisa menangis di pojok kamar, memegangi lengannya yang memar dan berusaha meredakan tangisnya sendiri. "Kenapa semua ini terjadi padaku?" batinnya berteriak. Setiap hari di rumah itu terasa seperti perang tanpa akhir, perang yang tidak pernah bisa dia menangkan.

Suatu hari, ketika Dara beranjak remaja, bibinya mulai meminta uang darinya. Dara yang saat itu bekerja paruh waktu di sekolah untuk mendapatkan uang saku, terpaksa menyerahkan sebagian besar uangnya untuk memenuhi permintaan bibinya.

"Bibi butuh uang lebih. Serahkan padaku sekarang!" perintah bibinya dengan nada mengancam.

"Aku hanya punya ini," Dara berkata pelan sambil menyerahkan beberapa lembar uang yang dia simpan.

"Sedikit sekali! Apa kamu tidak kerja lebih keras, hah?" bentak bibinya sambil menjambak rambut Dara. Dara meringis, menahan sakit.

"Maaf, Bibi. Aku... akan bekerja lebih keras," jawab Dara dengan suara bergetar.

Namun, tidak peduli seberapa keras Dara bekerja, tidak ada yang cukup untuk bibinya. Ketidakberdayaan itu membuat Dara semakin terpuruk, merasa dirinya benar-benar tidak berharga.

**Kembali ke Masa Kini**

Dara membuka matanya perlahan, menarik napas panjang sambil menatap ruang tamunya yang kosong. Kenangan-kenangan itu datang tanpa diundang, seperti luka yang baru saja terbuka kembali. Dia berdiri dari sofa, berjalan ke jendela dan memandang hujan yang jatuh deras di luar. Setiap tetes hujan seolah mengingatkannya pada air mata yang pernah dia tumpahkan di masa lalu.

Dara merasa tersesat dan terluka, terjebak dalam lingkaran masa lalu yang terus menghantuinya. Meski begitu, Dara tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang trauma ini. Dia harus kuat, seperti kata ibunya di detik-detik terakhir hidupnya.

Dengan tekad yang mulai muncul kembali, Dara menutup matanya. Ini adalah pertarungan yang belum selesai. Dan kali ini, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan lari lagi.

_________________

Makasihh ya udah bacaa🫶💫
Vote nyaaaa💫💫
Komen yang bayakkkk yaaaa

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dara: Menyusutnya Sinar MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang