BAGIAN 3

857 33 0
                                    

Sudah dapat diduga kalau Patih Raksajunta dan prajurit-prajuritnya tidak akan mampu membendung serangan orang-orang Mongol itu. Di samping saat ini berjumlah jauh lebih besar, rata-rata mereka pun memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Dalam waktu tidak lama empat orang prajurit Patih Raksajunta sudah roboh berlumuran darah.
Satu per satu prajurit Jiwanala roboh berguguran. Sedangkan Patih Raksajunta tidak dapat membantu banyak. Meskipun sudah bertarung penuh semangat, namun lawan yang dihadapinya cukup tangguh. Saat ini yang harus dihadapi adalah lima orang lawan. Sudah tidak terhitung lagi, berapa pukulan dan tendangan bersarang di tubuhnya.
“Akh!” tiba-tiba saja Patih Raksajunta memekik tertahan.
Satu sabetan golok lawannya berhasil merobek bahunya. Darah mengucur deras dari luka yang cukup panjang dan dalam itu. Patih Raksajunta terhuyung-huyung ke belakang. Dan pada saat itu satu tendangan keras telah menghantam punggungnya. Tak pelak lagi, laki-laki tua itu terjerembab mencium tanah.
“Yaaah...!”
“Matilah aku...,” desah Patih Raksajunta melihat seorang lawannya mengibaskan goloknya dengan cepat.
Dan pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar tubuh Patih Raksajunta. Tebasan golok orang Mongol itu hanya menghantam tanah kosong. Hal ini membuatnya bengong terheran-heran. Tapi belum lagi rasa herannya hilang, bayangan putih itu kembali datang berkelebat cepat.
“Akh...!” orang itu memekik keras, tubuhnya terpental jauh ke belakang.
Empat orang lainnya yang melihat kejadian itu terperanjat kaget. Namun tanpa diduga sama sekali bayangan putih itu sudah kembali berkelebat cepat ke arah empat orang itu. Mereka berlompatan mundur dengan cepat. Tapi dua orang yang terlambat menyelamatkan diri, harus menerima nasib naas dan hanya mampu menjerit keras. Tubuh mereka ambruk ke tanah dengan dada hancur melesak ke dalam.
Saat itu terdengar satu seruan keras dari arah belakang. Maka orang- orang Mongol itu pun segera berlarian mundur. Pada saat itu, seluruh prajurit Kerajaan Jiwanala sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Sementara bayangan putih yang telah merobohkan tiga orang prajurit Mongol itu pun langsung lenyap tidak ketahuan arahnya. Orang-orang Mongol itu bergegas kembali ke kapalnya yang bersandar dekat dermaga.

***

Sementara itu di dalam Istana Kerajaan Jiwanala, Prabu Duta Nitiyasa tengah berbincang-bincang dengan para panglima perang, para patih, dan pembesar istana lainnya. Di antara mereka tampak Panglima Sembada yang baru saja melaporkan keadaan pasukannya di pelabuhan. Prabu Duta Nitiyasa tampak diam membisu menerima laporan kekalahan itu.
Yang membuat Prabu Duta Nitiyasa terdiam bukan laporan kekalahan prajurit, tapi usulan Panglima Sembada yang menyarankan untuk mengundang tokoh-tokoh sakti dunia persilatan atau prajurit asing lainnya. Suasana di Balai Sema Agung itu jadi hening. Tidak ada seorang pun yang membuka suaranya.
“Kekuatan prajurit yang kita miliki memang tidak sebanding dengan mereka. Tapi itu bukan alasan yang tepat untuk berlindung di balik punggung orang lain. Kerajaan Jiwanala berdiri berkat darah dan keringat leluhur, dan wajib dipertahankan dengan darah juga,” tegas Prabu Duta Nitiyasa.
“Gusti Prabu, menurut hamba, saran yang diajukan Panglima Sembada patut dipertimbangkan,” seorang laki- laki tua berjubah kuning gading membuka suara.
Prabu Duta Nitiyasa menatap laki-laki berjubah kuning gading yang berkepala gundul itu. Laki-laki itu adalah Pendeta Naraboga, seorang penasehat pribadi Prabu Duta Nitiyasa.
“Paman Pendeta, sebaiknya Paman jangan berjiwa kerdil dan pengecut,” dingin suara Prabu Duta Nitiyasa.
“Ampun, Gusti Prabu. Bukannya hamba takut menghadapi mereka. Tapi menurut hemat hamba, tidak ada salahnya jika mencoba mengundang beberapa tokoh rimba persilatan untuk memperkuat barisan pertahanan,” kilah Pendeta Naraboga seraya memberi hormat.
“Hm...,” gumam Prabu Duta Nitiyasa pelan.
Saat itu seorang prajurit memasuki ruangan Balai Sema Agung. Prajurit itu segera membungkukkan tubuhnya, memberi hormat. Semua orang yang ada di ruangan itu memandangnya. Mereka tahu kalau prajurit yang tidak mengenakan seragam itu telah ditugaskan untuk memata-matai orang-orang Mongol di pelabuhan.
“Ampun, Gusti Prabu. Ada yang hendak hamba laporkan,” ucap prajurit mata-mata itu.
“Katakan,” perintah Prabu Duta Nitiyasa.
“Seluruh prajurit yang berada di Pelabuhan Timur tewas, sedangkan Patih Raksajunta menghilang,” lapor prajurit itu.
“Apa...?!” semua orang yang ada di Balai Sema Agung itu terperanjat kaget. Terlebih lagi Panglima Sembada.
Waktu meninggalkan prajuritnya, Patih Raksajunta tidak jauh dari pelabuhan. Dan baru beberapa saat dia berada di istana ini, telah datang laporan bahwa semua prajuritnya tewas. Yang lebih mengejutkan lagi, hilangnya Patih Raksajunta.
Prabu Duta Nitiyasa bangkit dari singgasananya, lalu melangkah ke depan. Dia berjalan mondar-mandir dengan wajah tertunduk. Keheningan kembali menyelimuti ruangan besar dan indah itu. Laporan prajurit tadi benar-benar mengejutkan semua orang.
“Panglima, siapkan seluruh prajurit!” perintah Prabu Duta Nitiyasa.
“Gusti...!” Panglima Sembada tersentak kaget.
“Ini perintah! Laksanakan segera!” bentak Prabu Duta Nitiyasa tegas.
“Hamba laksanakan, Gusti,” Panglima Sembada membungkuk hormat.
Dengan mengajak seluruh panglima perang lainnya, Panglima Sembada bergegas meninggalkan Balai Sema Agung. Prabu Duta Nitiyasa melangkah meninggalkan ruangan itu. Sedangkan Pendeta Naraboga mengikuti dari belakang bersama beberapa pembesar kerajaan lainnya.
“Gusti, apakah ini bukan tindakan yang merugikan? Pikirkanlah lebih matang lagi, Gusti,” Pendeta Naraboga berusaha mencegah maksud rajanya itu.
“Tidak ada jalan lain, Paman Pendeta. Orang-orang asing itu harus enyah secepatnya,” jawab Prabu Duta Nitiyasa mantap.
“Dengan mengerahkan seluruh prajurit, sama saja bunuh diri, Gusti.”
“Mati dalam pertempuran lebih terhormat daripada menjadi pengecut, Paman.”
“Hamba yakin masih ada jalan lain yang lebih baik, Gusti.”
Prabu Duta Nitiyasa menghentikan langkahnya. Ditatapnya tajam pendeta gundul itu. Pendeta Naraboga buru-buru membungkuk sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.
“Ampun, Gusti Prabu. Hamba hanya menyampaikan saran. Bukankah kita memiliki satu tawanan orang Mongol. Tawanan itu bisa dimanfaatkan untuk mengusir mereka, Gusti,” ujar Pendeta Naraboga.
“Tidak ada gunanya, Paman Pendeta. Mereka pun menawan Paman Patih Raksajunta. Aku tahu watak orang-orang Mongol itu. Bagi mereka, kehilangan satu nyawa bukan berarti apa-apa bila berhasil merebut satu daerah kekuasaan.”
“Memang benar, Gusti. Tapi....”
“Sudahlah, Paman Pendeta. Aku akan bersiap-siap. Katakan pada seluruh panglima untuk bergerak lebih dahulu ke pelabuhan. Nanti aku menyusul dan memimpin langsung seluruh pasukan!” sergah Prabu Duta Nitiyasa.
Setelah berkata demikian, Prabu Duta Nitiyasa membuka pintu sebuah kamar yang dijaga dua prajurit bersenjata tombak. Pendeta Naraboga hanya bisa membungkuk hormat, kemudian melangkah pergi setelah pintu kamar itu tertutup rapat. Jelas sekali kalau raut wajah pendeta gundul itu diliputi kecemasan. Dia sudah berusaha untuk melunakkan hati junjungannya, tapi dasarnya Prabu Duta Nitiyasa memang seorang raja yang keras. Segala keputusannya tidak bisa dirubah lagi.

23. Pendekar Rajawali Sakti : Jago Dari MongolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang