III

7 0 0
                                    

Kedua orang itu saling bertatapan. Keheningan membungkus ruangan itu. Sakura dan Natsuga hanya bisa diam. Dua manusia itu sama-sama kebingungan.

"Kamu kembali ke masa lalu kan?" Aku menggebrak meja dan sedikit mencondongkan badanku ke Sakura.

"Aku nggak yakin. Tapi, aku senang tidak menjadi satu-satunya." Sakura berdiri dari kursinya. Tanpa alasan yang jelas dia mendekapku.

"E-eh kamu ngapain?" Aku terkejut terkejut karena dia yang tiba tiba memelukku. Dan yang lebih parahnya adalah. Dia melakukannya di ruang guru. "Hei ini ruang guru loh." Aku mendorong dirinya sehingga pelukannya terlepas. Untungnya sebagian besar guru sudah  pulang. Jadi, tidak banyak yang melihat.

Aku menarik lengan Sakura keluar dari ruang guru. Menelusuri lorong demi lorong. Aku keluar dari sekolah menuju belakang gedung olahraga yang sudah tak terpakai lagi. Tempat itu aku pilih supaya tidak ada yang mengganggu obrolan kita

"Siapa namamu?" Aku melepas cengkraman pada lengan Sakura.

"Sakura Juni." Sakura tersenyum hangat. Pesona gadis itu mampu merobohkan cintaku pada Aprillia. Wajahnya benar-benar cantik. "Kenapa bengong?" Sakura melanjutkan.

"Nggak apa-apa, aku Natsuga Arthur." Hampir saja diriku melamun memerhatikan wajah Sakura. "Apa yang kamu pikirkan sampai ingin kembali ke masa lalu?" Tanpa basi-basi sebuah pertanyaan dilontarkan olehku.

"Awalnya sih aku nggak kepikiran untuk itu." Sakura mencoba menahan air matanya. Matanya sudah berkaca-kaca. "Tapi, aku nggak bisa nerima kenyataan. Jadi aku memutuskan untuk bunuh diri. Seharusnya aku sudah mati. Aneh sekali sampai hari ini aku masih bernafas." Tangis meledak dari dirinya. Semua air mata dibiarkan mengalir begitu saja.

"Apa yang kamu pikirin sampai berbuat begitu. Seburuk apapun hidupmu, tetaplah jalani kehidupanmu. Sesuatu yang membahagiakan menantimu nanti." Aku mengangkat lengan dan mendaratkannya di kepala Sakura. Aku mengusap kepalanya bagaikan anak lima tahun yang menangis.

"Terima kasih." Sakura maju dan menabrakkan badannya padaku. Melingkari lengannya di punggungku. Lagi-lagi dia melakukan ini. Terpaksa aku harus mendorongnya.

"Sudahlah. Jadi apa tujuanmu?" Rupanya dia masih menangis. Sesekali dia mencoba meyeka air matanya.

"Aku ingin Maratha tidak jadian dengan April." Jawabannya membentur pikiranku. Menyebabkan otakku linglung.

"Berarti tujuan kita sama. Kalau begitu aku akan membantumu jadian sama Maratha dan kamu juga harus membantuku jadian dengan Aprillia. Bagaimana?" Entah kenapa aku begitu antusias dengan semua ini. Sungguh merasa beruntung bisa kembali ke masa lalu.

"Setuju." Dia mengulurkan tangannya. Aku menjabat tangannya dengan hangat.

Hari-hari ini sungguh mendebarkan. Kami berdua sudah meninggalkan sekolah. Berjalan masing-masing menuju rumah. Ternyata rumah Sakura searah denganku. Hanya saja kita akan berpisah di persimpangan. Kami saling melambaikan tangan dan berpisah.

Sesampainya di rumah aku merebahkan diri di kamar. Tak sedikitpun aku melihat kalender. Aku ingin hari ini terus berjalan seperti biasa. Ketika aku terbangun aku tak ingin kembali lagi. Ini semua bukan mimpi kan?

6 April 2016 sebelum pengulangan.

Hari ini adalah hari turnamen basket. Menyebalkan sekali melihat cecunguk itu bermain. Lebih menyebalkan lagi adalah kenapa Aprillia ingin menontonnya. Apa dia tidak sedikitpun memikirkan perasaanku?

Diriku hanya duduk dan tak antusias menontonnya walaupun Aprillia duduk di sebelahku. Kehadirannya tak cukup menyenangkanku. Sesekali aku bermain ponsel untuk menghilangkan kejenuhanku.

Alternate EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang