🍀empat;

13.5K 2K 174
                                    

Seusai makan tadi aku diajak mengobrol, ibu Jeno itu sangat ramah dan menerimaku secara terbuka. Namun, untukku bercerita belum saatnya, pikirku masih terlalu cepat.

Jeno memang sosok yang manja. Apalagi ketika mengantuk. Aku tidak heran, sih, dia menempel sekali denganku tadi. Yang membingungkan adalah ketika dia bangun dan lekas menjauhkan tubuhnya dariku, si sinting pura-pura amnesia?

"Jaemin, apa Jeno memperlakukanmu seenaknya?"

Aku mengedip cepat dua kali, mengangguk pelan, "ya, dia menculikku."

Doyoung tertawa kikuk, merasa malu, mungkin?
"Maafkan Jeno, aku mendapat kabar dia ditipu oleh sekretarisnya dan membawa lari mobil kesayangannya, pemberian Jaehyun."

Aku mengangguk, "tak masalah. Asal dia memberiku makan teratur, bu."
Aku dan Doyoung terkekeh bersama.

"Jaehyun setuju dengan pendapat Jeno. Apa kamu tidak merasa keberatan, Jaemin?"

Aku berpikir lagi. Menatap wajah manis kelinci Doyoung, "Jeno juga berjanji akan membiayai seluruh perkuliahanku."

Doyoung agak melemas.
"Tapi kalian menikah tanpa rasa?"

"Tak masalah. Itu bisa diatur. Cinta bisa datang kapan saja."
Sebuah suara menyahut sebelum aku bisa mengeluarkan pendapat.

Kami menoleh. Jaehyun berjalan santai menuju kami, aku meneguk liur susah payah, memang bibit unggul sekali keluarga ini. Ck!

"Kamu yakin, Jaemin?"

Aku mengedikkan bahu sekali. Memandang keduanya bergantian, "asal makanku bisa teratur dan banyak. Serius, bu, napsu makanku sedang naik sekarang."

Percakapan itu kami tutup dengan tawa. Tapi aku serius, lapar lagi.

❄❄❄

"Nana,"

Aku bergumam pelan, mengambil buku yang berjejer rapi di perpustakaan pribadi di kamar Jeno. Aku senang dengan buku. Apalagi aku mencomot asal dan malah menemukan novel fantasy, lekas duduk, kemudian aku membacanya. Sambil mendengarkan grasak-grusuk yang Jeno ciptakan di ranjangnya.

"Ada apa, sih, Jeno?"
Aku mendongak. Memandangnya dengan pandangan kesal, terganggu.

Jeno menatapku balik, kami hanya diam dalam keheningan kamar kedap suara ini, tatapannya hangat padaku, dibalas dengan tatapan salah tingkah dariku.

Namun kemudian kami sama-sama tersadar. Jeno lekas menyambar, "kamu sebelumnya anak sastra. Pantas suka buku,"
Dia agak tergagap, aku mengangguk, masih saling menatap.

"Ugh- Nana, kamu boleh menolak ajakan menikahku, kok."

Keningku mengernyit. Si sinting mulai lagi tololnya, "sinting."
Bisikku. Kembali menunduk untuk fokus ke bacaanku lagi.

Jeno bangkit dari ranjangnya, mendatangiku, masa bodoh.

"Kamu mengabaikanku?"

Gila. Dia berlutut di depan tubuhku yang posisinya sedang duduk di sofa, isi otaknya apa, sih, Jeno ini?

"Katakan, Jenooo. Apa?"
Aku menatapnya dengan desis, merasa gemas.

Tak menjawab, kepalanya menoleh menatap pintu yang tadi sudah kukunci karena diperintahnya.

Tangannya ditaruh di atas antara lutut dan pahaku, aku menghela napas, mengusap rambutnya ketika ia menyandarkan kepalanya di pahaku.
"Kenapa, Jeno?"
Suaraku melembut. Sejak kapan?!

"Mobil kesayanganku,"
Paraunya.

Aku merotasikan bola mata malas, sedikit menempeleng kepalanya agar tidak sinting lagi.

"Dasar sinting."

Jeno merengek, tidak terima, namun masih menaruh kepalanya di propertiku.

"Kamu mau kita kapan menikah?"

Aku menggeleng, bersandar pada sofa, melipat dua tangan di dada.
"Terserahmu."

"Aku mencari tahu tentangmu, kamu benaran tidak pernah berpacaran sebelumnya?"

Aku menatapnya yang sekarang menumpukan dagu di salah satu pahaku, aku mengangguk, "ya. Aku membosankan."

Keningnya berkerut, "tidak juga. Kamu terlampau nyaman untuk dijadikan seorang kekasih, kamu pekaㅡ"

Aku menunggu kelanjutannya, dia malah diam dengan...salah tingkah?
"Apa? Mengapa diam?"

"Tidak jadi."

Aku seketika tersadar, "kamu mencari tahu tentangku? Sejak kapan?"
Aku menatapnya sangsi, mengapa aku jadi agak takut. Tanganku melemas di sisi tubuh.

"Sejak tadi pagi. Aku mencari tahu lewat sosial mediamu, melihat teman akrabmu, kemudian aku menanyainya."

"Sinting,"

Aku bergumam. Dia mencebik, menjijikan.
"Kamu suka sekali mengataiku sinting, kenapaaaa, Nana, kenapaaa?"

Aku tertawa memandangi wajah konyolnya yang merajuk, dia juga ikut tertawa. Kedua lenganku ditahannya, digenggam, aku melirik tangannya sekilas kemudian menatap wajahnya yang sudah berada di atasku. Dia berdiri. Aku tidak sadar.

"Na Jaemin, cantik,"

"Ha?"

Aku dalam situasi membingungkan. Aku tidak naif, aku benar polos, tidak pernah berpacaran dan tidak paham.

Cup

Mendongak. Memandangi matanya yang terpejam karena mengecup bibirku. Tubuhku melemas, ikut memejamkan mata di bawah tubuh besarnya yang setengah membungkuk.

Si tolol. Dia melumat bibirku sampai akhirnya melepas tautan, tidak menjauhkan wajah, nyaris bersentuhan lagi ketika bibirnya bergerak, "hei, aku menyukaimu, Na."

Suaranya begitu dalam. Pipiku memerah. Sampai tanganku tanpa sadar menampar pipinya dan terdengar ringisan nyaringnya.

to be continued.

AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang