🍀tiga belas;

10.5K 1.6K 59
                                    

Aku duduk di ranjang rumah sakit menghadap jendela, memandangi matahari pagi yang hangat. Mengayunkan kaki dengan sangat pelan, melamun. Begitu banyak yang terjadi beberapa bulan ini, sedikit mengernyit aku menahan rasa pusing mendera. Sejak pagi aku tak karuan makan. Mual dan muntah, kemudian pusing, kemudian merasa sakit pada pinggul.

Dokter bilang itu pengaruh janin. Namun, keadaanku yang memang rentan membuatnya lebih buruk dan menyakitkan. Dokter bilang akan memeriksa lebih lanjut perihal janin sekaligus rahimku.

Jeno di belakangku. Hanya diam sambil menatapi punggungku, terasa.
"Sayang,"

Aku tak menyahut. Tapi aku mendengar dengan jelas.

Jeno menghela napas, "dokter bilang...kandunganmu melemah, dan mau tidak mau kita harus merelakannya."

Aku terkekeh lirih. Jeno pandai bercanda, untuk kali ini aku merasa geli. Namun tak berapa lama, air mataku jatuh. Terisak dalam diam yang kubisa selama apapun; aku ingin berteriak.

"Tidak,"
Aku menjawab tanpa arti, tanpa sirat apapun dalam suaraku. Jeno diam.

Aku mengusap perut, menunduk untuk memandanginya, "jangan memintanya. Aku takkan,"
Kembali terkekeh, air mataku semakin berlomba untuk jatuh.

"Jeno, kamu membuat kehidupanku berubah."

"Kamu berselingkuhㅡ mengajak mantan sekretarismu menikah, sementara kamu sebelumnya masih menyentuhku, membuatku mengandung, kemudian menumbuhkan rasa sakit pada fisik dan hatiku. Lalu janinku akan kurelakan? Agar kamu dapat menikah lagi?"

"Tinggalkan aku. Aku akan memeluk anakku sendirian, tanpamu, jangan menyuruhku untuk membuangnya seperti kamu membuangku."

Aku membalik tubuh, menghadap Jeno yang balik menatapku dengan sinar mata memerah. Persetan.

"Pergi."
Aku bergumam. Memberanikan diri untuk seenaknya menatap mata sipitnya.
Mataku berkabut, sejak semalam terakhir aku menangis sampai tertidur, sekarang aku kembali menangis.

Jeno berdiri, melangkah memutari ranjang dan sampai di belakangku. Tangannya mendekapku dengan hangat, air mataku kembali jatuh. Tidak tahan.

"Maafkan aku, Nana. Semuanya di luar kuasaku. Aku mencintai anak kita, tapi aku tak mungkin mempertahankannya jika itu membahayakan kesehatanmu. Kumohon,"

"Tidak."

Aku mutlak. Jeno mengeratkan pelukan.
"Kumohon, sayang. Kesehatanmu lebih penting,"

"Tidak akan, Jenooo!"
Aku berteriak, tidak keras namun membuatku meraung-raung menangis. Memukuli tangannya yang mendekapku dengan lemah, emosiku benaran tersalur hari ini. Jeno menerimanya, semua pukulanku.

"Maaf, sayang. Maafkan aku,"

Aku masih meraung, terlebih ketika perutku kembali sakit sekali. Aku meremas tangan Jeno untuk pelampiasan, sampai punggungku benar-benar tersandar di dadanya, dan tidur dengan napas lemah.

❄❄❄

"Nana mempertahankannya,"

"Kamu keterlaluan,"

"Selesaikanlah. Siyeon selalu datang menanyaimu, aku pusing, Jeno bodoh."

Aku mengernyit mendengar beberapa suara yang mengganggu tidurku. Aku tidak membuka mata, teringat seharian aku pingsan lagi karena sakit yang teramat sangat.

"Aku takkan melepaskan Nana."

"Harus, kamu harus mempertahankannya."
Itu suara Jeno dan Doyoung. Aku membuka mata dengan berat, sudah malam dan tirai sudah ditutup, melirik pada air minum yang berada di atas nakas.

Jeno menoleh, mendapatiku yang mencoba menggapai gelas. Ia segera berdiri dan mengambilkannya untukku, aku tak menolak, memegang lengannya dengan lemah dan minum. Kerongkonganku rasanya basah lagi, sejak pagi aku banyak muntah hingga perutku rasanya kosong.

Jeno menaruh gelas, duduk di kursi yang disediakan sembari mengelus lembut perutku. Aku menatap Doyoung dan Jaehyun mendekat, "Nana tidak lapar, sayang?"
Aku mengangguk, menjawab serak bahwa aku kelaparan. Kemudian kedua mertuaku pamit untuk mencarikanku makanan. Tak ada yang kuinginkan, aku hanya...ingin Jeno mengelusi perutku.

"Sakit, sayang?"
Tangan kanannya masih mengelus perutku, sementara tangan kirinya menggenggam tanganku yang tak diinfus.

Aku mengangguk pelan, "sakit." Kujawab dengan suara yang masih serak.

"Aku rindu Nana,"
Kemudian wajahnya telungkup di dadaku, tangannya merengkuh perutku. Dengan terisak pelan aku mengusap lembut rambutnya. Aku merasa menyedihkan untuk beberapa saat, tapi tidak ketika mendengar isak halus mengalun di atas dadaku.

Jeno menangis.

Wow.

"Mengapa menangis,"

"Aku rindu Nana. Cepatlah sehat,"

Mengejutkan. Namun aku menjadi tersenyum kecil, isakanku berhenti.

to be continued.

AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang