🍀tujuh belas;

9.8K 1.4K 31
                                    

Di bulan keenam, perutku sudah lumayan besar. Tiga bulan lagi kami menunggu kehadiran si mungil. Kukira selama dua bulan terakhir ini aku mendapat keajaiban, tidak merasa sakit sama sekali. Kami tidur dengan baik, Jeno bekerja dengan semangat, aku yang merasa luwes melayani keseharian Jeno. Semua terasa sempurna sampai pagi ini Jeno diributkan dengan aku yang muntah-muntah, tidak dapat menerima makanan apapun karena akan langsung kukeluarkan.

Dengan wajah pucat Jeno mendatangiku, memberiku segelas air yang tentu saja tidak semudah itu bisa melewati kerongkongan. Aku kembali memuntahkannya, hanya cairan, untungnya aku belum meminum banyak.
"Dokter akan datang sebentar lagi, kuatlah?"
Jeno bertanya, sedikit merengek, tangannya mengusap perut buncitku.

Aku mengangguk lemah, tetap memberi senyum. Untuk perasaan, aku sudah membuka hati, dan berakhir menyadari bahwa aku mencintainya.
"Tidak apa, aku bisa menahan."

Jeno menunduk memandangi perutku, "apakah sakit lagi?"
Dengan lekas aku menggeleng.

"Aku benaran hanya mual saja, perutku tidak enak. Tak apa,"

Jeno menghembuskan napasnya. Merengkuh tubuhku dalam lembut peluknya, aku tersenyum, "tenang, Papa. Tak apa, aku dan baby baik-baik saja."
Jeno mengangguk pelan, mengecupi leherku hingga aku terkikik pelan.

Dokter rupanya telah datang, bel apartemen kami berdenting. Jeno lekas bangkit dan menyambut dokter kami. Aku membaringkan tubuh senyaman mungkin, Dokter Haechan menyapaku dengan manis. Aku tersenyum. Kejadian lalu saat pertama kali kami bertemu telah dilupakan, kami sekarang dekat.

"Selamat pagi. Tidak ada rasa sakit lagi, kan?"
Dokter Haechan tersenyum ramah sambil mengeluarkan peralatan dari tasnya.

Aku menggeleng pelan, "tidak sakit. Tapi aku mual kemudian muntah,"
Aku sedikit meringis ketika mengingat banyak sekali muntah yang sudah kutumpahkan. Jeno repot membersihkan lantai karenaku.

Dokter Haechan mulai memeriksa. Menekan kecil perutku, memeriksa denyut nadi, mendengar detak jantungku. Dia mengulas senyum tipis, "Nana, tidak merasa sakit bukan berarti kamu sudah sepenuhnya lepas dari rasa sakit tersebut. Bayi kalian sehat,"
Ia sedikit menoleh untuk memandang Jeno di sampingnya, aku diam saja mendengarkan.

"Dan Nana, kondisimu lemah dan kekurangan cairan karena selalu muntah? Banyak minum air putih, itu bagus untuk bayimu."
Haechan mengusap halus perutku.

Jeno mengernyitkan kening, "lalu mengapa Nana mual dan muntah sepagian ini? Seingatku dia tak makan yang aneh kemarin atau semalam."

Haechan menghela napas, "tak apa, Lee Jeno. Istrimu baik-baik saja. Aku tidak begitu yakin, namun ini seperti efek samping dari sakit yang sudah lama tidak menyerang bagian perut Nana. Semua baik-baik saja."

Aku menghela napas lega, Jeno juga, tanpa sadar aku menahan napas rupanya.
"Terima kasih, Dokter Haechan."
Aku menggumam lirih. Rasa takutku hilang. Terlebih saat mendengar bahwa bayiku sehat di sana. Aku mengusap halus perutku.

Haechan mengeluarkan beberapa vitamin yang aman untuk kukonsumsi dari tasnya, menyerahkannya pada Jeno.

"Yang rajin diminum, ya, Mama. Agar kamu dan baby sehat, semakin kuat."
Haechan menggenggam tanganku sebentar. Kemudian pamit kembali karena banyak pekerjaan di rumah sakit. Aku sekali lagi berterima kasih. Jeno mengantar Haechan sampai pintu dan tak berapa lama kembali.

Aku memandangi Jeno yang membaca beberapa informasi pada vitamin. Dia menoleh dan tersenyum lembut, "ingin makan apa, Mama? Tapi sebelumnya kamu harus menggigit ini dulu, pil anti-mual, diberikan oleh Dokter Haechan."
Aku terkikik pelan, duduk dengan dibantu dan bersandar pada kepala ranjang. Mengunyah pil yang disuapkan Jeno padaku. Menunggu tiga puluh menit sambil berbincang ringan, saling bergenggam tangan.

Aku menatapi Jeno, sejenak merasa ragu.

"Katakan, sayang."
Jeno meniup mataku hingga beberapa kali mengedip.

"UmㅡJeno, maafkan aku."
Jeno mengernyit. Tidak memahami, aku membasahi bibir, kemudian merasa mual sejenak.

Dengan lirih Jeno mengatakan padaku untuk perlahan saja.
"Aku merepotkan, bukan? Kamu banyak membolos kerja karena harus menemani atau mengurusku, harusnya aku yang melayanimu."

Jeno tersenyum lembut, "sayang, kamu bahkan baru merepotkanku hari ini. Selama ini kau sudah melayaniku dengan baik, sungguh, tapi kamu tidak merepotkan sama sekali. Sudah menjadi tanggung jawabku untuk menjagamu,"

Jeno mengusap perutku, "dan bayi kita."

Wajahku memerah, terharu, hidungku rasanya perih.
"Terima kasih, Papa..."
Dengan rengekan aku mengucapkannya, Jeno terkekeh gemas. Kemudian wajahnya kembali berubah kala aku kembali mual sesekali. Tapi sungguh, ekspresinya lucu.

to be continued.

AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang