🍀tujuh;

11.1K 1.7K 66
                                    

Pagi ini rambutku diusap lembut. Membuka mata perlahan, aku tersenyum ketika Doyoung yang menyambutku pertama kali ketika bangun hari ini.

"Jeno sudah berangkat, Nana. Jaehyun mengajaknya melihat perusahaan di Gangnam, pukul lima tadi."

Aku mengangguk saja, mungkin Jeno tak ingin menggangguku, hingga tak membangunkanku.

Doyoung di hadapanku, tangannya membenarkan letak selimut, "ibu akan pergi, nak. Mengurus sisa persiapan pernikahanmu dengan Jeno, untuk urusan pakaian semua sudah beres, Jeno sendiri yang memilihkan ukuran untukmu."

Keningku berkerut, "Jeno?"
Doyoung mengangguk kemudian berdiri, menggapai keningku untuk dikecup. Aku tersenyum, "hati-hati, bu."

"Jeno akan kembali pukul tujuh malam nanti, sementara Jaehyun akan langsung menyusulku. Hati-hati di rumah, jangan lupa untuk makan."

Aku tersenyum lebar, "urusan makanan aku takkan lupa, bu. Aku menyayangi ibu."

Doyoung tersenyum lembut. Setelah berpamitan, ia keluar dari kamar. Masih pukul enam lewat sedikit, aku tidur lagi saja atau membersihkan diri?

❄❄❄

Rumah ini sepi sekali. Setelah makan dengan banyak aku hanya duduk dengan malas di atas karpet ruang keluarga. Televisi sibuk menontonku. Aku tidak membuka ponsel sama sekali, sosial mediaku dipenuhi dengan pertanyaan teman-teman kuliah perihal kemanakah engkau, tapi aku tak peduli, aku tidak percaya diri untuk melihat bagaimana kegiatan mereka di kampus.

Aku jadi memutar ingatan. Sejenak aku merasa ragu kembali untuk menerima Jeno.

Jeno itu baik, keluarganya apalagi. Namun, rasanya untuk melepas lajang dan menjadi seorang istri, aku belum siap.

Tapi menggiurkan, aku terlalu naif untuk lelaki lain rasanya, Jeno sangat-sangat seperti suami idaman. Doyoung juga sangat mertua idaman, Jaehyun; dia tampan.

"Berapa jam lagi, Jenoooooooo,"
Aku berucap sendirian. Tidak ada maid hari ini, sama sekali, sangat sepi.

Aku membuka buku-buku yang ditaruh di atas meja rotan samping televisi, ini buku resep makanan, tepatnya kue.
"Aku bisa membuatnya, aku rindu memasak,"
Gumamku.

Bangkit berdiri kemudian berjalan ke dapur mewah. Dimulai dari membuka kulkas, membuka satu per satu lemari baik di atas maupun di bawah kompor, ketika semua terkumpul, maka aku memulai.

"Telur tadi sudah,"
Aku bergumam sejak tadi. Tanganku sibuk mengaduk adonan di mangkuk kaca berukuran sedang.

"Krim keju tidak buruk, hei, ini enak sekali."

"Aku akan bersihkan, bu."

"Tunggu, cokelat? Bosan, mari kita atur ke topping lain. Lukis saja?"

Waktu berjalan cepat rupanya, ketika aku menyelesaikan kue yang ke sekian, hari sudah gelap. Kutinggalkan semuanya untuk menyalakan lampu untuk ruang utama, tengah, keluarga, kamar, dan lain-lain. Banyak sekali lampu di rumah ini, aku pening.

Cupcake, donat, pizza tidak-karuan, oh, aku sempat membuat pasta tadi. Entah sudah pukul berapa sampai sepasang tangan memeluk pinggang dan perutku dengan erat. Aku agak terkejut atas perlakuannya, tapi tak kulanjutkan karena aku sedang menata hasil karyaku.

"Memasak apa, sayang?"

Aku mendengus, "lihatlah sendiri, Jeno. Ew! Kau bau!"

Aku menggosok hidung. Jeno lekas bergumam sanggahan bahwa dia tidak bau.

"Aku masih wangi. Sedari tadi aku di ruangan ber-ac, Na."

Aku menggeleng, "mandi, Jeno! Atau aku tidur di kamar lain nanti,"
Setidaknya aku harus sadar diri, kan? Batinku nelangsa.

Jeno mencebik, "aku masih wangi! Tapi baiklah, aku akan mandi,"
Jeno lekas berbalik, berlari ke kamar setelah kupelototi. Aku tertawa puas setelahnya.

"Baiklah, mari kita susun!"
Aku menyusun di meja makan, se-rapih mungkin, menyalakan lilin di atas meja agar semakin romantis. Aku memberikannya untuk Jeno, sengaja.

Ketika keluar, Jeno sudah siap dengan kaus hitam polosnya dan celana selutut, santai sekali. Tanpa sadar aku berdecih.

Jeno terlihat takjub pada mejanya, kue-kue buatanku, atau pasta, atau lilin, atau entah. Tapi ia melangkah padaku dan menggapai tengkuk serta pinggangku sebelum aku bisa menyapanya dengan manis. Jeno sialan, tubuhku lemas seperti jelly, tapi aku tak ingin berhenti, ini...sangat mendebarkan.

Jeno melepas tautan bibir kami, wajahnya agak menjauh sedikit, "siapa yang mengajarimu untuk memakai kemeja putih di atas paha begini, Na Jaemin?"

Oh Tuhan, aku lupa mengganti bajuku dengan yang lebih normal! Wajahku memerah, Jeno kembali memakan bibirku.

to be continued.

AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang