🍀enam belas;

10.2K 1.5K 27
                                    

"Bayi kita kuat, Na. Tapi kamu yang tidak kuat, tidak memungkinkan dapat bertahan."

Aku masih mengingat penjelasan Jeno tentang keadaanku dan si bayi. Semua berada di tangan Jeno, entah aku harus mempertahankannya atau aku harus melepasnya, dia bersikeras akan memutuskan sendiri tanpa meminta pendapatku. Masa bodoh dengan amukan, dia tetap akan menentukan, karena dia kepala keluarga.

Itu benar. Setelah mendengarnya, aku bergegas berdiam di kamar. Tak mencoba menenangkannya, aku juga butuh menenangkan diri di keadaanku yang masih lemah.

"Nana?"

Aku masih berdiam. Berbaring membelakangi pintu. Aku dapat mendengar jelas suara tapak kakinya mendekat. Ranjang terasa bergerak, aku masih diam, menghembuskan nafas panas.

Tubuhku didekapnya, perutku diusapnya lembut. Jeno menghembuskan nafas di leherku, jarak kami sempit. Aku masih diam saja, namun tanganku bergerak untuk mengusap halus tangannya yang juga masih mengusap perutku.
"Maaf, tapi kita harus..."

Dari semua ini sebenarnya aku sudah memahami. Jeno lebih takut kehilanganku ketimbang anak yang sejak lama ia inginkan. Aku bergumam ragu, "tapi kamu ingin anakㅡ"

Jeno mengeratkan pelukan, "belum saatnya, suatu saat kita akan diberi lagi. Hm?"
Aku diam lagi. Jeno masih setia mengusap perutku, rasanya nyaman. Rasanya aku ingin menangis lagi ketika membayangkan anak kami harus dibuang dari rahimku, dia sudah berkembang, sebesar itu, bagaimana bisa aku...


Jeno mengecupi pundakku ketika merasa aku menangis tanpa suara, aku meremas tangannya. Menyalurkan kegelisahanku untuknya malam ini. Berakhir dengan Jeno membalikkan tubuhku, dan aku tidur dengan resah dalam pelukannya.

❄❄❄

Kami duduk bersebelahan di kursi tunggu rumah sakit. Aku hanya diam sejak bangun lebih awal dini hari tadi, Jeno sudah mencoba mengajakku bicara namun aku tetap tidak mengalahkan egoku.

"Sayang, giliran kita."
Jeno memegang tanganku, membuatku tersentak. Dengan agak gemetar aku bangkit, menepis tangan Jeno, aku berjalan lebih dulu masuk ke dalam ruangan.

Saat memasuki ruangan, aku menjadi benci dengan kata rumah sakit dan dokter. Aku terdiam sebentar di tengah ruangan, mengelus perutku tanpa kusadari. Aku di sini untuk apa? Tentu saja untuk membunuh anak kami. Aku menyeringai tipis.

"Silakan duduk,"
Seorang dokter muda mempersilakan kami. Dia terlihat manis, kulihat papan nama di mejanya, Lee Haechan. Aku tidak memberi senyuman, tetap diam tanpa ekspresi.

Jeno mengelus tanganku di bawah meja, aku melirik saja sekilas.
"Aku menyetujui perihal kemarin, kapan operasi dilakukan?"

"Tuan Na, apakah Anda siap jika lusa kita lakukan operasi pengangkatan bayimu?"
Dokter di hadapanku terlihat sangat berhati-hati, tapi senyumku takkan pernah muncul untuk hari ini dan seterusnya. Aku mengalihkan pandangan, membuat Jeno menggenggam tanganku. Dokter Haechan menghela napas, itu buruk, tentu.

"Tidak ada pengangkatan rahim sekaligus, kan?"
Jeno kembali bertanya.

"Maaf, Tuan Lee. Tapi itu otomatis akan mengangkat rahimnya juga."

Aku menyeringai. Jeno pasti membatalkan operasinya. Dia ingin sekali memiliki anak, kecuali jika dia menikah lagi.

"Tetap lakukan. Tak apa, selamatkan istriku."

Aku tercekat, menoleh menatapnya dengan nanar. Dengan sembrono aku bangkit dari duduk, sedikit gemetar, tapi tetap melangkah menjauh dan keluar dari ruangan sialan itu. Aku tak bisa jika seperti ini, takkan pernah bisa.

Sambil berjalan secepat mungkin, aku mengelus perutku, anakku memang harus diselamatkan. Setidaknya sekarang aku bisa memberikan Jeno anak, atau tidak sama sekali. Sehat selalu, nak...

❄❄❄

Aku sampai lebih dulu di apartemen, memasak semua yang aku inginkan, memakan eskrim, memesan banyak kue. Jeno? Entah. Aku tidak peduli, tidak mau.

Sambil duduk di lantai menikmati cupcake, perutku kembali sakit. Dimulai dari posisi menungging untuk menahan sakit, sampai berjongkok telah kulakukan, sambil menggigit pipi dalam agar tidak menimbulkan suara dan kegaduhan. Aku sadar bahwa aku hanya sendiri, tapi aku tetap takkan bersuara.

Perlahan aku mulai menerima rasa sakit seperti ini, masih ada enam bulan lagi yang akan kulalui. Bertahan. Sampai hampir lima belas menit, sakitnya berangsur hilang. Aku mengambil napas sebanyak mungkin, menetralkan sesak napasku dengan kelegaan. Aku memandang pintu yang terbuka, Jeno di sana, berdiri dengan raut emosi yang menyedihkan. Aku memalingkan wajah, membersihkan sisa makananku dan berdiri dengan gemetar.

"Aku saja,"
Jeno bergumam, merebut apa yang di tanganku dan membuangnya ke tempat sampah. Tangannya menuntun pinggangku untuk ke kamar, membaringkanku di ranjang, menyelimuti, dan mengecup keningku. Aku hanya menatapnya tanpa berpaling.

"Maafkan aku. Andai kamu tidak terkejut kemudian stress, kamu tidak akan tersiksa seperti ini. Aku suami yang gagal, bukan? Tentu saja. Maafkan aku, sayang..."
Jeno mengecupi tanganku, berpindah pada perutku. Hanya usapan lembut di tangannya dariku.

"Jeno..."

"Ya, sayang? Sakit lagi?"

Aku menggeleng, menghembuskan napas, "terima kasih, berkatmu, aku kembali tahu bagaimana kasih sayang yang sebelumnya aku kehilangannya. Kita suami dan istri, atau siapalah, maka dari itu semua yang terjadi adalah tanggungan kita. Berada di dalam genggaman tangan ini,"
Aku menggenggam satu tangannya.
"Apa yang digariskan, maka terjadilah. Dan kita akan menghadapinya bersama, karena sekarang, kita adalah satu."

Jeno kembali mengecup tanganku, dengan tangisan lirih, aku menatapnya dengan sayu.
"Lantas, apa yang akan terjadi di depan, mari kita hadapi. Menangislah, namun jangan berlarut. Apapun yang terjadi padaku, kamu tetap harus mencintaiku. Dan anak kita."

Jeno menangis keras, merengek, aku tersenyum saja menanggapi isakannya. Puluhan kata maafnya hanya kutanggapi dengan kekehan lembut. Setidaknya Jeno benaran mencintaiku.

to be continued.

AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang