I

243 23 6
                                    

Telah ditemukan goresan bekas cakaran yang terdapat di salah satu pohon bumi perkemahan, sampai saat tim kepolisian masih menyelidikinya. Tidak ada korban jiwa, hanya saja goresan itu membuat warga disekitar mulai mengungsi. Seorang warga meyakini bahwa goresan tersebut adalah pertanda bahwa manusia serigala telah bangkit kembali.

Praaaang.

Seisi ruangan menegang, segelas kopi panas melayang ke udara dan menghantam dinding. Tidak ada yang berani membuka suara saat ini, bahkan bergerak satu inci pun mereka tidak berani. 

"Siapa yang berani menganggu rencana kita?!" Laki-laki bermata biru tua itu meluapkan amarahnya. "Bukan seperti yang saya harapkan!"

Sosok tinggi, dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya menghampiri laki-laki yang sedang menutupi wajahnya frustasi.

"Sudah kak, nanti akan aku carikan informasi mengenai berita ini. Aku yakin, ini pasti ulah newborn," ucapnya untuk menenangkan saudara tertuanya.

"Nenda, Aga, Anta, ayah minta kalian lacak siapa penyebabnya! Sore ini sudah harus ada informasinya di ruangan ayah, hubungi juga pihak media!" perintahnya pada ketiga anaknya.

Hanenda, Yaga dan Jayantaka bangkit dari posisinya. "Baik ayah!" Jawab mereka serentak, mereka membungkuk lalu pergi meninggalkan tempat pertemuan mereka.

Jagadati melihat ke segala sisi, ia tidak dapat melihat keluarga Wangkawa ikut berkumpul saat ini. Setelah itu ia menatap Yudanta dan Kama. Mereka berdua yang paham pun mengangguk lalu bangkit, siap untuk meninggalkan ruangan. Namun sebelum itu, sebuah suara terbukanya pintu membuat seisi ruangan mengalihkan pandangan mereka. Termasuk Taraka.

Keluarga Wangkawa pun datang, mereka memasuki ruangan dengan wajah tanpa berdosa. Ia mulai menduduki kursi kosong, yang diikuti oleh ketiga anaknya.

"Selamat pagi saudara-saudaraku, maaf kami telat. Biasalah, kalian pasti sudah tahu apa yang harus aku lakukan setiap pagi," Turida tersenyum. "Gimana? Apa yang harus aku dan anak-anakku lakukan? Dan aku dengar, ada yang sudah merusak rencana kita?"

Seseorang membuang nafasnya kasar. "Oh ayolah paman! Ini adalah rapat yang sangat penting, masih sempat bermain dengan jalang-jalang itu?"

Dewari menaikkan satu ujung bibirnya, seperti biasa. Dengan angkuhnya ia melirik ke arah Tikta. "Keluarga muda sepertimu mengerti apa? Dan siapa kamu harus berkomentar atas kegiatan ayahku?" 

Tikta memalingkan wajah ke arah lain. Ia sadar , sampai kapanpun pendapat keluarganya tidak akan pernah dipandang oleh keluarga tertuanya.

"Dewari! Jaga bicaramu! Apa kamu pantas berkata seperti itu dengan saudaramu sendiri?" Ucap Taraka dengan muka teduhnya.

Dewari bangkit lalu membungkuk. "Maafkan saya paman tertua, maafkan saya saudara Tikta," duduk kembali diposisinya.

Tikta kembali menghembuskan nafasnya, perlahan. Setidaknya ia masih ingat juga, bahwa beberapa keluarga tertua lainnya masih mau mendengar keluarganya. Sebuah tangan mengelus ujung kepalanya, tangan seseorang yang selalu mengajarkan untuk bersikap layaknya bangsawan serigala. Ayahnya, Kama Pandita.

🐺🐺🐺

Hanenda dan Yaga berlari menuju ruang kerja sang ayah, sedangkan Jayantaka hanya menggelengkan kepala mereka. Tidak habis fikir dengan saudaranya yang terlalu hiperaktif.

"Nenda! Aga! Jangan berlarian di lorong! Ayah akan memarahi kalian nanti!" 

Tidak ada yang mendengar ucapan dari Jayantaka, kedua saudaranya masih terus berlarian hingga punggung mereka tak terlihat lagi. Hanenda dan Yaga sudah sampai di depan ruangan ayah mereka. Setelah berlarian, sekarang mereka berebut gagang pintu.

"Aga! Biarkan aku yang membukanya!"

"Tidak Nenda! Kamu selalu seperti ini! Sekarang aku yang membukanya!"

"Tidak! Aku ingin membukanya! Biar aku saja!"

"Nenda!"

"Aga!"

Ceklek. Jagadita menaikkan satu alisnya.

"Ribut karena gagang pintu lagi?"

Hanenda dan Yaga menundukkan kepala, lalu menganggukkan kepala mereka. Sedangkan Jagadita sudah menggelengkan kepalanya. Ia melihat ke arah sekitar.

"Dan tadi berlarian di lorong?" mereka mengangguk lagi.

"Ckckck, kalian pasti tidak mendengarkan Anta lagi?" lagi dan lagi mereka mengangguk. "Yasudah, ayo masuk!" Jagadita masuk terlebih dahulu.

Saat hendak masuk, sebuah tangan memegang bahu kedua laki-laki muda itu bersamaan. Mereka berdua ditarik mundur, setelah itu muncul Jayantaka dengan ekspresi dinginnya.

"Bersikaplah lebih dewasa," ucapnya terakhir sebelum masuk kedalam ruangan.

Hanenda dan Yaga saling tatap, bibir mereka sama-sama sedikit maju.

"Ini semua salah Aga!"

"Salah Nenda!"

"Tidak! Jelas ini salah Aga!"

"Nen-"

Belum sempat Yaga melanjutkan kata-katanya, sebuah suara terdengar dari dalam ruangan. "Aga! Nenda! Masuk!"

"Baik ayah!" Jawab mereka serentak, lalu masuk ke dalam ruangan.

to be continued...

The Last WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang