III

44 5 0
                                    

Hembusan nafasnya kasar. "Oh ayolah! Kita bisa bertemu lagi besok, sekarang pergilah dari kamarku!"

Mahasura tertawa melihat tingkah laku saudaranya, sedangkan Jayastu sedang menggoda Jayantaka.

"Jaya hentikan! Aku sedang sibuk!" omelnya lagi.

"Beristirahatlah dulu An, aku juga sudah membawakanmu minuman hangat dan hingga detik ini belum kamu sentuh," protes Jayastu yang sedari matahari terbenam sudah berada di kamar Jayantaka.

Mahasura mengangguk. "Benar kata Jaya, istirahatlah! Aku akan membantumu nanti, ini juga sudah larut An,"

Kali ini hembusan nafasnya mereda. Jayantaka melirik kedua saudaranya, lalu mengangguk. Ia minum dengan sekali teguk lalu berbaring diatas kasur.

"Aku berharap kerja kerasku membuahkan hasil, aku ingin kembali ke rencana awal. Bukannya malah menakuti manusia seperti ini," ucap Jayantaka sebelum akhirnya ia terlelap.

Jayastu dan Mahasura saling berhadapan, lalu menggelengkan kepala mereka bersamaan. "Bahkan saat ini kita menjadi pembantunya," ucap mereka bersamaan.

🐺🐺🐺

"Jadi untuk saat ini itu saja yang bisa saya sampaikan. Untuk selanjutnya, saya ingin melakukan penelusuran di wilayah tenggara. Saya harap beberapa orang yang sudah saya pilih akan menemani saya untuk pergi ke wilayah tenggara. Apakah masih ada yang bertanya? Atau ada yang keberatan?" Jayantaka melihat semua mata Keluarganya.

Suara ketukan meja membuat Jayantaka  merubah arah pandangannya. "Apa kau yakin akan membawa Tikta dalam penelusuran kali ini? Ini bukan penelusuran biasa An, bahkan dia belum ada pengalaman,"

Tikta melirik arah suara lalu membuang nafasnya berat. Tidak heran, selalu menjadi keraguan keluarga besarnya, termasuk keluarga Wangkawa.

Saat Taraka akan bangkit dari tempat duduknya, Jayantaka sudah mengangkat tangannya, pertanda tidak ada yang boleh mengeluarkan suara kecuali dirinya.

"Kakakku Dewari Wangkawa terhormat, sebelum saya akhirnya bisa berdiri di hadapan kalian saat ini, apa saya sudah menjadi handal sedari saya lahir? Oh apa ayah tidak perlu mengajarkan saya untuk menjadi saya saat ini? Atau bahkan keluarga besar saya tidak perlu melatih saya agar menjadi sesuatu yang diharapkan? Lantas apa yang membuat saya seperti sekarang? Hinaan keluarga Wangkawa?"

Gubraak.

Turida memukul meja keras, ia bangkit dari tempat duduknya. "Apa yang sudah kamu ucapkan Anta? Dewa saudara tertuamu!"

Jayantaka menarik satu sudut bibirnya. "Lantas paman membiarkan anak paman meremehkan keluarga termuda? Paman, bahkan saya belum memperbolehkan kalian untuk bersuara. Sekarang saya bertanya, apa ucapan saya salah?"

Tok tok tok.

Belum sempat Turida kembali bersuara, ketukan pintu membelah keributan rapat. Seseorang membuka pintu, menampilkan wajah yang sudah lama tidak hadir dalam keseharian keluarga Hadyan.

"Maaf mengganggu kegiatan kalian, tapi saya dari kepolisian ingin bertemu dengan Jagadita Giandra,"

Jagadita bangkit dari tempat duduknya. "Dengan saya sendiri, ada perlu apa kalian datang kemari? Dan saya rasa anda kurang sopan wahai bapak polisi," Wilalung menaikkan satu alisnya.

"Maaf karena kami membuat kesan pertama ini buruk pak Jagadita, tapi apa bisa kami berbicara dengan anda?" Jagadita mengangguk setuju.

🐺🐺🐺

Sarah memandang Wilalung khawatir. "Jadi apa yang ingin kalian tanyakan anak-anak muda?" pertanyaan tersebut membuat Sarah sadar lalu memperbaiki posisi duduknya.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Sarah Gibson, saya ingin bertanya pak-"

"Paman, panggil saya paman," potong Jagadita.

Sarah mengangguk cepat. "Baik pa-paman, saya ingin bertanya yang bersangkutan dengan kasus bekas cakaran pada berita beberapa hari lalu. Karena rumah anda dekat dengan bumi perkemahan dibandingkan rumah warga, apa anda sempat melihat keanehan sebelum kejadian tersebut?"

"Saya tidak yakin, tapi sejak beberapa bulan lalu saat pergi memancing di danau dekat hutan. Saya sering melihat anjing liar di hutan," jawabnya cepat.

"Apa ada lagi selain anjing liar paman?" kali ini Jagadita menggeleng singkat.

"Apa paman tidak membutuhkan menantu untuk meramaikan rumah besar ini?" pertanyaan itu berhasil membuat Wilalung memukul dahinya.

"Wil tidak sopan!" Sarah menaikkan alisnya, Jagadita menyadari perubahan raut wajah gadis itu. "Saya membaca nama didadanya, Wilalung kan?"

Sarah mengangguk. "Namanya Wilalung Hadyan paman, seperti nama serigala di buku sejarah manusia serigala. Tapi sayang, dia hanya manusia biasa yang sombong," ceritanya.

Sedangkan Jagadita hanya tertawa, ternyata ada yang membaca buku seperti itu.

"Sarah stop, tugas kita sudah cukup kan? Ini waktunya kita mencari bukti lain kan? Apa kamu masih mau disini dan berkenalan dengan semua laki-laki di dalam ruangan tadi?" ucap Wilalung dengan kesal.

Sarah menyipitkan matanya. "Selalu dan selalu seperti ini, Wila bersenang-senanglah. Tapi boleh juga jika diperkenalkan," kini ia tersenyum malu.

Laki-laki muda itu memutar bola matanya malah.

"Baik paman, sudah cukup pertanyaannya. Mungkin nanti kami akan kembali saat ingin membutuhkan informasi lagi. Terima kasih atas waktunya, saya-"

Braaak.

Seekor serigala terpental ke dinding dan lemas diatas lantai. Pemandangan itu berhasil membuat Sarah membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang saat ini ia lihat.

To Be Continued...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Last WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang