"Kamu... tampak awet muda," terdengar lagi suara Fandi. "Dan tetap cantik."
Aku tersipu. "Ehm, terima kasih."
Aku tak ingat lagi kapan terkahir kali seseorang memujiku seperti itu. Terus terang aku merasa senang mendengar kata-kata itu. Muda dan cantik. Bukankah setiap perempuan selalu berusaha untuk menjadi seperti itu? Dan betapa bahagianya ketika hal itu diakui dan diungkapkan di depannya. Terlebih oleh seorang laki-laki.
Tetapi rasa senangku tak bertahan lama. Pertanyaan Fandi berikutnya membuat rasa senang itu hilang tak berbekas.
"Apa kabar Yuma sekarang?"
"Entah," jawabku tanpa menyembunyikan rasa tak suka. "Kami sudah punya kehidupan sendiri-sendiri."
"Kulihat kalian berteman di media sosial," sambung Fandi. Sisa kebenciannya masih bisa kubaca dari matanya.
Aku melambaikan tangan. Memintanya berhenti berbicara tentang hal itu. "Jangan sampai aku menamparmu untuk kedua kali," kataku pelan, tetapi mengandung ancaman.
Fandi tersenyum. Sedikit sinis. "Aku nggak mau kalah dengannya untuk kedua kali."
"Stop bicara tentang dia. Dia sudah punya isteri..."
"Tapi kamu masih sendiri," tukasnya.
Aku menatap Fandi. Suasana berubah menjadi kaku. Ia pasti bisa menangkap ketidaksukaanku. Sehingga setelah itu ia tak berkata-kata lagi. Bahkan tak ada lagi yang kami bicarakan sampai ia berpamitan.
Hanya ada satu kalimat yang ia ucapkan saat aku mengantarnya sampai ke halaman.
"Tolong pertimbangkan lamaranku," bisiknya sambil menutup pintu mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balajar Mencintaimu (Cerpen Lengkap)
Short StorySebodoh-bodohnya keledai tak mau jatuh di lubang yang sama. Harusnya aku mendengar kata Jonas. Fandi lebih bisa dipercaya. Ia mencintaiku dan tak akan menyakitiku. Baru kusadari betapa bodohnya aku. Mestinya aku tak mempercayai omongan Yuma begitu s...