Dua puluh dua menit setelah waktu yang kami sepakati, Yuma muncul. Selalu seperti itu. Dia selalu terlambat. Dan aku selalu menunggu.
"Maaf," katanya seperti biasa sambil menarik kursi di depanku.
Kutunggu sampai minuman pesanannya siap, baru aku buka suara. "Aku butuh kepastian, Yum."
Yuma menatapku. Sekilas. Lalu berpura-pura sibuk dengan milk shakenya. "Kenapa terburu-buru?" tanyanya tanpa memandangku.
"Terburu, katamu?" aku mencongdongkan kepala ke arahnya. "Kita bukan anak muda lagi, Yum. Sudah nggak waktunya pacaran lama-lama tanpa kejelasan."
"Aku punya isteri."
"Kamu bilang mau cerai, kan? Itu sebabnya aku mau ketemu sama kamu," desisku.
"Ya. Masalahnya..."
"Apa masalahnya?" tukasku. "Kamu nggak punya keberanian? Nggak jadi pisahan?"
"Maaf, Kin. Aku nggak bisa memberi kepastian seperti yang kamu harapkan."
Dengan dada sesak aku bangkit dan meninggalkan laki-laki itu. Aku tak mau mendengar lagi suaranya memanggil namaku.
Kupacu mobilku keluar dari area parkir kafe itu. Baru kusadari betapa bodohnya aku. Mestinya aku tak mempercayai omongan Yuma begitu saja. Sebodoh-bodohnya keledai tak mau jatuh di lubang yang sama. Harusnya aku mendengar kata Jonas. Fandi lebih bisa dipercaya. Ia mencintaiku dan tak akan menyakitiku.
Seketika kuraih telepon genggamku. Kucoba menghubungi laki-laki itu. Sampai nada panggil habis, tak diangkat. Kucoba sekali lagi. Tetap tak diangkat. Apakah Fandi marah padaku hingga tak mau menerima teleponku? Ataukah dia sudah punya penggantiku?
Tiba-tiba hatiku terasa begitu nyeri membayangkan Fandi telah memilih perempuan lain sebagai pendampingnya. Aku tidak ingin kehilangan dirinya. Tanpa berpikir panjang, aku memutar haluan. Aku harus bertemu Fandi malam ini.
"Kinara?" kata Fandi begitu melihatku di depan pintu rumahnya. Mulutnya ternganga. Dahinya berkerut. Tampak bahwa ia terkejut.
"Iya, aku Fan," kataku sambil menyibakkan rambut yang pasti berantakan.
"Malam-malam begini, ada apa?" tanyanya. Suara serak. Tampaknya ia terbangun karena deringan bel pintu.
Aku hanya menatapnya. Tanpa tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba Fandi maju, meraih bahuku, membawaku masuk.
"Apa aku sudah terlambat, Fan?" bisikku ketika Fandi telah melepaskan rangkulannya.
"Terlambat?" Fandi menatapku. Tampak bingung dengan pertanyaanku.
"Aku menerima lamaranmu," lanjutku dengan sudut mata yang mulai basah.
Fandi membalikkan tubuhnya. Menghadapku. Kedua tangannya mencengkeram bahuku. "Kamu serius, Kin?" tanyanya sambil mengguncang-guncang bahuku.
Aku menangangguk sambil mengusap air mata pertama yang mengalir di pipiku.
"Kamu tidak terlambat," bisiknya sambil merengkuhku dalam pelukannya.
"Aku mau menikah denganmu, Fan," kataku parau. "Aku akan belajar mencintaimu."
"Terima kasih, Kin," kata Fandi sambil mengecup rambutku. "Terima kasih," ulang Fandi. Kali ini sambilMemelukku lebih erat. #
-Tamat-
KAMU SEDANG MEMBACA
Balajar Mencintaimu (Cerpen Lengkap)
Короткий рассказSebodoh-bodohnya keledai tak mau jatuh di lubang yang sama. Harusnya aku mendengar kata Jonas. Fandi lebih bisa dipercaya. Ia mencintaiku dan tak akan menyakitiku. Baru kusadari betapa bodohnya aku. Mestinya aku tak mempercayai omongan Yuma begitu s...