Bagian 2

1.9K 70 1
                                    

Belasan tahun telah merubah banyak hal. Bukan hanya status kami. Bahkan perasaanku pun telah berubah kini. Sekarang aku merasa canggung berhadapan dengannya seorang diri.

"Kok jadi susah ngobrol ya, sekarang?" akhirnya terdengar lagi suara Fandi.

Mau tak mau aku tertawa. "Mungkin karena kita jarang ketemu. Nggak tahu lagi apa yang mau diobrolkan," kataku.

"Ya. Aku sudah nggak tahu lagi lagu-lagu atau novel kesukaanmu sekarang."

"Aku juga nggak tahu, apa kamu masih suka keliling lapangan kampus seperti dulu."

Fandi tertawa kecil. "Oh, itu jelas sudah nggak lagi. Lapangan kampusku sudah jadi auditorium. Dan perutku sekarang terlalu berat untuk kubawa lari," Fandi memegang perutnya buncit.

Lalu kami berdua tertawa. Mungkin dalam hati saling menyadari bahwa segala sesuatunya kini memang tak lagi sama.

"Lagu kesukaanku masih tetap sama," kataku sesaat kemudian. "Mungkin manusia lebih mudah jatuh cinta sama lagu waktu masih muda."

"Masih tetap suka Since I Don't Have You-nya Guns n Roses?" tanya Fandi cepat.

Aku tersenyum. Fandi ternyata masih mengingatnya. Itu lagu yang dulu selalu kuputar saat aku putus dengan Yuma.

"Aku masih hafal lagunya," katanya lagi. "Karena kamu dulu tiap hari mutar lagu itu."

Kali ini aku sendirian yang tertawa. Teringat bagaimana dulu aku mendengarkan lagu itu dan menirukan liriknya sambil berurai air mata. Lalu Fandi menggodaku, sehingga mau tak mau aku tertawa. Tertawa sambil menangis tentunya.

"Sudahlah, nggak usah nangis. Cari saja gantinya," begitu dulu Fandi pernah berkata. "Aku juga mau kok menggantikan dia."

Waktu itu aku menganggap kalimat Fandi sebagai candaan saja. Sampai suatu malam di akhir pekan, ia datang ke rumah kami saat Jonas tak ada. Kupikir ia kecele. Jadi untuk mengobati aku menawarkan diri menemaninya keluar.

"Memang kamu belum janjian sama Jonas?" tanyaku sambil berjalan menyusuri taman kota malam itu. "Atau dia lupa?"

"Nggak," jawab Fandi. "Memang begini janjiannya."

Aku mengerutkan dahi. Fandi tertawa sambil menarikku duduk di salah bangku semen di taman kota itu.

"Ada yang mau aku omongkan sama kamu," katanya lagi setelah kami duduk. Masih sambil memegang lenganku. Fandi menatapku sebentar, menghela napas, lalu mengalihkan pandangan. Dan kembali menatapku. "Kamu nggak tahu? Nggak ngerasa?"

Aku menggeleng seperti seorang dungu.

"Aku suka sama kamu," kata Fandi akhirnya. Hampir berbisik. "Aku mencintaimu," lanjutnya.

Seketika kulepaskan tangannya. Benar-benar aku tidak menduga Fandi akan mengatakan hal itu. Selama ini aku menganggapnya tak beda dengan Jonas. Mereka berdua kuanggap sebagai kakakku. Fandi yang telah salah mengartikan perasaanku ataukah aku yang terlalu bodoh tak bisa menangkap sinyal perasaannya terhadapku? Entah. Bisa jadi aku yang bodoh. Tidak peka dengan hal-hal seperti itu.

"Nggak bisa, Fan," jawabku.

"Karena Yuma?" suara Fandi berubah tajam. "Kalian sudah putus. Dia nggak cukup mencintaimu."

Mendengar perkataannya, tanpa sadar tanganku berkelebat menampar pipi Fandi. Aku terkejut dengan yang kulakukan, tetapi tak menyesal. Tak sepantasnya Fandi mengatakan hal itu. Meski Yuma meninggalkanku, tetapi aku masih mencintainya. Masih mengharap dia kembali padaku.

Balajar Mencintaimu (Cerpen Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang